Drawer trigger

Berbagai Tuduhan Atas Nabi Saaw dengan Dalih Kitab Suci

 Menetapkan Kemaksuman Nabi

Ishmah secara etimologis artinya imsak (menahan diri), man’u (mencegah), atau juga mulazamah (penetapan/patuh; tidak meninggalkan sesuatu) (Al-Maqayis karya Ibnu Faris). Al-Raghib dalam Tafsir al-Mufradat-nya menjelaskan bahwa al-ashmu berarti mencegah, berpegang teguh dan memelihara, dan al-isham berarti hal yang dipegang teguh, dengan demikian ishmah merupakan penjagaan Allah Swt yang secara khusus diberikan kepada para Nabi. Al-Quran menggunakan kata ini sekitar tigabelas kali dengan berbagai bentuknya (musytaqat), namun maknanya kembali kepada arti-arti di atas yang secara umum dapat kita pahami sebagai keterjagaan atau pemeliharaan.

Para ulama menjelaskan bahwa ishmah atau kemaksuman adalah sebuah perkara pada seorang yang maksum yang mencegah dari terjatuh dalam perkara yang tidak boleh dilakukan yaitu kesalahan dan maksiat (dosa).

Kemaksuman Nabi memberikan keyakinan kuat kepada kita untuk mengikutinya. Secara nurani kita juga memiliki kecenderungan kuat untuk mengikuti orang yang kita percayai memiliki kemuliaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia, maka dia mesti memiliki kesempurnaan akhlak terlebih dahulu. Dan Allah mewajibkan kita untuk mentaati Nabi Saw secara mutlak, ”taatilah Allah dan taatilah Rasul…”(Q.S. An-Nisa: 59) maka ketaatan secara mutlak hanya dapat dilakukan jika dia memiliki kemaksuman mutlak.

Kemaksuman yang dimiliki Nabi Muhammad saw dalam urusan wahyu setidaknya terdiri dari empat hal yakni:

1) Maksum dalam menerima wahyu.

2) Maksum dalam hal menyampaikan wahyu.

3) Maksum dalam hal menjelaskan/menafsirkan wahyu.

4) Maksum dalam hal mangamalkan wahyu.

Keempat hal ini menunjukkan juga Nabi Saw maksum dalam ilmu dan maksum dalam amal. Dengan ini mungkinkah kita menyamakan Nabi Saw itu dengan manusia umumnya?

Karenanya, wahai Nabiku sayang, engkau yang diutus untuk mensucikan manusia, namun malangnya sering kesucianmu dianggap belum seluruhnya. Bagaimana mungkin wahai Rasulku sayang, engkau yang memerintahkan kami untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk, namun malangnya sering diduga mengerjakan keburukan dan meninggalkan kebaikan? Ya Muhammadku sayang, bagaimana mungkin, engkau yang diturunkan untuk memberikan pengajaran bagi manusia malah diajari oleh manusia? Sungguh malangnya, bagaimana dapat aku terima, wahai Muhammadku sayang, engkau yang diutus untuk menyempurnakan akhlak malah dituduh akhlakmu tak sempurna?

Sebenarnya, firman Allah swt dalam Alquran, “Sungguh pada diri Rasulullah ada uswatun hasanah” serta ayat, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung”, jika kita selami lautan maknanya sudah cukup menjadi bukti nyata akan maksumnya Nabi Saw dan meruntuhkan semua anggapan tentang kesalahan dan buruknya akhlak Nabi Muhammad Saw. Namun masih saja terdapat sebagian orang yang menganggap kesalahan nabi melalui bukti teguran ilahi yang dikutip dari firman Alquran suci. Di antara firman suci yang sering diajukan adalah:

   “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena datang kepadanya seorang buta. Tahukah kamu boleh jadi iaingin mensucikan dirinya. Atau ia ingin mendapatkan pengajaran yang bermanfaat kepadanya.” (Q.S. Abasa: 1-4)

   “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”. (Q.S. an-Nur : 12)

   “Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. al-Anfal : 67)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang diajukan untuk “membuktikan” kamaksiatan Nabi Saw dan teguran ilahi kepadanya. Namun, apakah benar ayat-ayat tersebut “membuktikan” kemaksiatan Nabi dan ketidakmasuman dirinya? Insya Allah, Liputan Islam akan mencoba mengkaji beberapa firman suci tersebut agar mendapatkan perbandingan dan pemahaman yang lebih sesuai sebagai hadiah maulid Nabi Saw

Kajian Atas Ayat-Ayat yang Menegur Nabi Saw

Surat Abasa’ 1-4

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena datang kepadanya seorang buta. Tahukah kamu boleh jadi ia ingin mensucikan dirinya. Atau ia ingin mendapatkan pengajaran yang bermanfaat kepadanya.” (Q.S. Abasa: 1-4)

Surat abasa’ merupakan surat yang paling sering digunakan oleh orang-orang untuk menunjukkan kesalahan Nabi Saw. Sebagai sebuah upaya pemahaman kearah yang lebih orisinil, sebaiknya dilakukan dekonstruksi secara singkat terhadap pemahaman atas ayat surat abasa’ ayat 1-4 tersebut. Setelah itu baru akan dicoba untuk merekonstruksi ayat ini bagaimana mestinya.

Jika kita membaca ayat-ayat tersebut seolah ada kejanggalan dan keanehan. Dimana keanehan itu terjadi? Keanehan itu terjadi karena tidak sesuainya ayat ini untuk ditujukan kepada kepribadian dan akhlak agung Nabi Muhammad saw. Bermuka masam dan berpaling hanya cocok disifatkan kepada orang-orang kafir. Perhatikan surat al-Mudatsir ayat 20-23: ”Kemudian celakalah dia, bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian dia memikirkan. Sesudah itu dia bermuka masam dan merengut. Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri” (Q.S. Al-Mudatsir: 20-23).

Ayat al-Mudatsir ini turun berkenaan dengan Walid bin al-Mughirah yang mana pada saat turunya surat ‘abasa ini, ia (Al-Walid) juga hadir bersama Abu Jahal, Uthbah bin Rabiah, Umayyah bin Khallaf, Syaibah bin Rabiah, dan Abbas bin Abdul Muthalib. Karena itu surat ‘abasa ini lebih pantas ditujukan kepada orang kafir Quraisy yang terpandang dan kaya sehingga merasa terganggu dengan kedatangan Abdullah bin Ummi Maktum.

Dengan demikian jika dilakukan rekonstruksi penafsiran surat abasa’ ini akan bermakna :

   Dia (salah seorang yang ada/hadir di majelis Nabi Muhammad) bermuka masam dan berpaling.

   Karena datang kepadanya (yaitu: Nabi Muhammad) seorang buta.

   Tahukah kamu (yakni: salah seorang yang hadir di majelis Nabi) boleh jadi ia (orang yang buta) ingin mensucikan dirinya.

   Atau ia (orang yang buta tersebut) ingin mendapatkan pengajaran yang bermanfaat kepadanya(dari majlis Nabi saat itu).

Ini salah satu pandangan yang mencoba merekonstruksi pemahaman atas surat ‘abasa, yang mana menegaskan bahwa teguran Allah Swt, bukanlah kepada Nabi Saw, tetapi kepada orang lain yang juga hadir dalam majelis Nabi Saw yang dirinya tidak senang atas kehadiran Ibnu Ummi Maktum.

Namun begitu ada juga yang berpendapat bahwa ayat tersebut memang menegur Nabi Saw, tetapi teguran itu tidak mencederai kemaksuman Nabi Saw. Al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan:

“Orang-orang yang mengatakan bahwa Nabi pernah berbuat dosa mengambil alasan dengan ayat ini. Mereka mengatakan bahwa celaan Allah terhadap sikap yang demikian menunjukkan bahwa perbuatan (sikap) semacam ini adalah suatu kemaksiatan. Apa yang mereka katakan itu jauh dari kebenaran. Menurut pertimbangan akal, sikap yang demikian bahkan menjadi keharusan karena jika para pemuka Quraisy mau memeluk Islam maka kemanfaatannya akan lebih besar lagi. Lain halnya jika sikap ini diambil karena semata-mata memprioritaskan yang kaya daripada yang miskin. Hal ini tidaklah layak dilakukan oleh Rasulullah Saw. Dengan demikian, maka apa yang beliau lakukan terhadap Ibnu Ummi Maktum adalah cuma kekuranghati-hatiannya dan sekedar meninggalkan perbuatan yang lebih utama saja. Hal ini sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan dosa.”

Jadi, sekalipun orang berpendapat bahwa memang Nabi Saw yang ditegur oleh Allah, tetapi tetap hal itu tidak bisa dipahami sebagai kemaksiatan yang dilakukan Nabi yang menyebabkan dirinya jatuh dari kemaksuman.

Kajian Atas Ayat-Ayat yang Menegur Nabi Saw (2) : Q.S. an-Nur : 12

 Surat An-nur 12

 “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, “ini adalah suatu berita bohong yang nyata”. (Q.S. an-Nur : 12)

Salah satu ayat populer yang juga digunakan untuk mendeskriditkan kedudukan Nabi adalah ayat 12 dari surat An-Nur yang berisi teguran atas kesalahan Nabi Muhammad. Padahal jika melihat dengan sedikit lebih seksama, maka akan dapat memahami ayat ini dengan lebih baik.

Jika diperhatikan, sejak awal, surat ini yang menceritakan hukum zina dan larangan menuduh orang berzina, termasuk suami dilarang menuduh istrinya berzina tanpa menghadirkan empat orang saksi. Selanjutnya ayat ini juga mengandung hukum li’an (bersumpah empat kali ditambah sumpah yang kelima sebagai ungkapan laknat jika berbohong) bagi orang yang menuduh orang lain berzina (Q.S. An-Nur: 1-10). Bahkan dikatakan salah satu ciri orang munafik adalah selalu berkata bohong, dan Nabi mengetahui itu, lantas bagaimana Nabi Muhammad Saw bisa dipengaruhi oleh berita-berita yang disebarkan oleh orang-orang munafik?

Setelah itu barulah masuk ayat sebelumnya, yang jika kita perhatikan maka akan jelas bahwa ayat ini diturunkan Allah untuk membantah orang munafik dan orang-orang yang ikut-ikutan munafik dalam menyebarkan berita bohong yang dituduhkan kepada salah seorang istri Nabi Muhammad Saw. Perhatikan ayat ke-11 dari surat ini dikatakan;

   ”Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa diantara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. (Q.S. an-Nur : 11)

Dengan turunnya ayat ini maka menjadi jelaslah perkaranya, dan istri Nabi tersebut bebas dari tuduhan bohong tersebut. Menariknya, ayat di atas menegaskan bahwa berita bohong tersebut bukanlah keburukan, melainkan kebaikan bagi Nabi Muhammad Saw dan orang-orang mukmin saat itu.

Kemudian ayat ke-12 dari Surat an-Nur menyebutkan :

   “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, “ini adalah suatu berita bohong yang nyata”. (Q.S. an-Nur : 12)

Jika ayat ini menegur Nabi Muhammad, berarti kita menyatakan Muhammad termasuk orang yang ikut-ikutan munafik dan pembohong serta menerima berita tanpa koreksi yang jelas, padahal di dalam Alquran dikatakan “jika datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Q.S. al-Hujurat: 6)

Dan juga menjadi masalah, bahwa jika ayat ini turun setelah 30 atau 40 hari setelah peristiwa itu, ini berarti jika Nabi Muhammad Saw salah—saya berlindung dari dugaan ini—maka setidaknya Nabi Muhammad berada dalam kesalahan dan tidak menyadari kesalahannya itu selama 30-40 hari. Jika Nabi Muhammad meninggal saat itu maka ia meninggal dalam keadaan berprasangka buruk (suu’zhan) kepada orang lain.