Drawer trigger

Mengawinkan Budaya Dan Agama

Budaya 2Dalam Negara demokratis, semua sistem kebudayaan (termasuk agama) dibiarkan berkembang dan tidak boleh ada dominasi yang berlebihan dari yang satu kepada yang lainnya. Akan tetapi, interaksi antar budaya tidak selamanya langgeng, dikarenakan adanya benturan kebudayaan yang berlawanan. Pada kondisi ini, disadari atau tidak, terjadi proses dominasi bahkan ‘pembunuhan’ pada kebudayaan minoritas. Dikarenakan terkadang kebudayaan berjalin kelindan dengan komunitas masyarakat dan juga organisasi, maka benturan ini dapat mengarahkan pada pergolakan atau konflik antar suku dan organisasi. Sistem sosial dan budaya yang diwariskan secara turun temurun dalam suatu komunitas dipandang penganutnya sebagai pedoman hidup yang memberikan andil dalam membentuk seluruh elemen komunitasnya. Karena, sistem budaya pada dasarnya juga selalu berinteraksi dengan sistem agama, maka ia memiliki andil besar bagi pembentukan komunitas keagamaan. Jika kita boleh mengembangkan teori hermeneutikanya Nasr Hamid Abu Zaid, yang mengajukan tesis bahwa al-Quran diturunkan dalam dua tahap, yaitu tahap dibentuk oleh budaya (marhalah al-tasyakkul) dan tahap membentuk budaya (marhalah al-tasykil). Meskipun analisis Abu Zaid meninjau sisi linguistik tekstual al-Quran, tetapi dapat kita elaborasi untuk menjelaskan interaksi agama dan kultur. Artinya, kedua tahap tersebut mengindikasikan bahwa, di masa Nabi Muhammad saw, agama hadir dan berinteraksi secara struktural dengan kultur Arab (Mekkah). Hasil interaksi tersebut menjadikan Islam, mampu mengadaptasi sekaligus menyeleksi dimensi kultural yang ada dari realitas sosial, bahasa, ataupun budaya yang dikembangkan oleh masyarakat pra maupun pasca Islam. Kemudian dengan kemampuan kreativitasnya, Islam selanjutnya melakukan transformasi kultural yang khas Islam. Jika kita perhatikan dari perspektif historis, nyaris seluruh proses pengislaman berbagai daerah menerapkan sistem interaksi agama dan budaya, termasuk di Indonesia. Misalnya, sudah sangat terkenal kisah wali songo yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa dengan menggunakan tradisi jawa yang ‘berbau’ tradisi agama Hindu dan Budha, sehingga dalam beberapa studi disebut dengan ‘Islam Kejawen’. Adapun dalam komunitas etnis melayu, sangat kental dengan pakaian yang menggunakan tudung (kerudung) dan selendang (kain panjang yang diletakkan di atas kepala) atau songkok (semacam tutup kepala seperti topi) bagi perempuan. Dan hal itu sudah dianggap sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan sekolah-sekolah agama dan guru-guru agama, diawal-awal kemerdekaan, banyak tidak menggunakan jilbab seperti sekarang ini, tetapi hanya menggunakan selendang. Akan tetapi, hasil ini tidak selamanya mulus. Proses interaksi agama dan budaya dapat pula mengarah pada penghancuran agama oleh budaya atau sebaliknya. Hal ini karena, sifat keterbukaan agama pada budaya, sangat rawan akan penyimpangan-penyimpangan yang disisipkan dari budaya-budaya lain yang boleh saja tidak selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Begitu pula, agama yang terkadang lebih dominan dalam transformasi masyarakat sehingga menghakimi tradisi lokal yang telah berkembang dalam suatu komunitas yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Kalangan puritanisme (pemurni agama) biasanya akan melakukan aksinya yang ekstrims. Karena bagi mereka, budaya yang mengikis kesakralan agama adalah bid’ah yang terlarang dan diancam masuk neraka. Misalnya, ada kalangan yang menuduh bahwa acara tepung tawar, mandi kembang, pembakaran kemenyan, prosesi perkawinan melalui adat, acara maulid (peringatan kelahiran Nabi atau tokoh penting) dan haul (memperingati kematian Nabi atau tokoh) sebagai bid’ah dan khurafat yang merusak akidah. Namun di sisi lain, interaksi budaya dan agama ini terkadang menimbulkan kreatifitas di tengah-tengah masyarakat sehingga menghasilkan suatu sistem budaya baru yang mengadaptasi ajaran agama dan tradisi budaya yang ada. Memang, ada satu hambatan penting bagi agama-agama missionaris seperti Islam, Katolik dan Protestan. Sebagai agama Missionaris, Islam, Katolik dan Potestan selalu mengajukan klaim kebenaran dan keselamatan sepihak, sehingga senantiasa menyebarkan dan melakukan intrik-intrik untuk melakukan islamisasi atau kristenisasi, dengan alasan demi keselamatan seluruh manusia. Karena itu, jika proses missionaris ini dilakukan tanpa memegang nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan rasional, sangat mungkin akan terjadi gesekan dan benturan antar penganut agama. Untuk itu, pembentukan masyarakat religius yang berwawasan multikulturalisme haruslah diiringi dengan penguatan pada keyakinan agama yang dianut oleh masing-masing komunitas, terutama pada dasar-dasar agama yang absolut dan ajaran agama tentang kemanusiaan yang memberikan inspirasi bagi teologi kerukunan. Ini adalah salah satu agenda besar pendidikan agama, untuk menggali doktrin-doktrinnya, yang mengajarkan toleransi, sikap moderat, terbuka, dan siap berdampingan dengan berbagai agama yang ada dengan prinsip tetap saling menghargai antar sistem keyakinan tersebut. (hd/liputanislam.com) *Pengamat sosial keagamaan.