Drawer trigger

Mengenal Kelompok ISIS dan Sepak Terjangnya (2)

 

ISIS adalah kelompok sempalan al-Qaeda atau cabang jaringan kelompok teroris itu di Irak. Dengan tewasnya Abu Omar al-Baghdadi pada tahun 2010, dan terpilihnya Abu Bakar al-Baghdadi sebagai pemimpin kelompok ini, maka dimulailah gelombang baru operasi teror ISIS di Irak yang kemudian merembet hingga Suriah dan Lebanon. Beberapa bulan pasca dimulainya krisis di Suriah, pada akhir tahun 2011, muncul kelompok Front al-Nusra yang dipimpin oleh Abu Muhammad al-Jolani.  Kelompok ini di Suriah mendapat dukungan luas dari sejumlah negara regional termasuk Arab Saudi, Qatar dan Turki. Front al-Nusra hingga kini telah melancarkan berbagai serangan bersenjata, kejahatan brutal dan operasi teror.
    Front al-Nusra dan ISIS sama dari sisi ideologi dan keduanya memiliki keyakinan distorsif Takfiri. Kedua kelompok ini juga telah berikrar setia kepada jaringan teroris al-Qaeda. Akan tetapi ketika ISIS mengirim anasirnya untuk memperluas jangkauan wilayahnya ke Suriah, dimulailah perselisihan antara ISIS dan al-Nusra. Karena keduanya menilai masing-masing pihak sebagai ancaman. Dalam hal ini, al-Qaeda yang dipimpin oleh Aiman al-Zawahiri meminta ISIS untuk keluar dari Suriah. Masalah ini menimbulkan pembelotan Abu Bakar al-Baghdadi dari al-Zawahiri. Sampai akhirnya al-Zawahiri menyerukan pembubaran ISIS guna menghentikan kelancangan al-Baghdadi.   Seiring berlalunya waktu, terkuak bahwa perselisihan antara al-Qaeda dan ISIS ternyata cukup mendalam karena al-Baghdadi termasuk di antara pihak yang menolak kepemimpinan al-Zawahiri dalam jaringan al-Qaeda setelah tewasnya Osama bin Laden pada Mei 2011. Sampai ketika komando pusat al-Qaeda pada 3 Februari 2013 menyatakan bahwa ISIS tidak terkait dengan al-Qaeda. Dengan demikian ISIS tampil sebagai sebuah kelompok teroris non-afiliasi al-Qaeda. Akan tetapi memiliki pemikiran dan kinerja yang sama, yaitu mencapai tujuan mereka dengan kekerasan.   Dibanding dengan al-Qaeda, ISIS menempuh jalan yang lebih radikal, dan meneruskan jalan Abu Musab al-Zarqawi, pemimpin pertama kelompok ini. Strategi Zarqawi adalah berupaya menciptakan perang sektarian di dalam Irak, pembantaian massal warga Syiah dan perselisihan antara Syiah dan Sunni, serta bahkan perselisihan antarsuku. Itu semua dilakukan dengan cara-cara pengecut.   Pada hakikatnya, ISIS sama seperti al-Qaeda berupaya merekrut pasukan sebanyak-banyaknya dari berbagai penjuru dunia. Sekarang ISIS memiliki anggota dari lima benua dunia. Di sini, kita tidak membahas motivasi para anasir ISIS untuk bergabung dengan kelompok itu. Akan tetapi poin yang perlu diperhatikan adalah peran negara-negara Barat pengklaim “anti-terorisme” dalam memberikan sarana kepada orang yang ingin bergabung dengan ISIS di Suriah dan Irak. Bagaimana mungkin ribuan orang dari negara-negara Eropa dan Amerika dapat meninggalkan negara mereka untuk bergabung dengan ISIS namun lembaga intelijen mereka kecolongan?   Pasca Serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat, Dinas Rahasia AS (CIA) bekerjasama dengan berbagai lembaga intelijen Eropa, menangkap puluhan dari berbagai belahan dunia bahkan dari dalam sebuah pesawat hanya karena email atau panggilan telepon mencurigakan. Mereka direlokasi ke wilayah lain untuk diinterogasi, yang kemudian muncul skandal keberadaan penjara-penjara rahasia dan penyiksaan para tahanan. Dengan kinerja seperti itu, apakah mungkin pemerintah Amerika Serikat dan sejumlah sekutunya di Eropa “kecolongan” atas gelombang perekrutan warganya oleh ISIS?   Salah satu kebohongan pemerintah Barat tentang pemberantasan ISIS dan kelompok teroris di Suriah dan Irak adalah identifikasi pembunuh James Foley, seorang jurnalis AS, hanya melalui suaranya. Pasca publikasi video penyembelihan kepala James Foley dan ungkapan sang penjagalnya, koran-koran Inggris menulis, bahwa pembunuh Foley adalah seorang pemuda asal London yang dilatih oleh kelompok radikal di Suriah. Nama teroris Inggris anggota ISIS itu adalah John dan menurut laporan BBC, sebuah kelompok afiliasi ISIS menculik 20 warga Barat termasuk beberapa perempuan.   Pasca publikasi rekaman video sadis itu dan juga pernyataan pembunuh Foley yang menggunakan dialek London, Perdana Menteri Inggris, David Cameron, menyatakan bahwa kemungkinan pembunuh Foley adalah warga Inggris. Ketika media massa dan pemerintah Barat mampu mengidentifikasi warga Barat anggota ISIS hanya melalui suara mereka, apakah dapat diterima bila Barat tidak memonitor puluhan indikasi yang lebih mudah seperti meningkatnya volume kepergian warganya menuju Suriah dan Irak?   Politik Barat terhadap krisis di Suriah dan Irak, yang justru memperkokoh kelompok teroris. Meski Barat menyatakan tidak mendukung ISIS, akan tetapi bantuan mereka selalu sampai ke tangan kelompok teroris itu. Bantuan tersebut dikemas dalam bentuk dana, senjata, perlengkapan logistik, informasi dan pelatihan oleh negara-negara seperti Arab Saudi, Qatar, Turki dan segelintir negara Barat.   Berbagai laporan baru menunjukkan bahwa meski klaim para pejabat Washington bahwa mereka tidak mengetahui aktivitas para teroris eks Baaths-Takfiri ISIS, CIA sejak dua tahun sebelumnya telah melatih para anasir itu di sebuah kamp di Yordania. Gordon Duff, pemred Veterans Today berpendapat bahwa Amerika Serikat mengetahui pergerakan para teroris Takfiri menuju Mosul. Menurutnya, Amerika Serikat mengetahui dengan baik asal-usul senjata yang digunakan kelompok ini; yang dikirim oleh pihak Arab Saudi menuju Yordania melalui Selat Aqaba. Adapun para anasir teroris yang telah dipersenjatai direlokasi oleh rezim Zionis Israel dari wilayah itu menuju Irak.   Dalam buku memoir mantan menteri luar negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, terdapat dokumen terkait dukungan AS bagi ISIS. Dalam bukunya itu, Clinton menulis, “Kami membentuk ISIS untuk memecah Timur Tengah.” Pada bagian lain buku itu ditulisnya, “Menurut rencana kami pada 5 Juli 2013, akan bersidang dengan mitra Eropa kami untuk mengakui Daulah Islam (ISIS). Saya berkunjung ke 112 negara dan menjelaskan peran AS serta  kesepakatan dengan sejumlah mitra terkait pengakuan terhadap Daulah Islam (ISIS) langsung setelah pembentukannya.”   Di lain pihak, Edward Snowden, mantan administrator sistem Dinas Rahasia Amerika Serikat (CIA) dalam hal ini mengatakan, “CIA, Inggris dan rezim Zionis berperan dalam pembentukan kelompok yang bernama ISIS dan membentuknya dalam sebuah operasi bersandi ‘sarang lebah’.”   Berdasarkan dokumen yang terbocorkan, Snowden berpendapat bahwa kelompok ISIS dibentuk untuk mendukung rezim Zionis Israel dan tujuan dari operasi sarang lebah adalah pembentukan sebuah kelompok dengan slogan-slogan islami yang akan merekrut para anasir radikal dari berbagai belahan dunia. Dan berlandaskan pada pemikiran Takfiri, senjata mereka diarahkan kepada negara-negara penentang eksistensi Israel. (IRIB Indonesia)