Drawer trigger

Teladan Wanita dalam Islam

Separuh dari masyarakat di setiap negara adalah kaum hawa. Di dunia modern saat ini, muncul beragam pandangan terkait posisi perempuan. Satu kelompok memiliki pandangan picik mengenai perempuan dan meyakini wanita sebagai masyarakat kelas dua. Kelompok ini melarang perempuan untuk terlibat aktivitas sosial. Sebaliknya ada kelompok lain yang memiliki pandangan ekstrim mengenai perempuan. Mereka meyakini perempuan mendapat perlakuan zalim sepanjang sejarah dan hak-hak mereka diabaikan. Untuk memperbaiki kondisi ini, maka posisi perempuan harus disamakan dengan pria atau bahkan diunggulkan.

Adapun Islam memiliki pandangan yang lebih adil. Agama Samawi ini mengakui hak-hak manusiawi perempuan dan menghormatinya. Dalam kesempatan kali ini kami akan menyoroti pandangan picik dan ekstrim mengenai perempuan. Dan tak lupa pula, kami akan membawakan pandangan adil Islam mengenai kaum hawa ini dengan bersandar pada sirah Rasulullah serta peran persatuan yang dimainkan perempuan muslim di keluarga serta masyarakat. Di masa lalu, sejumlah aliran pemikiran memiliki pandangan ekstrim dan meyakini perempuan sebagai warga kelas dua. Mereka tidak mengakui bahwa perempuan memiliki sisi kemanusiaan. Menurut pandangan ini, perempuan tidak memiliki hak-haknya sebagai manusia dan tidak akan mampu mencapai kesempurnaan serta spiritualitas tinggi. Misalnya, Arestoteles, filsuf Yunani meyakini dari sisi penciptaan, perempuan memiliki kekurangan. Ia meyakini pula bahwa perempuan tidak memiliki sisi manusiawi seperti yang dimiliki pria. Ideologi ini menguasai dunia saat itu. Kini ideologi seperti ini masih juga dapat ditemukan di sebagian dunia. Di sebagian negara, perempuan juga masih belum mendapat hak-hak dasar mereka. Kaum hawa ini dilarang untuk berpartisipasi di ranah politik dan sosial. Misalnya, mayoritas pakar sosial menyamakan kondisi perempuan di berbagai negara Arab seperti warga kulit hitam di pemerintahan Apartheid Afrika Selatan. Hal ini dikarenakan dikeduanya ditemukan kesamaan akan adanya posisi yang tidak sama antara perempuan dan pria. Kaum hawa pun tidak mendapat fasilitas dan hak kerja seperti pria. Diskriminasi pun tak berbeda di keduanya. Kelompok teroris Taliban, ISIS dan Boko Haram dengan slogan-slogan palsu Islam, saat ini melakukan pelanggaran serius terhadap hak-hak perempuan khususnya di Afghanistan, Irak, Suriah dan Nigeria. Sementara itu, kebalikan dari ideologi ini, muncul pemikiran di awal abad 20 yang ingin menebus kesalahan ideologi yang merugikan kaum perempuan. Pemikiran ini muncul di Barat dan ideologi ini ditujukan untuk melindungi serta menegakan hak-hak kaum hawa. Gerakan ini bernama feminisme. Feminisme bersandar pada pemikiran bahwa perempuan harus bangkit melawan kaum pria untuk melepaskan kezaliman yang diterapkan kepada mereka. Gerakan feminisme dalam slogan-slogan dan propagandanya menyuarakan persamaan gender, melecehkan perkawinan dan peran sebagai ibu, kebebasan seks, aborsi, melepaskan perempuan dari nilai-nilai moral dan tanggung jawabnya di keluarga. Namun sikap ekstrim feminisme yang sampai pada tahap menafikan sisi kewanitaan perempuan, sedikit demi sedikit meski berhasil menghapus sejumlah penderitaan kaum hawa, namun ternyata malah menimbulkan kesulitan lain bagi mereka dan komunitas manusia. Terkait hal ini, Murtadha Muttahhari, penulis dan pemikir Iran saat menyikapi kondisi baru perempuan di Barat menulis, “Di zaman dahulu, sisi kemanusiaan perempuan dilupakan dan dewasa ini sisi kewanitaan perempuan yang diabaikan.” Sosan Faludi, penulis Amerika meyakini bahwa di balik kegembiraan dan kemenangan perempuan, ada pesan lain yang muncul secara spontan. Pesan tersebut mengingatkan perempuan bahwa kini kalian telah bebas dan memiliki kesamaan dengan pria, namun kalian kini lebih menderita. Feminisme radikal mengingkari peran utama perempuan, perannya sebagai ibu dan merawat anak-anak. Hal ini menjadi faktor yang mencegah kemajuan bagi kaum perempuan. Padahal saat ini sebagian dari feminisme mengakui bahwa menjadi ibu merupakan puncak kenikmatan seorang perempuan. Oleh karena itu, dalam ideologi baru yang mendukung hak-hak perempuan, dukungan menjadi ibu menjadi prinsip yang diterima dan era saat ini dinamakan sebagai era kembalinya peran ibu. Toni Grant, penulis Amerika lainnya mengatakan, “Perempuan modern cenderung mempertahankan posisinya sebagai ibu dan mereka semakin agresif menemukan upaya untuk mengekspresikannya.” Dua pandangan radikal mengenai perempuan membuat peran mereka sebagai penenang dan kemampuan mereka untuk menciptakan solidaritas serta persatuan di tengah masyarakat tetap tak tersentuh. Sementara itu, ada pandangan yang lebih adil dalam menyikapi perempuan. Ideologi ini bersumber dari ajaran murni Islam. Dalam pandangan ideologi ini, meski perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan dalam struktur penciptaan baik itu dari segi fisik maupun mental, namun keduanya sama-sama memiliki hak-hak sebagai manusia. Dalam pandangan Islam, perempuan sebagai manusia dan mengingat peran utamanya, dapat berkecimpung di berbagai sektor di masyarakat. Posisi tinggi yang diberikan Islam ini dapat ditemukan di sabda dan sirah Rasulullah Saw. Beliau sangat menghormati posisi tinggi perempuan dan senantiasa mewasiatkan umatnya untuk menyayangi mereka. Rasulullah Saw bersabda, “Hanya orang-orang mulia yang menghormati perempuan dan hanya orang hina yang melecehkan perempuan.” Sikap Rasulullah Saw terhadap para istrinya penuh dengan kasih sayang, lemah lembut, ramah dan penuh keadilan. Kecintaan dan pujian beliau terhadap Khadijah terlihat dengan sikap beliau yang senantiasa mengatakan, “Allah Swt tidak memberiku yang lebih baik kecuali Khadijah.” Nabi berkata, “Ketika orang-orang menolak ajaranku, Khadijah merupakan orang pertama yang menyatakan keimanannya. Ia mengakui bahwa diriku orang yang jujur, ketika orang-orang menyebut diriku pembohong.” Nabi juga mewasiatkan umatnya untuk memperlakukan perempuan dengan baik. Nabi berkata, “Besikaplah lembut terhadap istri-istri kalian, rebutlah hatinya, sehingga mereka siap mendampingimu.” Sikap Nabi yang menghormati anak perempuannya, Sayidah Fatimah as juga patut mendapat pujian. Beliau sangat menghormati Fatimah. Beliau kerap mengungkapkan kasih sayangnya dengan mengecup dahi Fatimah. Dihadapan Fatimah, Nabi kerap bangkit dan berdiri untuk menghormatinya, sedangkan Sayidah Fatimah duduk. Sikap nabi ini menunjukkan penghormatan besar beliau kepada Fatimah secara khusus dan kepada kaum hawa secara umum. Nabi berkata, “Fatimah adalah bagian dariku. Siapa saja yang mencintainya, maka mereka juga mencintaiku. Sementara siapa saja yang menganggunya sama halnya dengan menganggu diriku.” Di bidang sosial, nabi juga memberi pengakuan kepada perempuan sehingga mereka memiliki andil untuk menentukan masa depannya. Oleh karena itu, dalam baiat dan hijrah, kita menyaksikan partisipasi kaum perempuan. Bukti nyata dalam hal ini adalah baiat kepada Nabi di tahun 11 kenabian yang diikuti oleh sejumlah besar perempuan Madinah. Baiat ini dikenal dengan Baiat an-Nisa (Baiat Mukminat). Sejatinya jika kita mencermati dengan teliti sejarah serta sunnah Nabi Saw, kita akan menyaksikan betapa Nabi Muhammad Saw memberi peluang kepada perempuan untuk andil di banyak sektor, seperti rumah tangga, hijrah, dakwah, peperangan, jihad, baiat, politik, kenegaraan dan pernikahan. Era kepemimpinan Nabi juga dapat disebut sebagai era terlibatnya perempuan di kancah politik dan sosial. Oleh karena itu, sambutan perempuan terhadap Islam tak kalah dengan laki-laki. Dalam pandangan Islam, peran istri dan ibu sangat ditekankan di samping peran mereka di bidang sosial dan politik. Peran perempuan ini dinilai sebagai jaminan bagi keamanan dan kesehatan mental di ranah rumah tangga. Dalam pandangan Nabi Muhammad dan Ahlul Baitnya, peran perempuan sebagai istri dan ibu dinyatakan sebagai jihad dan posisinya sama dengan jihad seorang pria di medan pertempuan atau aktivitas mereka di bidang sosial dan politik. Peran perempuan di keluarga sebagai manajer kasih sayang dan mental keluarga dalam merealisasikan keamanan mental suami serta anak-anaknya sangat kental. Jika perempuan gagal memainkan perannya sebagai istri dan ibu, maka akan muncul kekosongan mental dan kasih sayang di sebuah keluarga. Hal ini akan memicu timbulnya gangguan mental dan sosial di berbagai masyarakat. Peran penting lain perempuan sebagai pembimbing masyarakat adalah perannya sebagai pencipta persatuan. Perempuan adalah pilar utama institusi keluarga. Wajar perempuan sebagai poros keluarga memainkan peran berpengaruh dalam menciptakan persatuan di masyarakat. Ketika seorang muslimah menyadari sepenuhnya dengan kemampuan dan tugasnya serta memahami dengan benar Islam, maka ia akan menjadi teladan bagi anak-anaknya. Jika seorang ibu menekankan prinsip persatuan dalam mendidik anak-anaknya, maka friksi akibat perbedaan mazhab akan dapat disingkirkan dan umat Muslim akan berinteraksi dengan sesamanya dengan baik dan menganggap mereka sebagai saudaranya. Dengan demikian keagungan Islam akan terjaga. Muslimah yang memiliki kesadaran tinggi mampu mendorong keluarganya ke arah pengokohan persatuan. Ketika sebuah keluarga bergerak ke arah persatuan, maka pengaruh mereka pun akan terasa di masyarakat dan seluruh masyarakat akan mengalami perubahan.(IRIB Indonesia)