Drawer trigger

Jihad Sains yang Terlupakan

Itulah diktum George Bacon yang menjadi spirit zaman ini.  Di tengah zaman yang disokong dan digerakkan oleh berbagai penemuan-penemuan teknologi ini, siapa yang memiliki pengetahuan, dialah yang berkuasa. Zaman global dengan berbagai kemajuan teknologi dan sains di depan mata kita. Untuk bisa berdiri tegak dan mandiri kuat di sisi ilmu pengetahuan dan sains adalah prasyarat utama. Namun ironisnya, kondisi Islam yang dulu melahirkan ilmuwan-ilmuwan genius sekelas Ibnu Sina, al-Kindi, al-Jabar, dan lainnya kini hilang di tengah sejarah kemajuan sains Barat. ABI Press minggu ini menghadirkan wawancara eksklusif dengan salah satu dari sedikit Muslim dari Indonesia yang konsen di ladang jihad sains ini. Dialah Dr. Agus Purwanto, D. Sc, Kepala Lab. Fisika Teori & Filsafat Alam ITS yang pernah menjadi Profesor tamu Universitas Hiroshima Jepang. Dr. Agus, bisa Bapak ceritakan awal mula ketertarikan Bapak mempelajari sains? “Saya dulu ngajinya konvensional, ke surau, kadang-kadang nginep subuh baru pulang. Kalau malam Kamis dibacain kitab-kitab sama kiainya. Nah, dari situlah mulai denger pernyataan-pernyataan bahwa Islam itu  agama yang diridhai, agama yang paling bener, agama yang paling tinggi dan seterusnya.” “Nah, saat saya masih SMP dan SMA, saya membaca buku sejarah. Pertanyaan saya kok tak ada ilmuwan Islam? Memangnya ada apa dengan Islam?  Teori-teori tentang alam itu kan orang Eropa semua, bukan Muslim. Padahal kita sering dengar kan, al-islamu ya’lu wala yu’la alaihi,  tapi gimana membuktikan itu? Karena faktanya kalau belajar Fisika, gak ada terori dari orang Islam, belajar Biologi juga gak ada?  Nah, ketika berbenturan dengan fakta-fakta sejarah yang saya baca, kok gak ada sih orang-orang yang hebat dari  orang Islam? Padahal kita meyakini al-Qur’an itu sebagai petunjuk. Termasuk soal sains. Itu kan bisa jadi basis epistemologi sains. Itulah yang mendorong saya bertekad jadi ilmuwan Muslim.” “Jadi intinya saya berprinsip bahwa al islamu ya’lu wala yu’la alaihi. Islam itu tinggi dan tak ada yang lebih tinggi darinya. Tapi itu semua kan kembali kepada kita sebagai umat. Karena al-islamu mahjubil bil muslimin, orang islam ditutupi oleh orang Islam itu sendiri. Gitu.” Bapak menyatakan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan bisa dijadikan basis sains? Bisa Bapak jelaskan? “Begini, selama ini ilmu pengetahuan modern yang dikembangkan sejak Eropa pertengahan memang menolak wahyu sebagai bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan. Seperti pandangan khalayak luas. Padahal sebenernya kan kita bisa persoalkan juga apakah pandangan itu lebih mendasar dari wahyu?” “Sayangnya kita orang Islam juga ikut-ikutan dari ilmuwan Eropa yang mengenyampingkan wahyu sebagai sumber informasi. Padahal kita kan meyakini bahwa al-Qur’an itu petunjuk. Petunjuknya kan huda linnas, tidak dispesifikasi. Ilmuwan juga bisa mendapat petunjuk dari al-Qur’an. Bukan sekadar petunjuk moral berkehidupan belaka. Kalau kita lihat al-Qur’an di situ ada 800 ayat kauniyyah, ayat tentang alam. Itu 5 kali lipat banyaknya dari ayat fikih yang hanya 160 ayat. Loh, ini kan mubazir kan kalau tidak memberi info apa pun. Saya termasuk orang yang tidak percaya kalau 800 ayat kauniyyah itu tidak memberi informasi apa pun kepada kita. Lah trus untuk apa?” “Al-Qur’an itu berbeda dengan kitab suci yang lain. Kitab suci yang lain kan sudah kehilangan keasliannya. Teksnya tidak bisa diandalkan. Kita, dari teksnya saja kita sudah bisa bermain di situ. Itu salah satu kekayaan kita.” Bisa Bapak berikan contoh ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan sains ini? “Salah satunya surah Al-Hadid ayat 25, di situ disebutkan wa anzala, Kami turunkan besi. Kenapa sih “Kami turunkan?” Kalau kami turunkan berarti kan dari atas. Kalau dari atas kan dari mana? Ini kalau kita pikirkan lebih lanjut ini kan mengaitkan besi dengan persoalan-persoalan di langit. Itu kan proses kalau kita memang serius, adalah mengungkap soal thermo nuklir.” “Begitu pun surah Az-Zumar ayat 6. “Kami turunkan 8 pasang hewan ternak.” Itu belum ada teorinya. Itu punya peluang untuk membangun katakanlah astro-genetika. ‘Delapan ternak’ itu diturunkan dalam bentuk apa? Gak mungkin kalau dalam bentuknya kambing atau sapi. Berarti itu dalam bentuk gen-gen. Dari mana? Dari atas? Ya kemungkinan dari bintang-bintang. Ini yang saya katakan kita masih punya peluang dapat Nobel.” “Di tiga ayat yang berbeda, kata masyrik muncul dalam semua bentuk. Bentuk tunggal, bentuk mutsanna, dan jamak taksirnya. Padahal dalam kaidah tasyrif, ini kan isim yang merupakan bentukan, bukan dari isim jami’, kata asli. Tidak semua isim muncul seperti itu. Padahal dalam kaidah tasyrif bisa berarti isim makan (keterangan tempat), atau isim zaman( keterangan waktu). Nah itu kalau kita pikir kenapa seperti ini, kita nalar, kita akan berujung pada gagasan bahwa bumi itu bundar. Dalam al-Qur’an ini tidak dijelaskan secara eksplisit. Karena kalau disebutkan eksplisit umat jadi tidak mikir.” Apa nilai penting bagi umat Islam mengkaji ayat-ayat Kauniyyah ini? “Bagi saya ini akan mengembalikan Islam secara utuh. Islam yang terbengkalai saat ini ya bagian ini. Apalagi kalau kita kaitkan dengan diktumnya Francis Bacon, knowledge is power, kan kita menemukan relevansinya. Jadi penguasaan pada hal-hal teknis alamiah, itu kaitannya dengan ayat-ayat kauniyyah. Jadi ilmu-ilmu natural bukan lagi katakanlah, ilmunya orang kafir, tapi itulah Qur’an. Problemnya kan ketika orang Islam tidak mau mempelajari ilmu bukan karena problem kapital, bukan problem modal, tapi kemudian lebih deket ke persoalan-persoalan teologis. Maka pembenahannya, juga harus dimulai dari Qur’an juga.” “Kita perlihatkan kepada masyarakat luas dalam bentuk yang paling gampang. Ini loh, ayat Kauniyyah 5x lebih banyak dari ayat fikih. Kenapa kok malah diabaikan? Itu kan logika yang paling gampang disampaikan kepada orang banyak.” Apakah ada semacam program yang Bapak rancang untuk menciptakan generasi Muslim saintis ini? “Saya punya dua pondok pesantren di Jawa Tengah, Sragen dan Jombang. Namanya Trensains, pesantren sains. Dan itu masuk materi filsafat di dalamnya. Dan itu pertama di Indonesia, dan insyaAllah dunia ya, kalau di Sunni.” “Trensains itu persantren sains, yang ngetrenkan sains. Kenapa ngetrenkan sains, karena sains tidak populer di kalangan orang Islam. Bahkan ada semacam perspesi bahwa dunia Islam itu anti ilmu pengetahuan. Ada persepsi seperti itu. Ini bisa dilihat dari anggaran penelitian para pemimpin penduduk mayoritas muslim. 5-7 negara sama dengan satu biaya penelitian satu negara kecil di Eropa.” “Knowledg is power. Nah, sekarang ini dunia ini kan didominasi oleh produk-produk teknologi. Sementara dunia Islam hari ini berperan sebagai penonton. Maka panggilannya adalah, ayo kita bermain. Tapi, gimana nih menyiapkan pemain? Orang Islam pinter banyak . Tapi kan banyak yang gak nyambung dengan problem-problem kontemporer. Dan 800 ayat kauniyyah itu jelas-jelas diabaikan dan dilupakan banyak para ulama. Jadi upaya ke depan adalah kemudian, bagaiman mengintensifkan kembali kajian terhadap 800 ayat itu.” “Tahun 60-an ada wacana Islamisasi ilmu. Terlepas dari pro kontranya kan memang seharusnya begitu. Karena memang dalam sejarah saya katakan itu ada sekularisasi ilmu. Nah, di satu sisi ilmu harus dikuasai, tapi bagaimana tidak mengulang kesalahan Eropa. Jadi ilmu pengetahuan yang diajarkan juga harus disaring, harus dikritisi. Nah itu perlu satu lembaga tersendiri. Itu yang saya bangun.” Bagaimana pendapat Bapak mengenai fenomena ‘cocokologi’ sains dan al-Qur’an yang sempat ngetren belakangan ini? “Saya mencoba lebih fair dalam artian Islam itu kan diajarkan kepada orang sekaliber Sayyidina Ali sampai orang sekaliber Bilal. Maka, bagi saya, memang bagi akademisi, cara-cara cocokologi atau cocokisasi semacam itu itu memang mengganggu. Tapi bagi orang awam, dan itu dalam jumlah besar, itu cukup menjadi daya tarik. Jadi gak apa. Itu berikan pada level mereka. Tapi bagi kita, mari kita bekerja di level ktia, yaitu level serius.” “Cocokologi itu bagaimana pun juga dia sudah berusaha walau levelnya seperti itu. Lumayan lah. Seperti katakanlah yang dilakukan Harun Yahya. Tapi anak-anak SMA kan justru tertariknya Islam dari situ. Jadi ya sudah, memang ini istilahnya pasarnya di situ, lahan dakwahnya di situ. Kita yang gak mau itu bergerak di level serius. Di wilayah yang memang membongkar pondasi dari sains (materialis) itu sendiri.” Bagaimana Bapak melihat Muslim Indonesia terkait kesadaran akan pentingnya ‘jihad sains’ ini? “Sebenernya begini ya, orang Indonesia itu sangat kreatif. Itu jelas. Dibanding Malaysia misalnya, orang Indonesia jauh lebih kreatif. Masalahnya di Indonesia ini problemnya di pimpinan negara ini seperti tidak jelas. Mau membawa kita ini sebagai bangsa apa? Kan sebenarnya tugas pemimpin ini kan memberi impian kepada masyarakat. Misalkan yang paling deket menjadi superpower Asia Tenggara. Msialkan begitu.” Bapak pernah ditawari untuk mengajar di luar negeri? “Trensains ini sudah didatangi 4 guru besar  dari 4 perguruan tinggi dari Malaysia. Makanya nama dan logo kita patenkan dulu. Dan sebenernya saya pernah dulu ditawari pindah dari sana, pensiun dari ITS. Tapi saya tolak.” Kenapa Bapak menolak? “Ya…, medan perang saya di sini. Jadi akar kebudayaan sebagai prasyarat kebangkitan itu ada di Indonesia, bukan Malaysia. Karena nilai-nilai filosofis kan ada di Jawa-Bali, bukan di Malaysia yang merupakan kepanjangan dari Sumatera-Melayu. Bangsa-bangsa yang dulu pernah eksis, peradaban kan bangsa-bangsa yang menguasai pondasi filsafat. Mana coba bangsa besar yang eksis yang tak punya filsafat. Gak ada kan? Malaysia kan gak punya. Malaysia kan punya management saja. Masyarakatnya di sana low-low aja. Yang dinamis di kita malahan. Cuma masalahnya di pimpinan itu tadi.” Orang-orang seperti Bapak kan sebenarnya banyak, tapi karena satu dan lain hal, mereka tak mengaplikasikan ilmunya di Indonesia dan lebih memilih di negeri asing. Bagaimana menurut Anda? “Ya…, saya tak meyalahkan mereka. Tapi kalau kita bicarakan lebih afdhol di mana? Ya tentu lebih afdhol di sini. Saya jadi teringat begini, tulisan dari Iqbal Lahore, ketika dia bercerita tentang seorang pemuka sufi besar di India yang mengomentari tentang mi’rajnya Rasul. Sang sufi ini berkata kalau saya mi’raj, saya gak akan kembali, maksudnya kembali ke bumi.” “Saya bisa paham karena memang tujuan tertinggi seorang sufi adalah wihdatul wujud, menyatu dengan sang Khalik. Maka ketika pertemuan di shidratul muntaha itu adalah puncak, makanya seorang sufi tak ingin kembali ke dunia. Tapi Rasul melampaui sufi, ia melampaui kenikmatan individual seorang sufi. Rasul tugasnya adalah membebaskan manusia dari berbagai ikatan non ilahiah. Nah, saya mencontoh Nabi. Kalau mau enak, mudah saja bagi saya. Tapi tugas saya adalah berkarya dan ‘membebaskan’ negeri ini.” ()