Demi Orang-orang Rangkasbitung
Demi Orang-orang Rangkasbitung
Author :
Rendra
0 Vote
6 View
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, Salam sejahtera! Nama saya Multatuli Datang dari masa lalu. Dahulu abdi Kerajaan Belanda, ditugaskan di Rangkasbitung, ibukota Lebak saat itu. Satu pengalaman penuh ujian. Rakyat ditindas oleh bupadi mereka sendiri. Petani hanya bisa berkeringat, tidak bisa tertawa, dan hak pribadi diperkosa. Demi kepentingan penjajahan, Kerajaan Belanda bersekutu dengan kejahatan ini. Sia-sia saya mencegahnya. Kalah dan tidak berdaya. Saya telah menyaksikan bagaimana keadilan telah dikalahkan oleh para penguasa dengan gaya yang anggun dan sikap yang gagah. Tanpa ada ungkapan kekejaman di wajah mereka. Dengan bahasa yang rapi mereka keluarkan keputusan-keputusan yang tidak adil terhadap rakyat. Serta dengan budi bahasa yang halus mereka saling membagi keuntungan yang mereka dapat dari rakyat yang kehilangan tanah dan ternaknya. Ya, semuanya dilakukan sebagai suatu kewajaran. Dan bangsa kami di negeri Belanda pada hari Minggu berpakaian rapi, berdoa dengan tekun. Sesudah itu bersantap bersama, menghayati gaya peradaban tinggi, bersama sanak keluarga, menghindari perkataan kotor, dan selalu berbicara dalam tata bahasa yang patut, sambil membanggakan keuntungan besar di dalam perdagangan kopi, sebagai hasil yang efisien dari tanam paksa di tanah jajahan. Dengan perasaan mulia dan bangga kami berbicara tentang suksesnya penaklukan dan penjajahan. Ya, begitulah. Kami selalu mencuci tangan sebelum makan dan kami meletakkan serbet di pangkuan kami. Dengan kemuliaan yang sama pula ketika kami memerintahkan para marsose agar membantai orang-orang Maluku dan orang-orang Java yang mencoba mempertahankan kedaulatan mereka! Ya, kami adalah bangsa yang tidak pernah lupa mencuci tangan. Kita bisa menjadi sangat lelah apabila merenungkan gambaran kemanusiaan dewasa ini. Orang Belanda dahulu juga mempunyai keluh kesah yang sama apabila berbicara tentang keadaan mereka di zaman penjajahan oleh Spanyol. Mereka memberi nama yang buruk kepada Pangeran Alba yang sangat menindas. Tetapi sekarang pakah mereka lebih baik dari Pangeran yang jahat itu? Tentu tidak hanya saya yang merasa gelisah terhadap dawat hitam yang menodai iman kita. Pikiran yang lurus menjadi bercela karena tidak pernah bisa tuntas dalam menangani keadilan. Sementara waktu terus berjalan dan terus memperlihatkan keluasan keadaannya. Kita tidak bisa seimbang dalam menciptakan keluasan ruang di dalam pemikiran kita. Memang kita telah bisa berpikir lebih canggih dan kompleks, tetapi belum bisa lebih bebas tanpa sekat-sekat dibanding dengan keluasan waktu. Bagaimana keadilan bisa ditangani dengan pikiran yang selalu tersekat-sekat? Ya, saya rasa kita memang lelah. Tetapi kita tidak boleh berhenti di sini. Bukankah keadaan keadilan di sini belum lebih baik dari zaman penjajahan? Dahulu rakyat Rangkasbitung tidak mempunyai hak hukum apabila mereka berhadapan kepentingan dengan Adipati Lebak. Sekarang apakah rakyat kecil sudah mempunyai hak hukum apabila mereka berhadapan kepentingan dengan Adipati-adipati masa kini? Dahulu Adipati Lebak bisa lolos dari hukum. Sekarang Adipati-adipati yang kejam dan serakah apakah sudah bisa dituntut oleh hukum? Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu adalah kemerdekaan negara dan bangsa? Negara anda sudah merdeka. Tetapi apakah bangsa anda juga sudah merdeka? Apakah bangsa tanpa hak hukum bisa disebut bangsa merdeka? Para pemimpin negara-negara maju bisa menitikkan air mata apabila mereka berbicara tentang democratie kepada para putranya. Tetapi dari kolam renang dengan sangat santai dan penuh kewajaran mereka mengangkat telefoon untuk memberikan dukungan kepada para tiran dari negara lain demi keuntungan-keuntungan materi bangsa mereka sendiri. Oh! Ya, Tuhan! Saya mengatakan semua ini sambil merasakan rasa lemas yang menghinggapi seluruh tubuh saya. Saya mencoba tetap bisa berdiri meskipun rasanya tulang-tulang sudah hilang dari tubuh saya. Saya sedang melawan perasaan sia-sia. Saya melihat negara-negara maju memberikan bantuan ekonomi. Dan sebagai hasilnya banyak rakyat dari dunia berkembang kehilangan tanah mereka, supaya orang kaya bisa main golf, atau supaya ada bendungan yang memberikan sumber tenaga listrik bagi industri dengan modal asing. Dan para rakyat yang malang itu, ya Tuhan, mendapat ganti rugi untuk setiap satu meter persegi dari tanahnya dengan uang yang sama nilainya dengan satu pak sigaret bikinan Amerika. Barangkali kehadiran saya sekarang mulai tidak mengenakkan suasana? Keadaan ini dulu sudah saya alami. Apakah orang seperti saya harus dilanda oleh sejarah? Tetapi ingat: sementara sejarah selalu melahirkan masalah ketidakadilan, tetapi ia juga selalu melahirkan orang seperti saya. Menyadari hal ini tidak lagi saya merasa sia-sia atau tidak sia-sia. Tuan-tuan, para penguasa di dunia, kita sama-sama memahami sejarah. Senang atau tidak senang ternyata tuan-tuan tidak bisa meniadakan saya. Nama saya Multatuli saya bukan buku yang bisa dilarang dan dibakar. Juga bukan benteng yang bisa dihancurleburkan. Saya Multatuli: sebagian dari nurani tuan-tuan sendiri. Oleh karena itu saya tidak bisa disamaratakan dengan tanah. Tuan-tuan, para penguasa di dunia, apabila ada keadaan yang celaka, apakah perlu ditambah celaka lagi? Pada intinya inilah pertanyaan sejarah kepada anda semua. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang hadir di sini, setelah memahami sejarah, saya betul tidak lagi merasa sepi. Dan memang tidak relevan lagi bagi saya untuk merasa sia-sia atau tidak sia-sia, sebab jelaslah sudah kewajiban saya. Ialah: hadir dan mengalir. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, terima kasih. Bojong Gede, 5 Nopember 1990