Ekonomi dan Agama*
Ekonomi dan Agama*
Author :
Muhammad Ayub
0 Vote
68 View
Pertanyaan signifikan yang ada dewasa ini adalah apakah ekonomi harus dicampuradukkan dengan agama. Lebih spesifiknya, apakah Islam dapat bermanfaat dalam perkembangan perekonomian atau hanya akan menjadi penahan pada pertumbuhan perekonomian? Rincian detail tentang aspek ekonomi ini tidak tercakup dalam buku ini karena yang menjadi fokus pembahasan adalah aspek keuangan sebagai bagian paling strategis dari setiap sistem ekonomi. Banyak sekali cendekiawan yang menyalahkan kemiskinan relatif warga Muslim dewasa ini sebagai akibat dari keyakinan religius mereka. Akan tetapi, Marcus Noland, seorang ekonom ulung, menyatakan pandangan yang berlangsung lama ini salah, “Tidak ada suatu sifat pun yang melekat pada masyarakat (islami) ini yang mengharuskannya menjadi miskin,” Kata ekonom Institute for International Economics di Washington ini. Ketika membahas peran agama dalam perekonomian, orang harus membedakan perekonomian sebagai ilmu dari sistem perekonomian. Suatu sistem perekonomian harus dibahas sebagai pemikiran yang berdasarkan suatu ideologi, sedangkan ilmu perekonomian harus dipertimbangkan sebagai ilmu yang menangani penciptaan kekayaan. Sistem perekonomian berkaitan dengan manajemen distribusi kekayaan dalam suatu masyarakat yang cenderung menyelesaikan permasalahan-permasalahan perekonomian dari beragam kelompok dengan memungkinkan atau melarang mereka memanfaatkan sarana-sarana produksi dan kepuasan. Oleh sebab itu, sistem ekonomi harus mencakup tiga elemen utama : Kepemilikan properti, komoditas, dan kekayaan Pemberian kepemilikan Distribusi kekayaan di antara orang-orangnya. Komuditas dikuasai untuk memberikan manfaat bagi mereka, yang mewakili kepantasan dari suatu komoditas guna memuaskan kebutuhan manusia mana pun. Barang/aset dikuasai sebagai hasil suatu kerja, warisan, pembelian/perolehan properti untuk kelangsungan hidup, pemerintah yang memberikan penguasaan atas sesuatu kepada warganya, dan pembayaran transfer atau barang-barang yang diberikan sebagai hadiah (tanpa harus memberikan sesuatu sebagai imbalan). Dari perspektif ini, sistem perekonomian islami berbeda dengan sistem-sistem lain hanya sebatas pada kepemilikan dan distribusi sumber-sumber daya di antara faktor-faktor produksi serta beragam kelompok masyarakat, serta adanya peran negara yang jelas untuk memastikan bahwa ketidakadilan tidak terjadi pada setiap individu, pihak, atau kelompok manapun. Perekonomian islami, sesungguhnya, dapat meningkatkan keseimbangan di antara aspek sosial dan ekonomi masyarakat, kepentingan pribadi dan sosial serta juga di antara individual, keluarga, masyarakat, dan negara. Ia dapat secara efektif menangani persoalan-persoalan seperti distribusi pendapatan dan pengentasan kemiskinan, yang tidak dapat ditangani oleh kapitalisme. Pada tingkatan global, ia dapat bermanfaat dalam menghapus sumber-sumber ketidakstabilan sehingga menjadikan dunia suatu tempat yang lebih bahagia dengan adanya keharmonisan di antara para pengikutnya dari agama yang berbeda-beda. Dalam dunia kontemporer kita memiliki bukti pada tingkat makro mengenai keadilan pendistribusian dan pengembangan. Teori titisan ke bawah (trickle-down theory/TDT) yang diadopsi di Malaysia selama tahun 1957-1970 gagal dengan menyedihkan dan menyebabkan tragedi 13 Mei 1969 berupa kerusuhan ras di negaranya. Pemerintah Malaysia kemudian mengadopsi kebijaksanaan yang menerapkan nilai-nilai inti Islam, misalnya keadilan dan kewajaran, yang telah banyak memberikan kontribusi pencapaian yang menakjubkan bagi negerinya dalam tiga dekade terakhir. Walaupun tidak dapat menerapkan prinsip-prinsip syariah secara penuh, pemerintah Malasyia telah mengadopsi suatu kebijaksanaan pragmatis (Kebijaksanaan Perekonomian Baru/New Economic Policy) yang memiliki sasaran ganda berupa membasmi kemiskinan dan merestrukturisasi masyarakat untuk memastikan kedilan dengan kewajaran. Kebijaksanaan untuk pertumbuhan yang ebih tinggi dengan kadilan yang merata muncul sebagai tanggapan langsung terhadap kebijaksanaan pengembangan pertumbuhan (TDT) yang diikuti selama tahun 1960-an. Keberhasilan pada tingkatan makro dapat dianggap sebagai faktor kontribusi yang mengimbangi kegagalan beberapa institusi dan nilai pada tingkatan mikro. Berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam kitab suci Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad saw, sistem Islami memainkan peran strategis dalam perkembangan umat manusia dari separuh akhir abad ketujuh hingga kesepuluh. Orang Muslim unggul dalam semua bidang pengetahuan pada zaman mereka, di samping memahami dan menjalankan ajaran-ajaran Islam. Periode dari Pious Caliphate setelah Nabi Muhammad saw, hingga abad kesebelas mewakili puncak kejayaan Muslim. Orang-orang Islam mampu mengembangkan dan menghasilkan kekayaan dari tanah-tanah serta perdagangan internasional mereka, memperkuat pertahanan mereka, dan melindungi orang-orang mereka serta membimbingnya ke dalam cara hidup Islam. Ketika batasan-batasan yang meluas dari Negara Islam menghasilkan persoalan moneter, merkantilisme, urbanisasi, dan sosio-ekonomi, mereka mengembangkan sistem dan teori untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul. Banyak cendekiawan dan pemikir dari abad pertengahan yang mengembangkan beberapa cabang ilmu pengetahuan, termasuk prinsip-prinsip perekonomian, yang dapat dipertimbangkan sebagai dasar ekonomi politik dan gagasan ekonomi modern. Oleh karenanya, Abad Pertengahan dianggap sebagai zaman keemasan sejarah Muslim. Dengan adanya kemunduran intelektual, peradaban Muslim mulai layu, menjadi lebih disibukkan dengan permasalahan-permasalahan minor. Revolusi industri benar-benar diabaikan. Kemuduran ini berlanjut hingga Inggris dan Prancis mendesak pemberontakan terhadap pemerintahan Turki dan mengakibatkan kehancuran kerajaan Ottoman, kekuasaan Muslim mendunia yang terakhir, dan diganti dengan koloni-koloni Eropa. Baru setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua koloni-koloni tersebut menjadi independen. (hd/) *Sumber : diambil dari buku Understanding Islamic Finance karya .