Khumus Dalam Pandang Quran

Khumus Dalam Pandang Quran

  Allah Swt berfirman:   "Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. al-Anfal: 41)       Mereka yang diajak bicara dalam ayat ini adalah orang-orang yang bersama Nabi Muhammad Saw di Perang Badar melawan kaum Musyrikin dengan segala kekuatan yang dimiliki dan akhirnya meraih kemenangan. Mereka melaksanakan shalat, berpuasa, berhijrah, berjihad dan meraih cawan syahadah. Nabi Saw sangat berharap kepada mereka sebagai pembela Islam. Tapi sekalipun demikian, Allah Swt dalam ayat ini berfirman, "Wahai mujahidin yang berperang di Badar, bila kalian beriman kepada Allah, Nabi dan al-Quran, maka kalian harus memberikan khumus." Yakni, syarat iman kepada Allah, selain shalat, puasa dan jihad adalah mengeluarkan kewajiban harta dan itu adalah khumus.       Kata Ghanimah dan Gharamah masing-masing disebutkan sebanyak enam kali dalam al-Quran. Sebagaimana istilah Gharamah mencakup semua bentuk kerugian harta dan tidak terbatas pada kerugian di medan perang, istilah Ghanimah juga tidak khusus untuk keuntungan di medan perang, tapi mencakup semua keuntungan.       Kamus bahasa Arab seperti lisan al-Arab, Taj al-Arus, Qamus dan ahli tafsir Ahli Sunnah seperti Qurthubi, Fakhr ar-Razi dan al-Alusi tidak ragu akan umumnya makna kata Ghanimah. Dalam buku Mufradat ar-Raghib disebutkan, "Apa saja yang didapatkan manusia disebut Ghanimah." Begitu juga dengan kata Ghanimah dalam al-Quran yang dipakai untuk selain keuntungan atau harta pampasan perang. "... Karena di sisi Allah ada harta yang banyak ..."[1] Imam Ali as berkata, "Barangsiapa yang mengamalkan agama Allah, berarti ia telah sampai pada tujuannya dan beruntung."[2]       Sesuai dengan riwayat dan akidah Syiah, Ghanimah dalam surat al-Anfal ayat 41 ini mencakup segala keuntungan dan pemasukan yang lebih umum dari kerja dan dagang. Sementara diturunkannya ayat ini di perang Badar, sekalipun memberi makna bahwa Ghanimah adalah harta pampasan perang, tapi harus dikatakan bahwa satu bagian dari harta yang harus dikeluarkan khumusnya dibahas dalam ayat ini, sedangkan harta yang lain disebutkan dalam Hadis.       Khumus mendapat sorotan penting dalam riwayat. Sebagai contoh ada hadis yang menyebut siapa saja yang tidak mengeluarkan khumus dari hartanya, maka hartanya tidak halal dan ia tidak boleh menggunakan hartanya itu, bahkan shalat dengan pakaian yang belum dikeluarkan khumusnya menjadi tidak sah.[3]       Ayat ini tidak bertentangan dengan ayat pertama surat al-Anfal yang menyebut "Harta pampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul". Karena dengan memperhatikan ayat khumus, Nabi Muhammad Saw (para Imam dan wakil mereka) akan mengeluarkan khumus dari harta yang mereka dapatkan dan menyimpan seperlima darinya akan disimpan, sementara sisanya (empar perlima) akan dibagikan kepada mujahidin.       Para ahli fiqih menyebut khumus wajib di keluarkan pada tujuh harta:       1. Keuntungan dari penghasilan tahunan.       2. Harta karun.       3. Barang tambang.       4. Barang berharga hasil menyelam.       5. Harta halal yang bercampur dengan harta haram.       6. Tanah yang dibeli Kafir Dzimmi dari Muslimin.       7. Harta pampasan perang.       Jelas bahwa Allah Swt tidak membutuhkan khumus. Dengan demikian saham Allah untuk pemerintahan Islam, wilayah Rasulullah Saw, tablig, menolong orang miskin dan mencegah pelaku kefasadan.       Sesuai dengan riwayat disebutkan bahwa saham Allah dan Rasul-Nya serta setelahnya diserahkan kepada Imam Maksum as.[4] Tiga saham di masa kegaiban Imam Mahdi af dikelola oleh wakil khusus dan setelah itu wakil umum, yakni mutjahid yang telah memenuhi segala syarat dan marji taklid.[5]       Mereka yang berhak menggunakan khumus dalam banyak riwayat adalah orang miskin dan ibnu sabil dari keturunan Bani Hasyim, dikarenakan mereka haram mendapatkan zakat. Untuk itu mereka dapat memenuhi kebutuhannya dari khumus.[6] Pada dasarnya Islam mewajibkan dua hal untuk memerangi kemiskinan; zakat yang terkait dengan semua orang miskin dan khumus yang sebagiannya dikhususkan kepada orang miskin dari kalangan sayid. Dalam hal ini, khumus dan zakat diberikan kepada mereka hanya untuk memenuhi kebutuhannya dalam setahun, tidak boleh lebih.       Imam Ridha as berkata, "Pengambil keputusan terkait ukuran saham setiap kategori yang disebutkan dalam ayat berada di tangan Imam Maksum as."[7] [Islamic-sources/IRIB Indonesia / Saleh Lapadi]       Sumber: Mohsen Qarati, Daghayeghi ba Quran, Tehran, Markaz Farhanggi Darsha-i az Quran, 1388 Hs, cet 1.         [1] . QS. an-Nisa: 94.   [2] . Nahjul Balaghah, Khutbah 120.   [3] . Untuk penjelasan lebih luas bisa merujuk kepada buku penulis berjudul Khumus.   [4] . Tafsir as-Shafi.   [5] . Tafsir Nemouneh.   [6] . Tafsir Majma' al-Bayan dan Wasail as-Syiah, jilid 7, Kitab al-Khums.   [7] . Tafsir as-Shafi.