Penolakan Syiah terhadap Tahrif Al-Quran
Pembahasan hadis-hadis riwayat Al-Kulaini yang dianggap membenarkan adanya tahrif Al-Quran.
Riwayat Pertama
Abu Ja’far (Imam Al-Baqir) a.s. berkata, “Tidak seorang pun yang mengaku telah mengumpulkan Al-Quran sebagaimana yang telah diturunkan, melainkan ia adalah pembohong besar. Dan tidak ada yang mengum pulkan serta menghafalnya seba gaimana diturunkan, kecuali Ali ibn Abu Thalib dan para imam dari keturunannya.”
Terlepas dari masalah yang terkait dengan sanad riwayat di atas, sebab ‘Amr ibn Abu Al-Miqdâm masih diperselisihkan para ulama Rijal tentang ketsiqahannya79, perlu diketahui bahwa dalam hadis tersebut tid ak ada penegasan akan terjadinya pengurangan pada Al-Quran Al-Karîm.
Sebab kata ﲨﻊ disusul dengan kata ﺣﻔﻆ, yang memberikan makna bahwa yang dihafal dan dikumpulkan oleh Imam Ali dan para Imam suci Syiah a.s. adalah ilmu tentang seluruh teks ayat Al-Quran beserta takwil, tafsir, dan kandungannya baik yang zhahir maupun yang bathin. Dan bukan sekadar menghafal teks ayat-ayat suci Al-Quran. Selain itu, pemaknaan seperti itu sangat sejalan dengan keyakinan Al-Kulaini yang memasukkan hadis di atas dalam bab khusus dengan judul: ﹶﻤﻊﹺ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥﹶ ﻛﻠﱠﻪﹸ ﺇﻻﱠ ﺍﻷﺋﻤﺔ) ﻉ (ﻭ ﺃﳖﻢ ﺇﹺﻧﱠﻪﹸ ﱂ ﳚ ﻳﻌﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻤﹶﻪﹸ ﻛﻠﱠﻪﹸ . Bahwa sesungguhnya tidak ada yang mengumpulkan Al-Quran seluruhnya, kecuali para imam dan mereka mengetahui seluruh ilmu Al-Quran. Dalam bab ini Al-Kulaini meriwayatkan enam hadis, empat hadis terakhir berbicara tentang ilmu para Imam Ahlul Bait tentang apa yang terkandung dalam Al-Quran. Sedangkan dua hadis pertama adalah yang telah dikutip di atas.
Pada hadis di atas, terdapat dua masalah yang perlu didiskusikan, pertama, adanya mushaf milik Imam Ali a.s. Kedua, bentuk dan hakikat mushaf tersebut. Tent ang masalah pertama, tidak diragukan bahwa se- peninggal Rasulullah Saw. Imam Ali a.s. telah meluangkan waktu beliau untuk mengumpulkan Al-Quran. Berita tentangnya telah diterima kebenarannya oleh ulam a Ahlus Sunnah.
As-Sijistani dalam kitab Al-Mashâhif meriwayatkan dari Ibnu Sîrîn, berkata, “Ketika Rasulullah Saw. wafat, Ali bersumpah untuk tidak mengenakan ridâ’ kecuali untuk shalat Jumat sehingga dia selesai mengumpulkan Al-Quran dalam sebuah mushaf.”80 Berita tentangnya juga dapat dibaca dalam berbagai kitab Ahlus Sunnah seperti Al-Fahrasat Ibnu Nadîm, Al-Itqân As-Suyuthi, dan lain-lain. Kedua, tentang hakikat mushaf Imam Ali a.s. Para ulama menyebutkan bahwa ia ditulis sesuai dengan urutan nuzûl-nya, di samping disertakan keterangan tentang makna dan ta’wîlnya. Ibnu Juzzai berkata, “Ketika Rasulullah Saw. wafat, Ali ibn Abu Thalib r.a. duduk di rumahnya, dia mengumpulkan Al-Quran sesuai urutan tanzîl-nya.
Andai mushaf itu ditemukan pasti di dalamnya terdapat banyak ilmu pengetahuan, tetapi sayang tidak ditemu-kan.”81 Suyuthi mengatakan, “Jumhur ulama berpendapat bahwa tertib susunan/urutan surat-surat ditetap- kan berdasarkan ijtihad para sahabat. Ibnu Fâris berdalil bahwa di antara para sahabat ada yang menyusun surat-surat Al-Quran berdasarkan urutan tanzîl/turunnya, yaitu mushaf Ali. Awal mushaf itu adalah surat Iqra’ kemudian Nûn, kemudian Al-Muzammil, dan demikian seterusnya hingga akhir surat-surat Makkiyah, kemudian surat-surat Madaniyyah.”82
Riwayat Kedua
Hadis kedua yang diriwayatkan Al-Kulaini dalam bab tersebut adalah:
“Dari Abu Ja’far a.s. Dia berkata, ‘Tidak ada seorang yang mengaku memiliki seluruh Al- Quran, zhahir dan batinnya melainkan para washi (imam).’”
Terlepas dari kelemahan dua perawinya yang bernama Muhammad ibn Sinan dan Al-Munakhk hal— sebagaimana disebutkan oleh para pakar Ilmu Rijâl Syiah seperti An-Najjâsyi dalam Rijâlnya, Ath-Thûsi dalam Fihrasat, Tahdzîb Al-Ahkâm ketika menyebut hadis dengan nomor 1464 pada juz 7/361, Al-Istib- shâr (3/224) ketika menyebut hadis nomor 810, Al- Kasyi dalam Rijâl-nya, dan Al-Allamah Al-Hilli dalam Rijâl-nya dan sebagainya—penyebutan kalimat: ﻇﺎﻫﺮﻩ ﻭ ﺑﺎﻃﻨﻪ akan memperjelas makna hadis tersebut, bahwa yang dimiliki para imam dan tidak dimiliki selain mereka adalah ilmu seluruh Al-Quran baik yang zhahir maupun yang batin. Jadi dalam usaha memfahami hadis pertama tidak dapat dipisahkan dari hadis kedua dan juga dari penempatan keduanya pada bab tentang ilmu para imam.
Demikianlah pemahaman para ulama Syiah seperti yang terungkap dalam Hasyiyah atas Al-Kâfî oleh Sayy id Ath-Thabathaba’i (1/228) dan Syarah Ash-Sha hîfah as-Sajjâdiyah oleh Sayyid Ali ibn Ma’shum Al-Madani (401). Untuk memperjelas makna kedua hadis di atas, mungkin kita bisa merujuk pada perkataan Ibnu Umar berikut ini: “Jangan sekali-kali seorang dari kalian mengatakan, ‘Aku telah mengambil seluruh Al- Quran!’ Tahukah dia apa ‘seluruhnya’ itu! Telah banyak (ilmu yang terkandung dalam) Al-Quran yang hilang. Akan tetapi, hendaknya dia berkata, ‘Aku mengambil yang zhahir saja.’”83
Riwayat Ketiga
Hadis ketiga yang disebutkan sebagai tuduhan tahrif dalam Al-Kâfi adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya Al-Quran yang dibawa Jibril a.s. kepada (Nabi) Muhammad Saw. adalah 17.000/tujuh belas ribu ayat.”
Hadis di atas diriwayatkan Al-Kulaini dalam ki- tab Al-Kâfi pada bab Kitabu Fadhli Al-Quran, bab An- Nawâdir. Para perawi dalam silsilah riwayat di atas adalah tsiqâh seperti dinyatakan para Ahli Ilmu Rijâl Syiah. Karenanya, sebagian orang menyerang Syiah dengan menyatakan bahwa hadis riwayat Al-Kâfi yang menunjukkan adanya tahrif di atas adalah sahih, jadi berarti Syiah meyakini adanya tahrif. Padahal, seperti diketahui bersama, baik dalam disiplin Ilmu Hadis Ahlus Sunnah maupun Syiah, bahwa bisa jadi sebuah hadis itu sahih dari sisi sanadnya, dalam arti para perawinya tepercaya/tsiqât, namun sebenarnya pada matannya terdapat masalah. Sebab ketepercayaan seorang perawi bukan segalanya dalam menentukan status sebuah hadis. Kita harus membuka kemungkinan boleh jadi dia lupa, atau salah dalam menyampaikan matan hadis dan sebagainya.
Selain itu, hadis di atas adalah hadis ahâd (bukan mutawâtir) yang tidak akan pernah ditemukan baik dalam kitab Al-Kâfi maupun kitab-kitab hadis Syiah lainnya dengan sanad diatas. Di samping itu, perlu dimengerti bahwa Al-Kulaini memasukkan hadis di atas dalam bab An-Nawâdir. Dan seperti disebutkan Syaikh Mufîd, para ulama Syiah telah menetapkan bahwa hadis-hadis nawâdir tidak dapat dijadikan pijakan dalam amalan, sebagaimana istilah nadir (bentuk tunggal kata nawâdir) sama dengan istilah syâdz (ganjil). Para Imam Syiah telah memberikan kaidah dalam menimb ang sebuah riwayat, yaitu hadis yang syâdz harus ditinggalkan dan kita harus kembali kepada yang di- sepakati/al-mujma’ ‘alaih. Imam Ja’far a.s. bersabda,“Perhatikan apa yang diriwayatkan oleh mereka dari kami yang jadi dasar keputusan mereka. Di antara riwayat-riwayat itu, apa yang disepakati oleh sahabat-sahabatmu, maka ambillah! Adapun riwayat yang syâdz dan tidak masyhur menurut sahabat-sahabatmu, maka tinggalkanlah! Karena riwayat yang sudah disepakati itu tidak mengandung keraguan ….”84
Sementara hadis di atas tidak meraih kemasyhuran dari sisi dijadikannya dasar amalan dan fatwa, tidak juga dari sisi berbilangnya jalur periwayatannya. Ia sebuah riwayat syâdz nâdirah (ganjil) dan bertentangan dengan ijmâ’ mazhab seperti yang dinukil dari para tokoh terkemuka Syiah di sepanjang zaman, di antaranya Syaikh Shadûq, Syaikh Mufîd, Sayyid Al-Murtadha ‘Almul Hudâ, Syaikh Ath-Thûsi, Allamah Al-Hilli, Syaikh Ath-Thabarsi, dan puluhan bahkan ratusan lainnya. Angka 17.000 itu ternyata dalam beberapa manuskrip Al-Kâfi tertulis 7.000. Dengan demikian, belum dapat dipastikan angka tersebut dari riwayat Al-Kâfi . Bisa jadi kesalahan dilakukan oleh penulis sebagian manuskrip kuno kitab Al-Kâfi . Anehnya, angka 17.000/tujuh belas ribu ayat telah dinukil dari Al Kâfi oleh beberapa ulama yang menuduhkan tahrif kepada Syiah seperti:
1. Al-Alûsi dalam Mukhtshar Tuhfah al Itsnâ ‘Asyriyah (hal. 52).
2. Mandzûr An-Nu’mâni dalam Ats-Tsawrah Al- Irâniyha Fî Mîzâni Al-Islâm (hal. 198).
3. Muhammad Mâlullah dalam Asy-Syiah wa Tah- rif 'u Al-Qurân (hal. 63).
4. Dr. Muhammad Al-Bandâri dalam At-Tasyayyu’ Baina Mafhûmi Al-Aimmah wa Al-Mafhûm Al- Fârisi (hal. 95).
5. Dr. Shabir Abdurrahman Tha’imah dalam Asy- Syiah Mu’taqadan wa Madzhaban (hal. 103).
6. Ihsân Ilâi Dzahîr dalam Asy-Syiah wa As-Sunnah: (hal. 80) dan Asy-Syiah wa Al-Qurân (hal. 31).
7. Dr. Umar Farîj dalam Asy-Syiah Fî At-Tashaw- wur Al-Qurâni (hal. 24).
8. Dr. Ahmad Muhammad Jali dalam Dirâsat ‘An Al-Firaq Fî Târîkh Al-Muslimîn (hal. 228).
Adapun di antara yang menisbatkan tahrif dalam Syiah yang menyebutkan hadis tersebut dari Al- Kâfi dengan angka 7.000/tujuh ribu ayat adalah:
1. Musa Jârullah dalam Al-Wasyî’ah (hal. 23).
2. Abdullah Ali Al-Qashîmi dalam Ash-Shirâ’ Baina Al-Islâm wa Al-Watsaniyah (hal. 71).
3. Syaikh Muhammad Abu Zuhrah dalam kitab Al- Imâm Ash-Shâdiq (hal. 323).
4. Dr. Ahmad Muhammad Jali dalam Dirâsat ‘An Al-Firaq Fî Târîkh Al-Muslimîn (hal. 228).
5. Ihsân Ilâi Dzahîr dalam Asy-Syiah wa Al- Qurân (hal. 31).
Hadis riwayat Al-Kâfi di atas, dalam naskah kuno yang dimiliki dan dijadikan pijakan Al-Faidh Al-Kâsyâni dalam penukilan hadis Al-Kâfi dalam ensklopedia hadis berjudul Al-Wâfi yang beliau karang, adalah 7.000/tujuh ribu ayat. Dan beliau tidak menyebut-nyebut adanya riwayat dengan redaksi 17.000/tujuh belas ribu ayat. Hal ini membuktikan kepada kita bahwa naskah asli Al-Kâfi yang dimiliki Al-Faidh Al-Kâsyâni redaksinya adalah 7.000/tujuh ribu ayat, bukan 17.000/tujuh belas ribu ayat! Lebih lanjut baca kitab Shiyânatu Al-Qurân; Al-Marhum Syaikh Allamah Muhammad Hadi Ma’rifah (hal. 223-224). Jumlah 7.000/tujuh ribu itu disebut tentunya dengan menggenapkan angka pecahan yang biasa dilakukan orang- orang Arab dalam menyebut angka/bilangan yang tidak genap. Demikian diterangkan oleh Allamah Asy-Sya’râni dalam Ta’lîqah-nya atas kitab Al-Wâfi .
Ada sejumlah hadis yang juga seolah-olah menunjukkan tahrif dalam hadis-hadis Ahlus Sunnah. Misalnya dalam kitab tafsir Ad-Durr Al-Mantsur karya Jalaluddin As-Suyuthi, yang menyebutkan riwayat Ibnu Mardawaih dari Sayyidina Umar ibn Al- Khaththab, yang berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, “Al-Quran itu terdiri dari satu juta dua puluh tujuh ribu huruf, barang siapa mem bacanya dengan niat mengharap pahala, maka baginya untuk setiap hurufnya seorang istri dari bidadari.”85
Dalam kitab Al-Itqânnya As-Suyuthi kembali menyebutkan riwayat di atas dalam pasal, Naw’ (macam) ke-19: Bilangan surat, ayat, kata-kata, dan hurufnya dari riwayat Ath-Thabarâni, dan setelahnya ia mengomentari dengan mengatakan, “Hadis ini, seluruh perawinya tepercaya, kecuali guru Ath-Thabarâni; Muhammad ibn Ubaid ibn Adam ibn Abi Iyâs. Adz-Dzahabi mempermasalahkannya karena riwayat hadis di atas.”86 Artinya pada dasarnya dia juga jujur tepercaya, hanya saja dipandang cacat karena dia meriwa- yatkan hadis di atas. Jalaluddin As-Suyuthi sendiri menerima kesahihan dan kemu’tabaran hadis di atas, dengan mengatakan, “Dan di antara hadis-hadis yang meng-i’tibar-kan masalah huruf-huruf Al-Quran adalah apa yang diriwayatkan At-Turmudzi (lalu dia menyebutkannya) dan apa yang diriwayatkan Ath- Thabarâni ….” yaitu hadis di atas. Hadis riwayat Khalifah Umar di atas telah diterima oleh para ulama Ahlus Sunnah, bahkan ada yang menyebutnya ketika menghitung jumlah huruf-huruf Al-Quran seperti yang dilakukan Doktor Muhammad Salim Muhaisin dalam kitabnya Rihâbul Qur’an Al- Karîm (hal. 132). Az-Zarkasyi dalam kitab Al-Burhân-nya87 menyebut beberapa hasil penghitungan para pakar Al- Quran tentang bilangan huruf Al-Quran, seperti di bawah ini:
1. Dalam penghitungan Abu Bakar Ahmad ibn Hasan ibn Mihrân: 323.015 huruf.
2. Dalam penghitungan Mujahid: 3.210.00 huruf.
3. Dalam penghitungan para ulama atas perintah Hajjaj ibn Yusuf: 340.740 huruf.
Inilah pendapat-pendapat yang disebutkan Az- Zarkasyi. Sengaja di sini disebutkan dengan beragam perbedaannya, agar dapat dilihat langsung bahwa jumlah tertinggi yang disebutkan di atas tidak melebihi tiga ratus empat puluh satu ribu huruf. Itu artinya jumlah ayat Al-Quran yang hilang sebanyak lebih dari 686.260 huruf. Sepertinya Khalifah Umar hendak memperkuat apa yang beliau riwayatkan dalam hadis di atas dengan penegasan lanjutan yang sangat tegas. Diriwayatkan dari Ibnu Abbâs, bahwa Umar memerintah agar umat Islam berkumpul. Setelah berkumpul dia berpidato, setelah memuji Allah, dia berkata: “Hai sekalian manusia! Jangan ada orang yang sedih atas ayat rajam. Sesungguhnya ia adalah ayat yang diturunkan dalam Ki tab Allah, kami semua membacanya, akan tetapi ia hilang bersama banyak ayat Al-Quran yang hilang bersama (wafatnya Nabi) Muh am- mad.”88
Namun, tak ada satu pun ulama Syiah yang menjadikan hadis-hadis di atas sebagai dasar untuk menuduh bahwa Ahlus Sunnah meyakini adanya tahrif, karena Syiah meyakini bahwa pendapat yang menyatakan ada mazhab Islam atau bahkan mazhab di luar Islam yang mampu mengubah Al-Quran berarti meng- ingkari Al-Quran dan jaminan Allah untuk menjaganya. Berikut ini adalah sebagian karya ulama Syiah yang menegaskan ketiadaan tahrif dalam Al-Quran:
1. I’tiqâdât: Ash-Shadûq (w. 381 H)
2. Aâil Al-Maqâlâl Fî Al-Madzâhib Al-Mukhtârât: Syaikh Mufid (w. 413 H)
3. Al-Masâil Ath-Tharablusiyah: Sayyid Murtadha yang bergelar ‘Alamul Huda (w. 436 H)
4. At-Tibyân Fi Tafsîr Al-Quran; Syaikh Ath-Thûsi yang bergelar Syaikh Ath-Thâifah (w. 460 H)
5. Tafsir Majma’ Al-Bayân: Ath-Thabarsi yang ber- gelar Aminul Islam (w. 548 H)
6. Sa’du As-Su’ûd: Sayyid Abul Qasim Ali Ibn Thâwûs Al-Hilli (w. 664 H)
7. Ajwibah Al-Masâil Al-Mihnâwiyah: Allamah Al-Hilli (w. 726 H)
8. Ash-Shirâth Al-Mustaqîm: Zainuddin Al-Baya- dhi Al-Amili (w. 877 H)
9. Tafsir Manhaj Ash-Shâdiqîn: Fathullah Al-Kâ- syân i (w. 988 H)
10. Al-Wâfi: Al-Faidh Al-Kâsyâni (w. 1019 H)
11. Bihar Al-Anwâr, jilid 92: Syaikh Muhammad Baqir Al-Majlisi (w. 1111 H)
12. Kasyfu Al-Ghithâ’: Syaikh Akbar Ja’far yang di- kenal dengan gelar Kâsyif Al-Ghithâ’ (w. 1228 H)
13. Tafsir ‘Âlâu Ar-Rahmân: Syaikh Muhammad Jawad Al-Balâghi (w. 1352 H)
14. A’yân Asy-Syiah: Sayyid Al-Mujtahid Al-Akbar Muhsin Al-Amin Al-‘Âmili (w. 1371 H)
15. Al-Fushûl Al-Muhimmah Fi Ta’lîf Al-Ummah dan Ajwibah Masâil Jârullah: Sayyid Al-Imam Syarafuddin Al-Muaswi (w. 1381 H)
16. Al-Bayân Fî Tafsîr Al-Qurân: Sayyid Al-Marja’ Al-A’la Abul Qâsim Al-Khûi.
17. Tahdzîb Al-Ushul dan Anwâr Al-Hidâyah: Imam Rûhullah Al-Muaswi Al-Khumaini (w. 1409 H)
Untuk kesempurnaan penelitian perlu diketahui bahwa konsep tanzîl dalam riwayat pertama difahami
oleh sebagian ulama Syiah sebagai tafsir atau penjelasan.
Catatan-Catatan
79. Lebih jelasnya baca Tanqîh Al-Maqâl, 2/323.
80. Al-Mashâhif: 16. 81. At Tas-hîl Li ‘Ulûmi at Tanzîl; Imam Muhammad ibn Ahmad ibn Juzzai Al-Kalbi, 1/4, Muqaddimah ‘Ulâ/mukadimah pertama).
82. Al-Itqân, 1/66.
83. Ad-Durr Al-Mantsûr, 1/106 dan Fadhâil Al-Qurân; Abu Ubid Al-Qâsim ibn Sallâm: bab 51, hadis 1, hal. 190.
84. HR. Al-Kâfi, Kitab Fadhli Al-‘Ilmi, bab Ikhtilâf al- Hadîts, hadis no. 10.
85. Ad-Durr al-Mantsûr, 6/422.
86. Al-Itqân, 2/93, cet. Al-Halabi-Mesir.
87. Al-Burhân Fî ‘Ulûmil Qur’ân, 1/314-315. cet. Dâr al-Kutub Al-Ilmiah. Lebanon. Thn. 1988.
88. Mushannaf Ash-Shan’âni, 7/345, hadis no. 13329. Maksud beliau, janganlah kalian bersedih dan ke- mudian mengingkari ayat rajam, walaupun ia sekarang tidak lagi tertera dalam Al-Quran. Sebab bukan hanya ayat itu yang hilang, banyak ayat lain juga hilang bersamanya!
[islamic-sources/abna]