Konsep Ketuhanan al Farabi dan Ibnu Sina

Berbicara tentang ketuhanan, berarti membicarakan sebuah konsep yang menjadi salah satu cabang filsafat[1] yang umurnya seumur peradaban manusia itu sendiri.[2] Konon, sejak azali manusia sudah mempunyai keimanan untuk mengakui kekuatan ‘Yang Maha’ di luar manusia.  Filsuf Rasionalis seperti contoh Rene Descartes pun menyampaikan konsepnya tentang ‘ide bawaan’ yang menjadi dalil atas eksistensi ketuhanan.[3] Dari sudut pandang Islam, sendirinya wacana ketuhanan adalah salah sebuah cabang keilmuan tersendiri. Al-Qur’an menyebut kata ‘Allah’ sebanyak 2072 kali. Ini sekiranya sudah cukup menjadi bukti bahwa eksistensi Tuhan di dalam Islam terbukti [4] baik secara a priori maupun  a posteriori.[5] Maka tersebutlah nama Abu Nasr ibn al Farakh al Farabi dan  Abu ‘Ali al Husain ibn’Abdullah ibn Sina. Kedua Filsuf Neo-Platonism memang sedikit unik, karena meskipun secara tidak langsung namun mereka berdua mempunyai hubungan ‘murid dan guru’.[6] al Farabi (260-339 H/ 873-950 M)[7] adalah salah seorang filsuf Muslim yang mengasimilasi konsep ketuhanan Aristoteles, dan barulah sekitar satu abad berikutnya Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1037 M) datang dengan konsep yang mengasimilasi lebih jauh filsafat Aristoteles, sekaligus menyempurnakan karya al Farabi. Namun agaknya harus kita ketahui bahwasanya wacana filsafat dalam Islam tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Justru pasca asimilasi filsafat oleh Ibnu Sina, al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111 M) mengkritik keras metodologi para Filsuf. Fokusnya; Filsuf Neo Platonis-Aristotelian. Bahkan 3 dari 20 poin yang dilancarkan oleh Ghazali berujung hingga  al Kindi, al Farabi, dan Ibnu Sina difatwa kafir. [8] Serangan Ghazali itu niscaya berdampak besar pada distorsi perkembangan filsafat. Filsafat di dalam tubuh Islam tatkala itu sempat berhenti. Para cendikiawan takut mempelajari filsafat, buku-buku filsuf pun dimusnahkan. [9]Ibnu Rusyd (520-590 H/ 1126-1198 M), mengamati reduksi intelektual semacam itu sebelum akhinya balik menghantam kritik Ghazali.[10] Dan di tangan Ibnu Rusyd inilah Filsafat dalam Islam kembali mengalami perkembangan.[11] Dan wacana intelektual  seperti inilah yang secara tidak langsung menjadi motor gerakan keilmuan di dalam Islam. Tak pelak kita sadari di sini, al Farabi dan Ibnu Sina memegang peranan penting dalam wacana ini. Dengan dua prinsip; Filsafat dan ketuhanan, makalah ini akan mengungkap secara singkat pemikiran al Farabi dan Ibnu Sina berkaitan dengan ketuhanan. alfarabi Al-Farabi Konsep Ketuhanan al Farabi. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwasanya al Farabi adalah salah seorang filsuf Neo-Platonism. Konon, dengan hadirnya al Farabi, jadilah dirinya Filsuf pertama yang membangun Neo-Platonism di dunia Islam.[12] Bagaimanakah metode Neo-Platonism diaplikasikan oleh al Farabi dalam membuktikan eksistensi Tuhan? Tuhan, menurut al Farabi adalah  al Maujud al Awwal. Baginya Allah adalah ‘sebab’ pertama bagi segala sesuatu di dunia ini.  bagi al Farabi, segala sesuatu yang bersifat  ada (maujud)  di dunia ini hanya ada dua; Wajib al wujud dan mumkin al wujud. Maka sebelum kita beranjak lebih jauh untuk memahami konsep  Wajib al wujud dan mumkin al wujud, kiranya kita untuk memahami teori gerak Aristoteles yang menjadi dasar argumen ketuhanan al Farabi. Menurut Aristoteles, setiap entitas memiliki potensi dan aksi.  Gerak, menurut Aristoteles adalah perpindahan dari potensi ke aksi.  Perpindahan tersebut dilakukan karena adanya pelaku. Dan pelaku ini tidaklah lain sebagai seorang  Penggerak Yang Tidak Bergerak (Unmoved Mover/al Muharrik La Yataharrak)[13] Sebagai asal muasal  dari setiap pergerakan yang ada di dunia ini. Dan teori gerak inilah yang digunakan al Farabi untuk menjelaskan konsep wujudnya. Bagi al-Farabi, mumkin al wujud  yang termanifestasikan di dalam ciptaan di dunia ini membutuhkan adanya Wajib al wujud yang menggerakkan secara sistematis perputaran alam semesta ini (mumkin al wujud).[14] Al Farabi sebagaimana dilansir oleh Ibrahim madkour mendefinisikan Tuhan ‘Eksistensi sebenarnya yang ada, tidak akan tidak ada untuk selamanya, bahkan Ia selalu ada.’[15] Di sinilah terlihat bagaimana al Farabi berhasil memformulasikan filsafat Neo-Platonism di dalam Islam. Kaitannya, dalam menerangkan Tuhan.[16] Allah merupakan  Wajib al wujud bi zatihi. Allah adalah Zat yang haru ada dan merupakan sebab pertama bagi setiap entitas. Wujud-Nya merupakan wujud yang paling sempurna. Ia dengan substansi-Nya, yang tidak terpisah dari wujud-Nya merupakan  akal dan aktual sekaligus  (Actualis Sensus/ ‘aql bi al-fi’li) karena ia tidak bisa disamakan dengan materi yang lain di alam. Dia juga ma’qul sebagai objek pengetahuan. Maka jadilah konsep Allah dalam pandangan al Farabi adalah Tuhan yang Wajib al Wujud.  Tuhan yang baik secara wujud dan esensi tidak terpisah, namun merupakan bentuk aplikasi sebagaimana aksidensi bagi potensi. Dengan argumen di atas ini, al Farabi  menjabarkan penjelasan mengenai konsep penciptaan lewat filsafat Emanasi (pancaran).[17]Argumentasi pancaran ini pulalah yang kemudian menguatkan konsep  Wajib al Wujud –nya.  Ketika Tuhan dengan kondisi wujud (jawhar) dan esensi (dzat)yang tidak terpisah, namun berbeda (ma hiya huwa wa la hiya ghayruhu) berkehendak untuk menciptakan, perlu diketahui bahwa kehendaknyalah yang  qadim. Kehendak  (iradah) Tuhan di sini, dapat dianalogikan sebagai gerak dari esensi (dzat) Tuhan kepada wujud (jawhar)-nya. Wujud itulah yang berbentuk  iradah inilah yang kemudian termanifestasikan menjadi 12 akal dalam penciptaan. [18] Mengutip Fuad Mahbub Siraj, aktivitas Tuhan yang semacam ini menjadikan-Nya ‘Intelek Yang Merenungkan diri-Nya sendiri’. [19] Konsep Ketuhanan Ibnu Sina ibnsina Ibnu Sina Ibnu Sina, sebagai salah seorang yang juga dipengaruhi Neo-Platonism lewat tangan al Farabi secara umum tidak jauh beda. Eksistensi Tuhan dibuktikan dengan pendekatan ontologis[20] sebagaimana telah dipaparkan oleh al Farabi. Ibnu Sina, perihal argumen ketuhanannya menyampaikan sebagaimana berikut, “Sesungguhnya sebab (‘illah) atas tidak ada (‘adam)-nya sesuatu adalah sebab ketiadaan atas ada-(wujud)-nya itu. Sedangkan sebab adanya sesuatu adalah perihal yang mewajibkan daripadanya wujud.”[21] Di sini Ibnu Sina mengawali pendapatnya dengan sebuah kelaziman betapa setiap  wujud wajiblah daripadanya sebab  (‘illah) yang menjadikan wujud itu ‘wujud’ (ada). Namun, tatkala  ditemukan illah’ yang membuat wujud itu ‘adam, Ibnu Sina tidak serta merta menjustifikasi bahwa ‘illah itulah yang menyebabkan ‘adam-nya wujud itu. Hal ini dikarenakan jikalau setiap  wujud menjadi ‘wujud’ dikarenakan illah yang menyebabkan ‘wujud’  itu ada dari ‘adam (ketiadaan), maka yang akan terjadi adalah jika tidak ada ‘illah yang menyebabkannya wujud, maka wujud itu akan abadi di ‘adam (ketiadaan).[22] Di sini Ibnu Sina menyatakan, bahwa ‘adam’ ketiadaan adalah kondisi pertama yang dimiliki sebuah wujud  sebelum ia berwujud nyata. Maka dipastikanlah, setiap  wujud yang ada di dunia berasal dari ketiadaan (‘adam), dan adanya ‘illah di luar zat wujud yang bertugas ‘mengeluarkan’  wujud dari ‘adam.[23] Gejala semacam inilah yang dinamakannya mumkin al wujud. Namun bagaimana kita bisa menemukan asal muasal penciptaan, jikalau teori ini digunakan, jelas bahwa tidak akan ada habisnya. Dari sinilah kemudian Ibnu Sina menerangkan argumen tentang  Wajib al wujud  sebagai Esensi mutlak yang menjadi ‘illah pertama dari segala   macam pergerakan yang ada di alam. Menurut Ibnu Sina, ketika sesuatu  wujud membutuhkan ‘illah yang berada di luar zatnya (‘illah), tidak mungkin juga bersifat  mumkin al wujud sebagai zatnya. Maka analisa logis yang bisa dianalisa dan disimpulkan di sini adalah sebuah kesadaran atas kenyataan Wajib al wujud.[24] Ibnu Sina, searah dengan al Farabi juga sepakat akan argumen yang menolak persamaan substansi-aksidensi, esensi-wujud. Dengan konsekuensi kesepakatan atas perihal  potensi-aksidensi. Dengan itu Ibnu Sina menyetujui keberadaan alam semesta ini merupakan konsekuensi dari kehendak Tuhan yang termanifestasi di dalam wujud-wujud alam semesta, dari pada penciptaan yang kosong  (creation ex nihilo)[25]. Lebih jauh soal keteraturan alam semesta, Ibnu Sina mengkiaskan bagaimana keteraturan alam semesta. Dia melemparkan pertanyaan sebagaimana contoh, “Berapa orang jumlah perbedaan manusia di bumi? Di seluruh dunia? Di seluruh benua? Berapa pula jumlah hewan yang ada di dunia?”[26]. Pertanyaan-pertanyaan filosofis itu secara tidak langsung menggambarkan penghayatan Ibnu Sina terhadap keteraturan yang ada di dunia ini merupakan suatu bukti terhadap adanya Tuhan yang  Wajib al Wujud. Analisis Perbandingan Berdasarkan dua konsep ketuhanan yang telah dipaparkan dari dua perspektif filsuf muslim yang berbeda era, agaknya dapat kita ambil beberapa macam kesimpulan di bawah ini sebagai wacana perbandingan: Al Farabi sebagai filsuf pertama yang bermadzhabkan  Neo-Platonism nampaknya masih terpengaruh banyakoleh Aristoteles. Hal ini terlihat dari penggunaan  istilah-istilah asing yang masih menyisakan hawa Yunani. Sedangkan di tangan Ibnu Sina yang hidup satu abad setelahnya definisi berkaitan dengan ketuhanan terlihat sudah mulai mengalami islamisasi. Seperti ‘illah,  wujud, dan ‘adam. Ini agaknya mafhum, sebagai indikasi bahwa Ibnu Sina berhasil mengembangkan dan mengasimilasi lebih jauh filsafat al Farabi. Keduanya sepakat akan proses penciptaan yang bernafaskan emanasi, dengan  Wajib al Wujud  yakni Allah  Subhanahu wa Ta’ala. Kesimpulan Tuhan dalam pandangan al Farabi dan Ibnu Sina secara umum kita dapati merupakan asimilasi dari filsafat ketuhanan yang berusaha mempertemukan antara teori Aristoteles dan Neo-Platonism.  Yang mana menekankan pada satu Wujud atau Sumber Utama yang darinya alam semesta tercipta secara sedemikian rupa sehingga tidak merusak kesatuan mutlak Sang Mahatunggal tersebut. Di sini, sebagai salah satu wacana intelktual Islam, al Farabi dan Ibnu Sina berupaya mengadaptasi dan mengasimilasi konsep-konsep yang adadi dunia Filsafat Yunani Kuno, mengoreksinya, serta mengklasifikasi konsep-konsep filsafat yang cocok dengan Islam. Dan salah sebuah yang memang sangat urgen dibahas adalah ketuhanan. Rasionalitas ketuhanan menggunakan metode filsafat adalah sebuah –sekali lagi- satu dari sekian wacana intelektual yang berguna untuk melindungi akidah dari serangan dalam maupun luar. Jasa al Farabi dan Ibnu Sina, lepas dari banyak pandangan terutama kritik Ghazali yang menganggap ‘ajaran’ filsuf tidak untuk orang awa, dan rawan kepada kekufuran agaknya perlu kita puji. Perihalnya, banyak sekali ayat-ayat di dalam al-Qur’an yang merujuk kepada penggiatan fungsi akal.  Afalaa tatafakkarun,  afalaa ta’qilun, afalaa ta’lamun, penulis kira sudah lebih dari cukup untuk mengungkapkan sebuah perintah yang eksplisit berkaitan dengan penggunaan rasio. Maka mungkin yang harus disimpulkan terakhir di sini adalah, wacana filsafat Islam yang dikembangkan secara sistematis oleh al Farabi dan Ibnu Sina, khususnya di bidang ketuhanan adalah salah sebuah sumbangan wacana intelektual yang luar biasa. Ibnu Khaldun bilang,  peradaban dibangun dengan ilmu. Maka filsafat yang memberikan kerangka filosofis tentang segala macam ilmu pun bisa dibilang –secara tidak langsung- membangun peradaban. Islam pun dengan sistem yang kokoh dari al-Qur’an telah mampu mengklasifikasi mana yang baik dan buruk dari filsafat sehingga bisa dicerna dan dibudidayakan di dalam khazanah Islam. Mengutip kalimat Musa Asy’arie di salah sebuah judul bukunya; “Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalam Berpikir.” Wallahu A’lam bisshawab. *Junior Research Fellow of Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS) ISID-Gontor Bibliografi Al Bahiy, Muhammad, al Farabi: al Mauqif wa al Syarih, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1981) Al Farabi, Abu Nasr ibn al Farakh, Kitab al Jami’ bayna al Hukmayn, (Beirut: Daar el Masyriq) Al-Ghazali,  Imam Abu Hamid, Tahafut al Falasifah, (Cairo: Daar el Ma’aarif, 1982) Al Hulwi, Abduh, al Wafi fi tarikh al Falsafah Islamiyah,  (Beirut: Daar el Fikr el Lubnaani, 1995) Asy’Arie, Musa, Filsafat Islam: Sunah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta: LESFI, 1999) Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005) Descartes, Rene Meditation on First Philosophy,  trjmh. Elizabeth S. Haldane dan G.R.T Ross, The Great Book on The Western World: Descartes,(London, Britannica, 2003) Fakhry, Majid, al Farabi; Founder of Islamic Neoplatonism: His Life, Works and Influence,(Oxford: Obeworld Publications, 2002) Fuad, Muhammad ‘Abd al Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahrasy,(Beirut: Daar el-Fikr, 1981) Furley, David, The Greek Cosmologists, (New York: Cambridge University Press, 1989) Gerson, L.P.  God and Greek Philosophy,( New York: Routledge, 1994) Ibn Rusyd, Abu al-Walid Muhammad, Tahafut al-Tahafut, (Cairo: Daar el Ma’aarif, 1976). ______________________________,  Fasl al-Maqal, (Beirut:  Daar el Masyriq, 1991) Ibn Sina, Abi ‘Ali al Husayn, Isyarat wa al tanbihat, (Cairo: Daar el Ma’aarif, 1983) Leaman, Oliver, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, (London: Cambridge University Press, 1985) Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj.  Fi al-falasifah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tatbiqub al Juz’al-Tsani, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1987) Siraj, Fuad Mabub,  Al Farabi Sang Perintis Logika Islam,(Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 2012) [1] Filsafat Ketuhanan biasa disebut dengan  Teologi. Etimologi ini diambil dari bahasa Yunani; Theos  (Tuhan) dan  Logos (ilmu)/ Theologia-  Theology (eng).   Lorens Bagus, Kamus Filsafat, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), pg. 1090 [2] Wacana ketuhanan di Barat sudah dimulai dari zaman Filsuf Yunani Klasik; Plato. David Furley, The Greek Cosmologists, (New York: Cambridge University Press, 1989),pg. 2-3 [3] Descartes menamakanya  ‘res cogitans’ atau  ‘innate ideas’. Kesangsian metodis yang sudah menemukan cogito (subjektivitas pikiran/kesadaran) yang disebutnya ide bawaan berupa kesaksian tentang ide yang sempurna. Tuhan, juga termasuk di dalam konsep yang berada di dalam ide bawaan.  Rene Descartes,  Meditation on First Philosophy,  trjmh. Elizabeth S. Haldane dan G.R.T Ross, dalam  The Great Book on The Western World: Descartes,(London, Britannica, 2003), khususnya pg.  307-315 [4] Itu belum termasuk yang berupa perkembangan akar kata seperti  ‘Allahumma’,’Ilahah’  atau ‘Ilah’. Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahrasy,(Beirut: Daar el-Fikr, 1981). pg. 40-74 [5] Hemat Penulis, rasionalitas Mufassir dalam rangka menangkap makna-makna yang menjadi esensi dari ayat-ayat al-Qur’an adalah sebuah interaksi logis yang terjadi di antara fenomena (baik sejarah maupun kekinian) sebagai objek yang bersifat pengetahuan pengalaman/empiris (a posteriori), dengan akal/rasio (a priori).  Namun dengan sandaran wahyu sebagai sumber utama. Jadi, di sini rasio para mufassir berupaya untuk menyelaraskan antara  nash dengan realitas. Dan itu tentu saja tidak melepaskan peran rasio sebagai metode manusia berpikir. Maka tidak heran jikalau fenomena wacana intelektual Muslim berkaitan dengan tafsir memang bermacam-macam. Tafsir bi al-ra’yi yang menggunakan metode secara rasional semacam Al- Jami’ fi Ahkam al- Qur’an  karya Imam al- Qurtubi,  serta  Nizamuddin an- Nisabur yang mengarang Ghara’ib al- Qur’an wa Ragha’ib al- Furqan pun nyata diterima sebagai sebuah wacana tafsir rasional. [6] Konon ketika umur delapan tahun, Ibnu Sina tengah berjalan di pasar dan menemukan buku tafsir metafisika Aristoteles karya al Farabi. Ibnu Sina membelinya seharga 3 dirham dan menghabiskan waktu selama 6 bulan untuk memahami karya tersebut. [7] Tanggal peristiwa sejarah, biografi diambil dari   Abduh al Hulwi, al Wafi fi tarikh al Falsafah Islamiyah,  (Beirut: Daar el Fikr el Lubnaani, 1995), pg. 112, 191, dst. [8] Ghazali mengkritik pernyataan Filsuf Neo-Platonism, dengan gambaran bahwa penjelasan mereka berkaitan dengan filsafat berbahaya dan mendekonstruksi keimanan. 3 di antara konsep Filsuf yang paling utama itu adalah; konsep  qadim-nya alam, pengetahuan universal Tuhan, serta kebangkitan jiwa di hari kiamat. Ketiga kritikan Ghazali inilah yang disinyalir menurut Ghazali, akan menarik Filsuf kepada kekafiran. Imam Abu Hamid al-Ghazali, Tahafut al Falasifah, (Cairo: Daar el Ma’aarif, 1982), pg. 296-299. [9] Harun Nasution mencatat, hal ini terjadi pasca serangan Ghazali terhadap Filsuf. Tidak hanya sekian banyak karya yang dibakar, namun Para Filsuf juga diasingkan ke Lucena, Cordoba. Kejadian serupa juga dirasakan oleh Filsuf yang mengkritik Ghazali; Ibnu Rusyd. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1987), pg. 47. [10] Ibnu Rusyd di sini berupaya menjelaskan kembail konsep filsafat para filsuf Neo-Platonism Aristotelian. Kritik berupa jawaban atas Ghazali ini terangkum di  Tahafut-Tahafut.  Abu al-Walid Muhammad ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, (Cairo: Daar el Ma’aarif, 1976). [11] Ibnu Rusyd kemudian merangkum pandangannya berkaitan dengan urgensitas interaksi antara agama dengan filsafat, Abu al-Walid Muhammad ibn Rusyd,  Fasl al-Maqal, (Beirut:  Daar el Masyriq, 1991), khususnya  pg. 22 [12] Majid Fakhry,  al Farabi; Founder of Islamic Neoplatonism: His Life, Works and Influence,(Oxford: Obeworld Publications, 2002), pg. 77 [13] Untuk meninjau kembali konsep unmoved mover, lihat L.P. Gerson, God and Greek Philosophy,( New York: Routledge, 1994), Aristotle’s God of Motion, pg. 88-89 [14] Muhammad al Bahiy, al Farabi: al Mauqif wa al Syarih, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1981), pg. 10-13 [15] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj.  Fi al-falasifah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tatbiqub al Juz’al-Tsani, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),pg. 122-123 [16] Abu Nasr ibn al Farakh al Farabi, Kitab al Jami’ bayna al Hukmayn, (Beirut: Daar el Masyriq), pg. 100-105 [17] Emanasi berasal dari bahasa latin; e (dari) dan  manare (mengalir),   Lorens Bagus, Kamus Filsafat, op. cit. Pg. 193 [18] Al Farabi, Kitab al Jami’ bayna al Hukmayn, op. cit. Pg. 100-104 [19] Dalam konteks ini, Fuad Mahbub Siraj mengutip bagaimana al Farabi mengambil konsep Aristoteles tentang  noesis noeses, berpikir tentang berpikir, Fuad Mabub Siraj,  Al Farabi Sang Perintis Logika Islam,(Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 2012) pg. 50. [20] Ontologis adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang wujud. Diambil dari bahasa Yunani;  on, ontos (ada, keberadaan), dan logos (ilmu, studi) Lorens Bagus,  Kamus Filsafat, op. cit. Pg. 746 [21] Abi ‘Ali al Husayn ibn Sina, Isyarat wa al tanbihat, (Cairo: Daar el Ma’aarif, 1983), pg 29. [22] Ibid, [23] Ibid, [24] Ibid, pg. 32-34 [25] creation ex nihilo,ungkapan latin yang menyatakan, ‘penciptaan dari ketiadaan’. Apabila Tuhan didefinisikan sebagai Pencipta segala sesuatu yang ada, yang pernah ada, atau yang akan ada, tidak mungkin sebelumnya  ada bahan yang dapat dipakai Tuhan untuk menciptakan alam semesta. Ini berarti bahwa penciptaan berasal dari ketiadaan, (ex nihilo). Lorens Bagus,  Kamus Filsafat, op. cit, pg. 144 [26] ibid,  pg. 46