Pahlawan Jakarta Yang Kita Lupa

Pahlawan Jakarta Yang Kita Lupa

 

Banjir, banjir dan banjir. Tak hanya di Jakarta dan luar Jakarta, berita banjir pun membanjiri  layar kaca. Terutama banjir Jakarta sebagai Ibu Kota negara. Tak hanya pemukiman warga, istana Presiden pun tergenang juga. Maka bicara banjir, bukan hanya soal hujan, tapi juga soal Pintu Air dan tentu saja, penjaganya. Penjaga Pintu Air bertugas mengatur dan mengecek ketinggian air agar dapat mengetahui kondisi wilayah yang mungkin akan terkena dampak banjir.

Menjaga Pintu Air bukan pekerjaan mudah dan tak boleh lengah, apalagi saat curah hujan sedang tinggi-tingginya seperti saat ini. Selain memantau ketinggian air, penjaga Pintu Air juga harus memiliki kesabaran dan kemampuan komunikasi yang baik agar tak membuat panik warga yang seringkali meminta informasi terkini darinya. Tak dapat dipungkiri,  Pintu Air di wilayah DKI Jakarta ibarat penentu nasib warganya.

Salah satu Pintu Air yang vital di Jakarta adalah Pintu Air Manggarai. Berlokasi di perbatasan Manggarai, Jakarta Selatan, dan Menteng, Jakarta Pusat, Pintu Air ini memiliki fungsi penting dalam mengendalikan banjir Ibu Kota. Pasalnya, dengan empat pintu dan kapasitas 500 meter kubik per detik, Pintu Air ini dapat mengatur debit air kiriman maupun air yang akan mengalir lewat anak-anak sungai. Sebagai pengatur aliran air yang akan memasuki Kanal Banjir Barat, Pintu Air ini juga merupakan bagian dari pengendalian banjir di Ciliwung yang mengalihkan air ke bagian luar Jakarta, melewati kanal dari Manggarai, di kawasan selatan Jakarta sampai ke Muara Angke di pantai Utara. Setelah dari pintu air Manggarai, air akan mengalir ke Pasar Rumput, Dukuh Atas,  lalu belok ke arah Barat Laut di daerah Karet Kubur, dilanjutkan ke arah Tanah Abang, Tomang, Grogol, Pademangan, dan berakhir di sebuah reservoar di muara, tepatnya di daerah Pluit.

Mohammad Ibnu adalah salah seorang penjaga Pintu Air yang telah bertugas selama tujuh tahun di Manggarai. Hidupnya ibarat tentara yang harus selalu waspada, terlebih ketika musim hujan tiba, dipastikan ia wajib berada di posnya. “Pokoknya bisa nginap berhari-hari saat kondisi sudah Siaga 1, Mas. Belum lagi kalau sudah sampai di puncak musim hujan seperti saat ini. Minggu lalu, misalnya. Tujuh hari gak bisa pulang, setelah itu baru pulang dua hari, eh sekarang sudah lima hari gak pulang lagi,” tutur Ibnu.Akibatnya keluarga,  terutama anaknya yang masih kecil sering bertanya kapan ayahnya pulang. Untunglah Ibnu kerap menyiasatinya dengan rutin menelpon atau kirim SMS sekadar menenangkan mereka.

Sebenarnya sistem kerja di Pintu Air Manggarai adalah 24 jam jaga dan besoknya 24 jam libur. Namun dengan kondisi intensitas hujan yang tinggi dan kondisi debit air yang cepat sekali naik maka jadwal kerja itu pun jadi tak berlaku. Akhirnya, dia pun dituntut tetap berjaga demi kepentingan masyarakat.

Ditemui media ABI di pos penjagaannya, Ibnu menjelaskan kondisi air yang sedang berada pada posisi Siaga 3 dengan ketinggian 810 cm. Menurutnya, dalam status tersebut sebagian wilayah seperti Kampung Pulo dan Bukit Duri akan terkena dampak banjir. Karena itu dia pun mesti bersiap menerima telepon dari warga yang berada di kedua wilayah itu. “Tinggal tunggu saja deh, Mas. Kalau sudah kebanjiran, biasanya ada saja warga yang nelpon. Kadang dengan bahasa pedas, bikin hati panas. Tapi saya berusaha tetap sabar sambil menjelaskan agar warga mengerti apa yang terjadi,” ujarnya. Ibnu memaklumi bahwa memang sepertinya belum banyak warga yang paham apa tugasnya. Mereka yang kebanjiran minta pintu segera dibuka, sementara warga lain minta ditutup agar banjir tak sampai ke wilayahnya. Padahal soal buka-tutup itu memang bukan kewenangannya, tapi pemerintah. “Begitulah, Mas. Agaknya memang jarang warga yang paham posisi saya. Saya ini kan istilahnya hanya menjalankan perintah saja,” lanjutnya.

Kepada warga pun Ibnu seringkali menegaskan bahwa fungsi Pintu Air Manggarai bukanlah untuk menghilangkan banjir sama sekali, melainkan hanya untuk mengurangi risiko banjir yang mungkin terjadi di wilayah yang dilalui aliran air dari sana. Tentang hal itu beberapa warga ada yang bisa mengerti, tapi ada juga yang sepertinya tak mau tahu dan enggan menerima penjelasannya.

Kepada kami Ibnu menjelaskan bahwa saat ini Pintu Air Manggarai ada empat, dan salah satunya mengarah ke Istana Negara. Pintu itulah yang kata Ibnu mesti diperlakukan sesuai dengan arahan khusus, tak boleh diotak-atik semaunya, oleh sembarang orang pula. Di Pintu Air Manggarai batas ketinggian normalnya 750 cm. Di ketinggian 750-850 cm, namanya Siaga 3. Di posisi 850-950 cm, Siaga 2. Lebih dari 950 cm Siaga 1. Nah, saat Siaga 1 itulah biasanya ada petugas yang datang memberikan arahan ke tempatnya. Kata Ibnu, masing-masing posisi siaga, berbeda penanggung jawabnya. Siaga 3 penanggung jawabnya Kepala Bidang, Siaga 2 penanggung jawabnya Kepala Dinas, dan Siaga 1 adalah Gubernur. “Jadi, ya para pejabat itulah yang memutuskan apa yang harus saya lakukan. Tak mungkin saya berani ambil inisiatif sendiri. Bisa-bisa saya dipecat, Mas. Apalagi di tiap sudut Pintu Air itu kan ada CCTV-nya,” tambahnya.

Begitu pentingnya tugas menjaga Pintu Air, saat pulang menurut Ibnu bukan berarti tugas telah usai. Karena tak jarang saat dirinya baru saja sampai di rumah, dia pun harussegera kembali ke kantor gara-gara status Siaga 1. “Ya memang seperti itulah, Mas. Mau gimana lagi. Sudah panggilan tugas. Apalagi saat cuaca semakin tak menentu seperti sekarang. Di sini kadang panas, eh gak tahunya di puncak Bogor sedang hujan deras. Datang lagi deh itu kiriman,” selorohnya perihal banjir kiriman yang hampir tiap tahun sudah biasa melanda Ibu Kota. Membuatnya lagi-lagi mesti menginap di posnya. Untunglah keluarganya sudah terbiasa dengan kondisi itu dan tak pernah lagi mempersoalkannya.

Jadi, sampai di sini, siapa Ibnu? Selama ini, kira-kira berapa banyak warga Jakarta yang mengenalnya? Dan lebih jauh dari itu, adakah selama ini kita sadari betapa besar pengorbanan orang-orang seperti Ibnu dan keluarganya? Saat kami tanya, berapa sering keluarganya berkeluh kesah tentang hidup mereka, Ibnu menjawab, “Kami mulai belajar tak banyak mengeluh, Mas. Malah sebaliknya, justru bangga. Kalau dipikir-pikir, ya alhamdulillah kami telah diberi amanah dan kepercayaan untuk menjaga Pintu Air Ring Satunya Jakarta. Siapa tahu tugas itu bisa mendatangkan pahala besar dari Gusti Allah… Bagi saya dan keluarga, ya… Hanya itulah harapan kami,” pungkasnya.

Di akhir perbincangan dengan kami, tak lupa Ibnu menitipkan harapannya agar kesadaran warga tentang lingkungan lebih ditingkatkan. Seperti tak lagi tinggal di bantaran kali yang selama ini sudah dikenal rawan banjir, atau jangan lagi terbiasa membuang sampah sembarangan ke sungai agar mampu mengurangi risiko bila banjir kiriman tiba-tiba datang. “Betapa senang bila tiap warga mulai paham, urusan banjir ini bukan saja tanggung jawab pemerintah, atau dalam hal ini tanggung jawab saya sebagai penjaga Pintu Air saja, melainkan harus dianggap sebagai tanggung jawab bersama semua warga Jakarta.”

Semoga saja kita semua siap dan ikhlas menyambut seruan Ibnu, penjaga Pintu Air yang terlupakan, namun memberi kita banyak pelajaran tentang pengorbanan tanpa berharap balasan. Seseorang yang selama ini telah rela banyak berbuat bagi kemaslahatan kita, namun ternyata tak berharap banyak dari kita kecuali beberapa hal sederhana berwujud himbauan dan harapan, yang manfaatnya toh akan kembali kepada kita juga. (Lutfi/Yudhi)[islamic-sources/ahlulbaitindonesia]