Tafsir Surat al-Kautsar

Tafsir Surat al-Kautsar

Ayat 1  

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1)

'Innā 'A`ţaynāka Al-Kawthara

  Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Ayat pertama dari surat al-Katsar ini diturunkan di Madinah, sehingga tergolong ayat-ayat Madani. 1. Allah Swt memberikan kebaikan yang banyak kepada Nabi Muhammad Saw. Pada huruf asli al-Kautsar, yakni Kaf, Tsa dan Ra ditambahkan huruf Wau, sehingga menambah sifat banyak pada makna kata ini. Kata ini juga dipakai untuk nama sungai di surga (Maqayis al-Lughah). Kepada orang yang dituankan dan memiliki kebaikan yang banyak juga disebut dengan Kautsar (as-Shihhah). Ada juga yang memaknainya dengan angka yang berbilang dan banyak (Mishbah).   2. Memiliki keturunan yang banyak merupakan kabar gembira dari Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Sesuai dengan sebab turunnya surat ini, ungkapan pemberian kebaikan yang banyak (al-Kautsar) kepada Nabi Saw sebagai jawaban terhadap orang yang menilai beliau tidak memiliki keturunan. Dengan demikian, kalimat Inna A'thainaka al-Kautsar merupakan kabar gembira. Penggunaan kata kerja bentuk lampau (A'thainaka) dalam ayat ini menunjukkan pasti terjadinya kabar gembira ini dan beliau akan diberikan keturunan yang banyak.   3. Banyaknya keturunan Nabi Muhammad Saw merupakan kabar gaib al-Quran.   4. Allah Swt pemberi berita gembira bahwa Fathimah as, putri beliau sebagai al-Kautsar dan keturunan beliau yang banyak itu akan melewati putrinya.   Sejarah Nabi Muhammad Saw yang tidak memiliki anak laki-laki menjadi bukti bahwa hanya Fathimah as yang menjadi al-Kautsar.   5. Sayidah Fathimah as merupakan pemberian Allah dan kebaikan yang banyak bagi Nabi Muhammad Saw. Sekalipun dalam sebab turunnya ayat ini dan sejumlah riwayat tidak menerapkan makna al-Kautsar kepada Sayidah Fathimah as. Tapi dari akhir ayat dapat disimpulkan bahwa hasil dari pemberian al-Kautsar adalah Nabi Saw tidak terputus keturunannya atau Abtar. Dengan demikian, Fathimah as yang merupakan penerus keturunan Nabi Muhammad Saw sebagai makna dari al-Kautsar.   6. Allah Swt menjadi pembela Nabi Muhammad Saw dari ucapan menyakitkan musuh kepadanya. Sebagaimana diketahui dari akhir ayat dalam surat ini menunjukkan bahwa pemberian al-Kautsar merupakan balasan Allah Swt dihadapan ucapan musuh yang menyakitkan hati Nabi Saw.   7. Nabi Muhammad Saw menginginkan keberlangsungan keturunannya dan berharap memilikinya.   Gaya pengungkapan ayat ini adalah kabar gembira yang menunjukkan keinginan kuat Nabi Saw untuk memiliki anak laki-laki. 8. Anas berkata, "Suatu hari Nabi Muhammad Saw bersama kami dan kemudian membacakan surat al-Kautsar. Setelah itu beliau berkata, 'Apakah kalian memahami apa itu al-Kautsar?' Kami menjawab, 'Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.' Beliau kemudian berkata, 'Itu adalah sungai yang dijanjikan Allah kepadaku dan memiliki kebaikan yang banyak."[1]   9. Dalam buku Majma' al-Bayan disebutkan bahwa al-Kautsar adalah syafaat dan makna ini diriwayatkan dari Imam Shadiq as.[2] (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)   Ayat 2      

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2)

  Faşalli Lirabbika Wa Anĥar Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Ayat kedua dari surat al-Katsar ini diturunkan di Madinah, sehingga tergolong ayat-ayat Madani.   1. Shalat merupakan kewajiban ilahi kepada Nabi Muhammad Saw.  فَصَلِّ   Faşalli   2. Ikhlas dalam melakukan shalat dan melakukannya hanya untuk Allah merupakan kewajiban yang ditetapkan untuk Nabi Saw. لِرَبِّكَ Lirabbika   3. Perhatian kepada Rububiyah Allah Swt merupakan adab dalam melakukan shalat. لِرَبِّكَ Lirabbika   4. Allah Swt sebagai pengelola dan pemilik segala urusan manusia layak untuk disembah dan manusia harus melakukan shalat dengan ikhlas kepada-Nya. لِرَبِّكَ Lirabbika   5. Bentuk syukur kepada Allah atas pemberian nikmat Kautsar menjadi penyebab Nabi Saw melakukan shalat dan ikhlas ketika melakukannya. Huruf "Fa" dalam kata Fashalli menunjukkan kewajiban shalat merupakan bagian dari ayat sebelumnya.   6. Maqam Rububiyah Allah Swt termanisfestasi dalam pemberian nikmat Fathimah as kepada Nabi Saw.   7. Shalat merupakan syukur atas nikmat Allah yang diberikan kepada Nabi Saw.       8. Mengorbankan onta dan keinginan untuk melakukan kewajiban ilahi merupakan pesan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. وَانْحَرْ Penyebutan Lirabbika untuk Shalli juga dipakai untuk kata Inhar (Wanhar), yaitu untuk Allah. Sementara kata Nahar sendiri berarti bagian dada tempat tenggorokan. Sementara termasuk dari makna kata Nahar yang dipakai dalam ayat ini Inhar adalah perintah untuk menyembelih onta yang akan dikorbankan (Mufradat). 9. Kewajiban memperhatikan maqam Rububiyah Allah Swt ketika mengorbankan hewan.   10. Allah sebagai pemilik dan pengelola segala urusan manusia menjadi dasar keharusan ikhlas dan niat mendekatkan diri kepada Allah dalam berkorban. 11. Memilih hewan korban yang mahal seperti onta merupakan reaksi tepat Nabi Muhammad Saw sebagai bentuk syukur atas pemberian nikmat Kautsar kepadanya. 12. Memberikan korban kepada Allah Swt merupakan bentuk syukur atas nikmat-Nya.   13. Penting untuk menciptakan hubungan dengan makhluk Allah di samping hubungan dengan Allah.   Perintah melakukan korban dan membagikan dagingnya kepada masyarakat di samping perintah melakukan shalat menunjukkan pentingnya masalah ini.   14. Allah Swt mengingatkan pemberian khusus-Nya kepada Nabi Muhammad Saw demi mempersiapkan beliau menerima perintah shalat dan berkorban.   15. Nikmat ilahi, bahkan untuk Nabi Saw, melahirkan tanggung jawab bagi manusia.   16. Memberikan sebelum ada perintah merupakan metode ilahi dan sangat penting.   17. Hubungan dengan Allah Swt didahulukan dari hubungan dengan mahkluk, bahkan itu akan menjadi sarana bagi hubungan dengan makhluk. Dihubungkannya kata Wanhar kepada Fashalli mungkin saja menjadi hubungan sebab akibat. 18. Kewajiban untuk mengakhirkan korban dari shalat ied pada Ied Korban.   Penerapan korban dan shalat dalam ayat adalah shalat Ied Korban dan berkorban di hari itu merupakan kemungkinan dalam memaknai ayat ini. Penggunaaan kata "Wau" sekalipun tidak ada keharusan berarti tertib, tapi disebutkan secara berurutan dapat menjadi penjelas urutan hakiki.   19. Wajib menangkat tangan hingga tempat antara akhir dada atas dan tenggorokan di awal shalat.   Dalam kamus disebutkan Nahara Rajulun, yakni berdiri untuk melakukan shalat sementara tangan terangkat ke atas (Taj al-Arus). Hubungan antara dua perintah ini dengan lainnya menunjukkan perintah Nahar juga berhubungan dengan shalat. Dan kemungkinan itu memberikan pemahaman ini.   20. Kewajiban melaksanakan shalat di awal waktu.   Dalam kamus Taj al-Arus disebutkan, Nahara as-Shalah, yakni melaksanakan shalat di awal waktu.   21. Diriwayatkan dari Imam Ali as, "Ketika surat al-Kautsar diturunkan, Nabi Saw berkata kepada Jibril as, ‘Apa itu Nahirah yang diperintahkan Allah kepadaku?' Jibril menjawab, ‘Ini bukan Nahirah, tapi Allah memerintahkanmu setiap kali engkau memulai shalat dengan Takbiratul Ihram, maka saat takbir, ruku, saat bangun dari ruku dan ketika akan sujud, maka engkau harus mengangkat tanganmu... Sesungguhnya keindahan shalat itu dengan mengangkat tangan setiap kali mengucapkan takbir.[1]   22. Hariz menukil dari seseorang yang berkata kepada Imam Baqir as, "Apa makna dari Fashalli Lirabbika Wanhar?" Beliau menjawab, "Nahar adalah I'tidal saat berdiri, sehingga engkau mempertahankan lurus tulang punggung dan dadamu."[2] 1. Seorang musuh Nabi Muhammad Saw menyebut beliau tidak memiliki keturunan dan di masa depan tidak ada yang akan mengingat kebaikannya.   Kata Syaniaka, yakni orang yang memusuhimu (Taj al-Arus). Mayoritas ahli tafsir menyebut orang yang menyampaikan ucapan ini adalah ayah dari Amr, yaitu Ash bin Wail yang menyebut beliau sebagai Abtar setelah anak laki-laki Nabi Saw meninggal dunia. Sementara kata Abtar sendiri untuk orang yang tidak diingat lagi akan kebaikannya. Kata Abtar merupakan turunan dari Batr yang digunakan dalam memotong ekor. Itulah mengapa ketika seseorang keturunannya terputus disebut Abtar (Mufradat). Karena tidak ada keturunan yang menyebut kebaikan namanya.   2. Keberlanjutan keturunan Nabi Muhammad Saw lewat Fathimah az-Zahra as mengungkap kebohongan anggapan musuh-musuh beliau tentang terputusnya keturunannya.       3. Allah Swt menyebut orang yang menyakiti Nabi Muhammad Saw dengan ucapannya justru menyebur orang itu dengan Abtar dan di masa depan ia tidak memiliki kebaikan untuk diingat.   Apa yang diinginkan Ash bin Wail saat menggunakan kata Abtar adalah tidak ada yang menyebut kebaikan Nabi Saw setelah keturunannya terputus. Kata ganti orang ketiga yang terpisah pada Huwa al-Abtar adalah terbatas hanya kepadanya dan menjelaskan bahwa tidak diingat lagi kebaikan justru kembali kepada dirinya, bukan Nabi Saw. Disebutkan bahwa tidak disebutkan lagi akan kebaikan tidak terbatas pada tidak memiliki anak. Karena anak-anak yang tidak menjadi sebab bagi disebut-sebut kebaikan ayahnya tidak membuatnya keluar dari sebutan Abtar.   4. Ash bin Wail adalah musuh Nabi Saw dan tidak memiliki kebaikan.  

‘Inna Shāni'aka Huwa Al-'Abtaru

5. Nabi Muhammad Saw begitu terkenal di seantero dunia sementara Ash bin Wail tidak dikenal dalam sejarah dan ini merupakan kabar gembira Allah Swt kepada Rasul-Nya sekaligus berita gaib al-Quran.   6. Para musuh Nabi Saw tidak dikenal akan kebaikannya. Ayat ini sekalipun berdasarkan sebab turunnya terbatas pada kejadian tertentu, tapi penjelasannya umum dan menyeluruh. 7. Imam Hasan as saat berbicara dengan Muawiyah dan pendukungnya berkata, "Ash bin Wail mengatakan, ‘Muhammad Saw adalah pria Abtar dan tidak memiliki anak laki-laki. Bila ia meninggal dunia, maka tidak ada yang mengingatnya.' Setelah itu Allah Swt menurunkan ayat "Inna Syaniaka Huwa al-Abtar"."[1] [islamic-sources/irib Indonesia]