"Ahlulbait" Bukan Sebuah Konsep Kesukuan
"Ahlulbait" Bukan Sebuah Konsep Kesukuan
0 Vote
140 View
Apa yang saya sebutkan di atas bukan merupakan sebuah penafsiran baru; Saya hanya menyebutkannya sebagai ringkasan dalil-dalil keyakinan Syiah yang didukung oleh riwayat-riwayat Ahli Sunnah yang telah hadir selama berabad-abad. Dan saya sangat terkejut melihat apa yang telah ditulis oleh seorang alim Syiah tentang konsep Ahlulbait: "Syiah mengambil manfaat hubungan intim sejarah Ali dengan Nabi dan konsep kuno kesukuan Arab yakni Ahlulbait (anggota rumah tangga) – keluarga yang kepala keluarganya dipilih – dan dengan bersemangat mendukung pencalonan keluarga Ali..."[1] Memang tidak dapat dimengerti seorang yang memiliki latar belakang Syiah berkata bahwa Syiah mengambil manfaat dari konsep kuno kesukuan Arab tentang Ahlulbait"! Sehingga kini konsep Ahlulbait menjadi sebuah konsep masa pra-Islam/Jahiliyyah yang digunakan oleh orang-orang Syiah untuk menopang klaim mereka tentang Imamah Ali dan keturunannya! Memang menyedihkan mengingat seorang alim cendekia, berlatar belakang Syiah, tidak dapat membahas konsep Ahlulbait dalam pandangan al-Quran, berbeda dengan seorang cendekia non-Muslim, mampu membahas masalah ini dengan panjang lebar yang mengatakan bahwa konsep Ahlulbait ini adalah berhubungan dengan keluarga-keluarga Nabi sebelum kedatangan Islam dan kemudian berhubungan dengan ayat-ayat Qur'an khusus kepada Ahlulbait.[2] Walaupun kita tidak setuju dengan definisi Madelung yang terlalu luas tentang Ahlulbait. Kita setuju dengan kesimpulannya yang mengatakan : " Nasihat-nasihat al-Qurankepada orang-orang beriman untuk menyelesaikan urusan-urusan mereka dengan musyawarah, tapi tidak dalam urusan siapa yang berhak menggantikan Nabi. Yakni, merujuk kepada al-Qur'an, masalah pengganti nabi ini, ditentukan oleh Allah, dan Allah memilih pengganti nabi-nabi-Nya, apakah mereka menjadi nabi atau tidak, berasal dari keluarga mereka sendiri."[3] Kelihatannya, cendikia Syiah ini sedang menggemakan pandangan Marshall Hodgson dan Fazlur Rahman. Marshall Hodgson menulis, "Keturunan Ali –khususnya dari Fatimah disebut Ahlulbait, anggota rumah tangga, (sebuah istilah kuno yang dipakai oleh suku-suku Arab berkenaan dengan keluarga yang darinya dipilih kepala suku..."[4] Selagi mengomentari klaim yang dibuat oleh orang-orang Syiah Kufah bahwa khalifah dikembalikan kepada keluarga Ali, Fazlur Rahman menulis: "Tujuan yang membuat klaim legitimis ini pada pihak Arab Kufah tidak jelas, kecuali...kenyataan bahwa Nabi berasal dari Bani Hasyim yang mudah diekploitasi."[5] Fazlur Rahman bermaksud bahwa konsep Ahlulbait (Ali dan Nabi berasal dari Bani Hasyim) "dieksploitasi" oleh orang-orang Syiah Kufah untuk mempromosikan klaim mereka bahwa imamah untuk anak-keturunan Ali. Siapa yang memanfaatkan tradisi pra-Islam dalam perseteruan masalah khalifah? Ali telah diingkari haknya atas khalifah ini oleh Quraisy dengan dalih bahwa tradisi Arab kuno, kepemimpinan seharusnya diberikan kepada orang yang lebih tua dan tidak kepada orang yang masih muda. Ali – dibandingkan dengan Abu Bakar – lebih muda dan oleh karena itu, berdasarkan tradisi Arab kuno ini, ia tidak pantas untuk mengemban kepemimpinan ini.[6] Jadi Quraisylah yang bersandar pada "tradisi kuno Arab", tradisi yang merampas kekhalifaan dari Ali bin Abi Talib. Siapa yang " mengekploitasi " dan " memanfaatkan " hubungannya dengan Nabi? Adalah kelompok Quraisy di Saqifah yang mengekploitasi fakta bahwa Nabi berasal dari suku mereka, dan oleh karena itu, mereka yang lebih berhak untuk menjadi khalifah daripada saingan mereka orang-orang Ansar (Penduduk Madinah).[7] Ketika Imam Ali diberitakan ihwal perdebatan antara orang-orang Quraisy dan orang-orang Ansar di Saqifah, ia bertanya, " Apa yang diplead oleh orang-orang Quraisy?" Orang-orang berkata, " Mereka beralasan bahwa mereka berasal dari silsilah keturunan yang sama dengan Nabi." Ali mengomentarinya dengan berkata, " Mereka berdalih dengan pohon tapi mereka merusak buahnya."[8] Pohon di sini bermakna "Suku Quraisy ", dan buah berarti "keluarga Nabi ."[] (Selesai) [1] . Abdulaziz Sachedina, Islamic Messianism, hal. 6. [2] . Madelung, The Succesion to Muhammad, hal. 6-17. [3] . Ibid., hal. 17 [4] . Marshall GS Hodgson, The Venture of Islam, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974) hal. 260 [5] . Fazlur Rahman, Islam, hal. 171. [6] . Lihat misalnya, Ibn Qutaiba ad-Dinawari, al-Imâmah wa as-Siyâsah, hal. 18; M. A Syaban, Islamic History AD 600-750, hal. 16. Sachedina sendiri berkata ihwal wilayah berikut ini: "Hal baru tentang wilayah ini adalah bahwa dalam kultur Arab, orang-orang Arab tidak terbiasa melihat seorang pemuda memangku jabatan sebagai pemimpin. Dalam budaya Arab adalah mustahil bagi seorang pemuda tiga puluh tahunan menjadi seorang pemimpin karena bangsa Arab percaya bahwa seorang yang lebih tua yang harus menjadi pemimpin…" Dari ceramahnya yang keenam di bulan Muharram (1419) 1998 di Toronto. [7] . Terdapat dua kelompok yang berebut di Saqifah: Suku Quraisy yang telah berhijrah dari Mekah dikenal sebagai muhajirin dan penduduk tempatan Madinah disebut sebagai Anshar. Argumen-argumen yang disampaikan oleh kaum Muhajirin di Saqifah, silahkan lihat beberapa judul buku dalam bahasa Inggris di bawah ini: SSA. Rizvi, Imamate, hal-hal. 113-126; Murtadha al-Askari, Abdullah bin Saba and Other Myths (Tehran: WOFIS, 1984) hal-hal. 69-95; Muhammad Ridha al-Muzaffar, Saqifah (Qum: Ansariyan, 1998). [8] . Sayid Radhi, Nahj al-Balâgha, khutbah 67. Untuk sumber-sumber Sunni, lihat at-Tabari, Târikh, vol. 6, hal. 263 dan Ibn Abdil Barr, al-Isti'âb, di bawah biografi Auf bin Athâtha.