Ideologi Pencerahan Imam Hadi as

Hari ini tanggal 3 Rajab bertepatan dengan syahadahnya Imam Ali an-Naqi as yang dijuga dikenal dengan julukan Imam Hadi as yang berarti pemberi petunjuk. Tak diragukan lagi bahwa Ahlul Bait as adalah pewaris Wahyu dan perbendaharaan Ilmu Ilahi serta sumber makrifat dan hikmah. Oleh karena itu, para pecinta mereka senantiasa berusaha menata kehidupan dan pemikirannya sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh manusia-manusia suci ini. Imam Hadi as dilahirkan pada 15 Dzulhijjah 212 H. Sejarah kehidupan manusia suci ini sangat cemerlang dan upayanya yang gigih dalam membimbing umat beliau diberi gelar al-Hadi atau pembimbing. Tak diragukan lagi mengenal dan mendekatkan diri kepada manusia yang menjadi manifestasi nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, akan membantu kita mencapai kebahagiaan. Bukalah hati kita untuk menerima petuah-petuah tinggi beliau dan jadikan diri kita sebagai pecintanya yang hakiki. Imam Hadi dilahirkan di sebuah desa di dekat kota Madinah pada tahun 212 Hijriah. Ibunya bernama Samanah yang lebih dikenal dengan sebutan Sayyidah. Setelah gugurnya sang ayah (Imam Jawad as), Imam Hadi as menerima tanggung jawab besar dalam memimpin serta membimbing umat Islam. Tugas suci ini diemban Imam Hadi selama 33 tahun. Selama masa keimamahannya, Imam Hadi selain aktif menyebarkan prinsip-prinsip agama, juga sangat memperhatikan kondisi politik dan sosial umat Islam. Selama periode kehidupannya, Imam Hadi mengalami pemerintahan sejumlah pemimpin zalim Bani Abbasiyah. Kezaliman dan egoisme para khalifa Abbasiyah telah membuka peluang ketidakpuasan umat Islam sehingga sendi-sendi pemerintahan mereka semakin keropos. Sejak periode kehidupan Imam Jawad as, para khalifa Bani Abbasiyah semakin meningkatkan represi politiknya kepada Ahlul Bait Nabi. Dalam koridor strategi ini pula, khalifa Bani Abbasiyah memindahkan dengan paksa Imam Hadi as dari pusat ilmu yakni Madinah ke kota Samarra di Irak. Salah satu poros utama dan mendasar Imamah adalah keilmuan para Imam yang nantinya akan menyelamatkan dan membebaskan manusia dari jalan kesesatan dan kehancuran. Tingkat keilmuan Imam Hadi as mulai terbentuk sejak masa kanak-kanak dan sebelum menjabat Imamah. Debat ilmiah, menjawab berbagai syubhah keyakinan dan mendidik murid-murid teladan, merupakan bukti dari posisi tinggi keilmuan manusia suci ini. Di samping itu, Imam Hadi juga aktif mencari serta menjadikan murid, mereka yang memiliki potensi besar serta mendidiknya dengan dasar-dasar keislaman dan memberi mereka beragam ilmu yang dibutuhkan masyarakat. Meski pemerintah saat itu menerapkan pembatasan yang sangat ketat, sehingga tugas tersebut menjadi sangat sulit dilaksanakan dan banyak kalangan yang tidak mendapat kesempatan untuk meneguk ilmu dari manusia suci ini, namun demikian upaya Imam Hadi mendidik murid pilihan tidak berhenti. Jumlah murid Imam Hadi as dan mereka yang meriwayatkan hadis dari beliau berjumlah lebih dari 185 orang. Di antara mereka malah menjadi ulama terkemuka di bidang fikih dan ilmu-ilmu lainnya. Salah satu dari mereka adalah Abdul Adzim Hasani, yang sempat belajar dari Imam Hadi as. Abdul Adzim Hasani kerap berkirim surat dengan Imam Hadi dan bertanya mengenai banyak hal, mulai masalah fikih, keyakinan dan politik rakyat Iran. Imam Hadi as di era keimamahannya mengalami enam khalifah Bani Abbasiyah, yakni Mu’tasim, Watsiq, Mutawakkil, Muntasir, Mustain dan Mu’taz. Kehidupan orang-orang besar dan ulama senantiasa diwarnai dengan perubahan, transformasi dan beragam kesulitan yang datangnya dari pemimpin pemerintah di zamannya. Namun demikian, kesulitan ini tidak pernah membuat mereka surut dalam melaksanakan kewajibannya. Kehidupan Imam Hadi as pun mencerminkan keimanan tinggi beliau dan sikap pasrah serta berserah diri kepada Allah Swt. Tak hanya itu, selama kehidupan manusia suci ini juga terlihat nyata bahwa beliau terus berjuang. Ketika Mutawakkil memegang tampuk kekuasaan Bani Abbasiyah, ia banyak menerima surat dari Hijaz yang menyebutkan bahwa warga Mekah dan Madinah banyak cenderung kepada Imam Hadi as. Oleh karena itu, Mutawakkil dilanda ketakutan jika Imam Hadi as bangkit melawan kekuasaannya. Dengan demikian Mutawakkil mengirim Imam Hadi ke Samarra, Irak yang saat itu menjadi pusat pemerintahan Bani Abbasiyah. Tujuannya sangat jelas, bahwa Mutawakkil akan mudah mengontrol Imam Hadi dan juga disaat yang diperlukan menerapkan pembatasan yang ketat kepada manusia suci ini. Akhirnya Imam Hadi as dipaksa ke Samarra. Para penguasa Bani Abbasiyah dengan langkah ini menghendaki Imam Hadi terpisah dari basis massa yang dimiliknya. Meski kemudian Imam Hadi ditempatkan di kawasan militer dan diawasi dengan ketat, namun hal ini bukannya mengurangi popularitas beliau, bahkan sebaliknya jumlah para pecinta beliau semakin meningkat. Di era Imam Hadi marak bermunculan aliran pemikiran dan beragam pemikiran teologi banyak beredar di tengah masyarakat. Oleh karena itu, mayoritas aktivitas Imam Hadi as banyak difokuskan pada penjelasan prinsip-prinsip agama Islam. Saat itu, ideologi menyimpang dan menyesatkan ramai berkembang. Imam Hadi as dengan sekuat tenaga membuktikan kesesatan ideologi menyimpang yang mengatasnamakan Islam dan menjelaskan Islam murni yang bersih dari segala ideologi menyimpang kepada masyarakat. Salah satu tugas berat Imam Hadi as adalah menjelaskan prinsip akidah Islam. Karena pada era beliau, bermunculan berbagai syubhah yang mengancam keyakinan masyarakat dalam masalah ketauhidan dan keesaan Allah Swt. Di era Imam Hadi as, muncul sekelompok orang yang berpendapat bahwa Allah Swt memiliki jism atau bentuk. Imam Hadi as menolak pemikiran tersebut dan berkata, “Para pengikut Ahlul Bait as tidak meyakini jism pada wujud Allah Swt, karena sama dengan penyamaan Allah Swt dengan benda-benda lain yang memiliki jism dan sesuatu yang memiliki bentuk maka dia adalah akibat (atau efek), dan Allah Swt terlepas dari segala bentuk penyamaan, karena memiliki jism (bentuk) berarti terbatas pada tempat, masa dan sifat-sifat lain seperti penuaan dan kerusakan. Padahal wujud Allah Swt tersucikan dari semua sifat tersebut.” Dalam pandangan Islam, setelah pengenalan terhadap Tuhan dan Tauhid, penghambaan dan ibadah kepada Tuhan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia untuk dilakukan. Bahkan tidak ada posisi yang lebih tinggi dari posisi tersebut bagi manusia. Terkait hal ini Imam Hadi as bersabda, “Barang siapa yang menahan diri untuk tidak melanggar perintah Allah Swt, maka masyarakat juga akan mengekang dirinya untuk tidak melanggar perintahnya. Barang siapa yang taat kepada Tuhan, maka orang lain akan mentaatinya. Barang siapa yang melaksanakan perintah Allah maka ia tidak akan merasa takut akan kemarahan makhluk. Dan barang siapa yang membuat Allah marah, maka ia harus mengetahui bahwa dirinya akan mendapat kemarahan masyarakat.” Imam Hadi as saat menjelaskan posisi dan derajat ini bagi manusia telah mengisyaratkan poin penting bahwa jika manusia menjadikan penghambaan kepada Tuhan sebagai poros kehidupannya, maka ia akan meraih rasa aman sehingga tanpa ada rasa khawatir, ia menjalin hubungannya dengan sesama manusia. Menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya, membuat manusia berada di jalan penghambaan yang sejati. Dengan demikian Tauhid telah menentukan peta jalan kehidupan manusia. Di peta jalan ini, mencari kerelaan Allah menjadi poros utama seluruh amal dan perbuatan manusia, serta menjadi jaminan bagi kebahagiaan dunia dan akhirat. Imam Hadi as dalam mendidik umat juga memperioritaskan untuk mencabut sifat-sifat buruk dari diri manusia. Setiap orang untuk mencapai derajat kesempurnaan dianjurkan untuk tidak pernah lalai terhadap Tuhan dan mengoreksi diri sendiri. Lalai terhadap Tuhan dan hari Kiamat akan mendorong manusia ke arah kemaksiatan. Lalai terhadap Tuhan akan mendorong manusia lalai terhadap dirinya sendiri dan pada akhirnya ia akan kehilangan tujuan kehidupannya.