Biografi Imam Ali as (2); Kesan dan pengaruh kepribadian Imam Ali bin Abi Thalib AS.

Kesan dan pengaruh kepribadian Imam Ali bin Abi Thalib AS. Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib AS. berbarengan dengan masa pergerakan wahyu hingga terputusnya wahyu sepeninggal Nabi. Ia memiliki posisi yang mulia di sisi Nabi. Posisi ini yang membuatnya berusaha untuk membantu dan melindungi Rasul Allah dan risalah selama dua puluh tiga tahun dengan perjuangan yang terus menerus. Pembelaannya terhadap batasan-batasan Islam yang suci. Kias balik posisi, perbuatan-perbuatan dan keutamaan yang dimilikinya dengan indah dilukiskan oleh ayat-ayat Al-Quran dan teks-teks hadis. Ibnu Abbas berkata, ‘Ada 300 ayat yang turun berkenaan dengan Ali’.[1] Dan setiap turun ayat yang berbunyi Yaa ayyuhal ladzina aamanuu (wahai orang-orang yang beriman) Ali bin Abi Thalib pasti disebutkan di sana karena ia adalah pemimpin dan yang termulia dari orang-orang yang beriman.[2] Allah dalam sebagian ayat-Nya pernah memperingatkan para sahabat Nabi namun setiap kali menyebutkan tentang Ali pasti berkenaan dengan yang baik.[3] Banyaknya jumlah ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib AS. oleh ulama mutaqaddimin (yang terdahulu) maupun muta’akhirin (yang terakhir) dikumpulkan dalam buku-buku mereka. Sebagian dari ayat-ayat yang memiliki sangkut paut dengan Imam Ali bin Abi Thalib akan disebutkan sesuai juga dengan penjelasan para ahli hadis: Riwayat dari Ibnu Abbas: Pernah Ali bin Abi Thalib hanya memiliki uang empat dirham. Dengan empat dirham itu ia memberikan sedekah satu dirham pada malam hari dan satu dirham lagi di siang hari. Dua dirham terakhir juga disedekahkan; satu dirham secara sembunyi-sembunyi sementara dirham terakhirnya disedekahkan secara terang-terangan. Setelah melakukan hal tersebut turun ayat yang berbunyi, ‘Orang-orang yang menginfakkan hartanya di malam dan siang hari, secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Bagi mereka yang berbuat demikian pahalanya ada di sisi Tuhannya. Orang yang melakukan ini tidak memiliki rasa takut dan tidak pernah bersedih’.[4] Dari Ibnu Abbas: Ali bin Abi Thalib bersedekah dengan cincinnya sementara ia dalam kondisi melakukan ruku’. Kemudian Nabi bertanya kepada pengemis, ‘Siapa yang memberimu cincin ini? Ia menunjuk sambil berkata, ‘Yang memberiku orang yang sedang melakukan ruku’ itu’. Setelah itu turun ayat, ‘Wali/pemimpin kalian hanyalah Allah dan Rasulnya dan orang-orang yang beriman, orang-orang yang menegakkan salat sembari memberikan sedekah dalam kondisi ruku’.[5] Ayat Tathir[6] menunjukkan bahwa Ali termasuk Ahli Bayt wahyu yang disucikan dari segala noda dan dosa. Sementara ayat Mubahalah[7] mengatakan bahwa Ali adalah jiwa Nabi. Surat Al-Insan menjadi bukti akan keikhlasan Ali dan keluarganya dan kekhusyu’an mereka kepada Allah. Bukti dan persaksian ilahi ini menjadi penjamin bahwa mereka adalah ahli surga.[8] Para tokoh ahli hadis menyiapkan bab khusus dan bagian tersendiri berkenaan dengan keutamaan Ali terkait dengan riwayat-riwayat Rasulullah saw. Sejarah panjang kemanusiaan belum pernah mengenal manusia yang lebih utama dari Ali bin Abi Thalib setelah Rasul. Tidak pernah tercatat untuk orang lain keutamaan sebagaimana yang tertulis untuk Ali bin Abi Thalib sekalipun ia banyak menuai cercaan dan makian di atas mimbar salat Jumat sepanjang kekuasaan bani Umayyah dan orang-orang yang membencinya. Mereka yang membencinya senantiasa berusaha untuk mengurangi keutamaan Ali sampai tidak lagi ditemukan apa yang dapat dilakukan. Semua usaha menemui jalan buntu. Umar bin Al-Khatthab berkata bahwa Rasulullah sempat bersabda, ‘Tidak ada seorang pun yang dapat meraih keutamaan seperti keutamaan yang dimiliki Ali. Keutamaan ini selalu menunjukkan pemiliknya ke jalan hidayah dan mencegahnya dari kehancuran.[9] Dikatakan kepada Ali bin Abi Thalib, ‘Bagaimana bisa engkau banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw lebih dari sahabat yang lain? Ia menjawab, ‘Bila aku bertanya niscaya Nabi memberi kabar kepadaku. Bila aku diam Nabi yang memulai memberitahukan kepadaku’.[10] Dari Ibnu Umar, ‘Pada hari penetapan persaudaran yang dilakukan Nabi kepada para sahabat, Ali bin Abi Thalib tiba dengan air mata berlinang. Rasulullah saw bersabda, ‘Engkau adalah saudaraku di dunia dan di akherat’.[11] Dari Abi Laila Al-Ghiffari berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Sepeninggalku akan terjadi fitnah. Bila fitnah itu terjadi maka hendaklah kalian berpegangan dengan Ali bin Abi Thalib. Ia pertama kali orang yang beriman kepadaku. Orang pertama yang menyalamiku di hari kiamat. Ia adalah orang yang paling jujur (As-Shiddiq Al-Akbar). Ia adalah pemisah (Faruq) umat ini. Ia merupakan pemimpin (lebah jantan) kaum mukminin sementara harta adalah pemimpin kaum munafikin’.[12] Seluruh khalifah mengatakan bahwa Ali adalah yang paling mengetahui dan paling tepat dalam mengadili, hakim. Lebih dari itu, mereka sepakat bahwa seandainya Ali tidak ada niscaya mereka pasti celaka. Ungkapan ini lebih dikenal dalam ucapan-ucapan Umar yang berbunyi, ‘Seandainya tidak ada Ali niscaya Umar telah celaka’.[13] Dari Jabir bin Abdillah Al-Anshari berkata, ‘Kami tidak pernah mengenal orang-orang munafik kecuali lewat kebencian mereka terhadap Ali bin Abi Thalib’.[14] Ketika Muawiyah tiba di tempat terbunuhnya Ali bin Abi Thalib AS. ia berkata, ‘Pemahaman yang detil dan ilmu telah lenyap dengan meninggalnya ibnu Abi Thalib’.[15] As-Sya’bi berkata, ‘Keberadaan Ali bin Abi Thalib di tengah-tengah umat Islam sebagaimana keberadaan Isa bin Maryam di tengah-tengah Bani Israil. Sebagian dari pengikutnya begitu mencintainya sehingga mereka sampai pada batasan kekafiran akibat kecintaan yang berlebihan. Sementara sebagian yang lain begitu membencinya sehingga mereka sampai pada batasan kekafiran akibat kebencian yang berlebihan’.[16] Ali adalah paling dermawannya manusia. Ia senantiasa berakhlak sebagaimana yang diinginkan Allah; dermawan dan tangannya senantiasa terbuka. Ia tidak pernah berkata ‘tidak’ seumur hidupnya untuk peminta-minta.[17] Sha’sha’ah bin Shuhan berkata kepada Ali bin Abi Thalib di hari ketika ia dibaiat, ‘Demi Allah! Wahai Amir Mukminin, engkau telah menghiasi khilafah sementara khilafah tidak pernah membuatmu terhiasi. Engkau telah meninggikan derajat khilafah sementara khilafah tidak pernah meninggikanmu. Kekhalifahan lebih membutuhkanmu dibanding kebutuhanmu terhadapnya. Dari Abi Syibrimah, ‘Tidak pernah ada seorang pun yang berkata di atas mimbar ‘Saluni’ (tanyailah aku), selain Ali bin Abi Thalib’.[18] Al-Qa’qa’ bin Zurarah berdiri di sisi kuburan Ali sambil berkata, ‘Semoga Allah rela denganmu. Demi Allah! Kehidupanmu selama ini adalah kunci kebaikan. Seandainya masyarakat sebelum ini menerimamu niscaya mereka akan mendapat makanan dari langit dan dari bawah kaki-kaki mereka. Sayangnya mereka menganggap remeh nikmat yang selama ini ada bersama mereka dan lebih mementingkan dunia’.[19] George Jordaq seorang Masehi berkata dalam bukunya ‘Al-Imam Ali bin Abi Thalib Shaut Al-‘Adalah Al-Insaniyah’ (Ali suara keadilan manusia), berkata, ‘Ali bin Abi Thalib salah satu dari orang yang unik dan sulit ditemukan yang semisalnya. Bila engkau mengetahui hakikat mereka pasti engkau terjauhkan dari status taklid. Engkau akan memahami fokus keagungan mereka yang terwujud dalam keimanan mutlak akan kemuliaan manusia, kebenaran manusia yang kudus dalam kehidupan yang bebas dan mulia. Manusia yang semacam ini yang diinginkannya selamanya. Kejumudan, keterbelakangan dan senantiasa terhenti pada kondisi sebelumnya atau masa kini hanyalah sebuah kematian dan penunjuk pada kefanaan.[20] Syibli Shcmeil berkata, ‘Imam Ali bin Abi Thalib paling agungnya orang yang teragung. Pribadi satu-satunya yang tidak akan pernah ada yang menyamainya, baik di barat maupun di timur, tidak juga sebelum dan sesudahnya’.[21] Ali bin Abi Thalib tetap tinggal sebagai rumusan dan kepemimpinan praktis yang tidak dapat dipisahkan. Ia senantiasa konsekuensi bersama generasi sahabat-sahabat besar dengan pengertian pertama Islam sebagai petunjuk dan pengorbanan guna memperbaiki alam dan membentengi Islam menuju ke jalan kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain, sesuai dengan pengertian Islam sebagai revolusi yang tetap dan berkelanjutan. Muawiyah di sela-sela peperangannya dengan Imam Ali bin Abi Thalib menampakkan dirinya di hadapan generasi muda muslim sebagai orang yang berada di puncak kekuasaan dengan ekspansinya. Di sisi yang lain ia tidak ingin melepaskan ketamakannya atas kekayaan materi yang telah dikumpulkannya. Sikap permusuhan yang sangat dalam dan kelam ini sangat merusak dan memiliki daya hancur yang kuat. Hal ini memberikan kesempatan kepada Muawiyah untuk mengukuhkan rasa cinta keduniaan yang mengakar. Rasa ini mengoyak-ngoyak persatuan kaum muslimin. Kondisi ini memberikan sebuah lahan baru tentang hak-hak milik agama yang lebih mencakup kepada politik pemerintahan dalam menghadapi semangat risalah dan revolusi.[22]             Masih seputar masalah ini, profesor Hasyim Ma’ruf menulis: “Imam Ali bin Abi Thalib adalah fenomena historikal yang tidak pernah dikenal oleh umat manusia dalam kehidupan mereka. Ketidaktahuan ini mulai dari kelahirannya. Tempat lahirnya merupakan tempat yang sangat fenomenal dalam sejarah. Belum pernah ada seorang pun yang pernah dilahirkan di sana (Ka’bah), tidak sebelumnya dan tidak sesudahnya. Sebagaimana ia dilahirkan di rumah Allah, saat menghadapi kematiannya oleh Allah ia dikeluarkan dari rumahnya.”   Ditambahkan olehnya: ‘Belum pernah terjadi dalam sejarah kemanusiaan seperti yang terjadi pada Ali bin Abi Thalib. Orang-orang yang tidak memiliki keimanan seperti para pecintanya menganggapnya sebagai pemimpin yang terdepan dan salah satu manusia terjenius yang pernah dilahirkan zaman. Orang-orang yang obyektif mencintainya, memandangnya sebagai pendamping kenabian dan kerasulan. Sementara orang-orang yang berlebih-lebihan dalam mencintainya meletakkannya pada posisi ketuhanan.”[23] [1] . Al-Futuhat Al-Islamiyah, jilid 2, hal 516. [2] . Kasyf Al-Ghummah, hal 93. [3] . Yanabi’ Al-Mawaddah, 126. [4] . QS. 2:273. Lihat Yanabi’ Al-Mawaddah, hal 92. [5] . QS. 5:55. Lihat Tafsir At-Thabari, jilid 6, hal 165, Tafsir Al-Baidhawi dan lain-lainnya. [6] . QS. 33:33. Lihat Shahih Muslim, Bab Fadhail As-Shahabah. [7] . QS. 3:61. Lihat Shahih At-Turmudzi, jilid 2, hal 300. [8] . Lihat Al-Kassyaf milik Az-Zamakhsyari. At-Thabari di Ar-Riyadh An-Nadhirah, jilid 2, hal 207. [9] . Ar-Riyadh An-Nadhirah, jilid 1, hal 166. [10] . Thabaqat Ibnu Sa’ad, jilid 2, hal 338. Hilyah Al-Auliya’, jilid 1, hal 68. [11] . Sunan At-Turmudzi, jilid 5, hal 595, hadis nomor 3720. [12] . Ibnu Hajar, Al-Ishabah, jilid 4, hal 171, nomor 994. Majma Az-Zawaid, jilid 1, hal 102. [13] . Syarh Nahjul Balaghah, jilid 1, hal 6. Tadzkirah Al-Khawash, hal 87. [14] . Al-Isti’ab bi Hamisy Al-Ishabah, jilid 3, hal 45. [15] . Idem. [16] . Al-‘Aqd Al-Farid, jilid 2, hal 216. [17] . Syarh Nahjul Balaghah, jilid 1, hal 7. [18] . Aimmatuna, jilid 1, hal 94, dinukil dari ‘Ayan As-Syi’ah, jilid 3, bagian 1, hal 103. [19] . Tarikh Al-Ya’qubi, jilid 2, hal 213. [20] . Al-Imam Ali Shaut Al-‘Adalah Al-Insaniyah, jilid 1, hal 14. [21] . Idem, hal 35. [22]. Burhan Ghalyiun, Naqd As-Siyasah, Ad-Daulah wa Ad-Din, hal 78, cetakan kedua 1993, Al-Muassasah Al-‘Arabiyah lil Dirasah wa An-Nasyr. [23] . Sirah Al-A’immah Al-Itsna ‘Asyr. Tags: