Kumandang azan subuh berseru di cuaca pagi buta, matahari masih terselip di ujung ufuk timur. Terdengar Suara ayam berkokok dari balik peraduannya, memberi semangat umat manusia untuk menjalankan kewajibannya, yaitu menunaikan shalat subuh.
Rama terbangun, seketika bergegas mengambil air wudhu. Matanya masih lelah, menahan kantuk yang menyiksanya. Namun bagi Rama itu adalah hal biasanya, karena menjalankan kewajibannya itu lebih berharga dibandingkan menghabiskan waktu subuh dengan terbuang sia-sia. Setelah dirasa semua sudah cukup bersih, Rama melangkahkan kakinya menuju masjid terdekat. Terlihat orang-orang berbondong-bondong menghampiri masjid dengan begitu antusias. Sejenak Rama terkejut tatkala melihat suasana masjid tidak seperti biasanya, masjid yang hanya ramai ketika shalat jum’at saja, kini penuh dan ramai. Tiap shaft terisi penuh tanpa cela. Baris berjejer rapih sampai muka pintu masjid. “biasanya hanya dua sampai tiga shaft saja” bisik Rama dengan ragunya.
Komado Imam sudah menghela, setelah muadzin menyelesaikan iqomahnya. Dalam hati Rama masih merasa ada yang aneh, “masya Allah, Kenapa harus memikirkan semua orang-orang aneh ini” bisiknya. Kembali Rama menghadapkan pandangannya pada kiblat di hadapannya.“Allahhu Akbar” seru Rama mengangkat kedua tanganya, seraya terhanyut dalam khusunya shalat.
Setelah menunaikan shalat subuh semua warga menyalami rama dengan senyum yang mengembang di wajah-wajah mereka. Rama yang masih terbingung hanya membalasi salam itu dengan senang hati. “ada apa sesunguhnya denga warga-warga ini?” tanya Rama dalam hatinya.
Fajar telah hadir menyelimuti desa kecil ini. Mentari bersinar tegas memberi semangat untuk melakukan aktifitas. Rama menghampiri halaman belakang rumahnya. Disana terdapat sebuah kebun kecil miliknya. Meski tidak terlalu besar namun disana banyak tertanam bebrapa macam sayuran yang sengaja ia tanam untuk memenuhi sebuah lahan kosong yang tidak terpakai. Rama mengangkat parangnya. Minggu pagi ini ingin ia habiskan dengan mengurusi kebun kecilnya itu. memcabuti dan memangkas rumput-rumput liar yang menganggu tanaman sayurnya.
Mentari mulai lurus naik serta memanas. Keringat mulai berkucuran di tubuh rama, sesekali tangannya mengusap air keringat yang terus mengalir di keningnya. Rama menyandarkan punggungnya di bawah payung pohon manggah untuk sejenak beristirahat. Jemarinya sibuk menuang air mineral di gelas kaca kemudian menenggaknya.
Tatapan Rama tertuju pada sebuah pohon nangka besar tepat di sebelah kiri kebunnya. Tempat yang penuh dengan kadang-kadang ayam itu, kini sepi. Rama bukan ingin melihat Ayam-ayamnya, melaikan menunggu datangnya rombongan warga yang melakukan sabung ayam disana. Namun tidak seperti biasanya, tempat itu begitu sepi. Tidak ada sedikitpun terlihat ayam beradu, hanya beberapa kadang Ayam saja yang tertinggal tanpa terurus. Dimana orang-orang itu, biasanya sebelum fajar hadir, mereka sudah ramai berkumpul.
Bukan hanya tempat sabung ayam yang sepi namun sebuah rumah kontrakan kecil, yang berpintu kayu tanpa jendela itu pun juga terlihat sepi. Biasanya disana ramai para pemuda menghabiskan waktu mereka, berbincang-bincang seru sembari mebawa wanita-wanita pemuas nafsu dalam kondisi mabuk. Tidak, dengan hari ini, semuanya nampak sepi tak berpenghuni. Sekali lagi Rama merasa ada sesuatu yang aneh dengan desanya itu. “syukurlah jikalau mereka sudah benar-benar berubah” lagi-lagi Rama hanya bisa menggumpal dalam hatinya.
Kumandang Azan Zuhur terdengar berseru, Rama meraih sarungnya. Kemudian melangkah menuju masjid tempat biasa ia melakukan shalat berjamaah. Siang hari itu juga nampak ramai seperti subuh tadi, masjid penuh dengan warga desa melakukan shalat berjamaah. Ternyata bukan hanya Subuh dan Zuhur saja, bahkan Ashar dan Magrib pun juga begitu. Sepertinya warga-warga desa mulai rajin melakukan shalat berjamaah.
Selepas shalat magrib Rama duduk bersantai di ruang tamu rumahnya, merenungi yang terjadi dengan desanya hari ini. Ia masih terbingung dengan keadaan dan kondisi lingungkungannya. Tidak ada lagi orang-orang yang menyambung ayam, tidak ada lagi pemuda-pemuda yang menghabiskan waktu bermabuk-mabukan sembari membawa wanita pemuas nafsu. Semua sudah tidak ada lagi. Kini warga desa semua saling sibuk beribadah dan membertebal keimanan mereka. Semua sibuk melakukan ibadah dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya pahala. Mungkinkah hari akhir sudah dekat?, hingga mereka semua menyadari akan kedatangannya. Sehingga membuat tiap umat manusia merubah sikap dan prilakunya. Tapi, inikah tanda-tanda hari akhir itu, tidak seperti yang digambarkan Allah di Al-qur’an. Waallahua’lam.
Rama menepis semua pikiran-pikirannya itu dengan meraih sebuah Al-qur’an yang berada di atas meja belajarnya. Mungkin dengan membaca Al-qur’an sejenak memberi ketenangan hati untuk tidak memikirkan hal-hal yang sulit dijelaskan. Seketika Rama membuka tiap halaman Al-qur’an dengan lembutnya. Ia terkaget. “masya Allah” ucapnya seketika melihat Al-qur’an digenggamannya itu polos tanda ada bacaan sedikitpun yang tertinggal. Juz al-quran yang berjumlah tiga puluh semuanya lenyap. Ayat yang berjumlah enam ribu enamratus enam puluh enam ayat tak satu pun tertinggal. Surah pun yang berjumlah seratus empat belas juga tak ada lagi. Semuanya menghilang. Rasanya ingin gila. Itulah yang dirasakan Rama seketika melihat semua hal aneh itu.
Menyaksikan semua isi Al-quran menghilang. Rama hanya menyenderkan kepalanya di tembok. sementara malam mulai larut. Rama masih tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah semua yang telah berubah di desanya ini ada kaitannya dengan hilangnya ayat dalam Al-qur’an. Sekali lagi rama berfikir, apakan mungkin warga desa sudah mengetahui akan hilangnya ayat dalam Al-quran ini, sehingga mereka semua segera bertaubat. Tapi apakah mungkin sifat-sifat buruk setiap manusia bisa menghilang begitu saja.
Atau mungkinkah sebuah sifat tercela itu adalah suratan dari Sang Khalik. Itulah maksud Allah, raja alam semesta ini menurunkan firman-firmannya. Untuk menuntun umat manusia di sisi jalan yang benar. jika, Allah hanya memciptakan sifat baik saja kepada manusia, maka tidak bergunalah firman-firman Allah itu. begitu pula jika Allah hanya meciptakan sifat buruk saja. Waallahua’lam hanya Allah yang mengetahui itu. namun Rama, sebagai seorang mahluk tuhan yang tidak mengetahui apa-apa hanya bisa terus berasumsi seperti itu. hingga Rama dipanggil di sisi tuhannya, ia tidak sedikitpun mengerti akah hal itu. Andai suatu saat Rama mengerti, mungkin Tuhan pun sudah Tidak jadi Tuhan lagi.
Cerpen Karangan: Kiki Ramadhan
Facebook: Kiki Ramadhan
Kiki Ramadhan, seorang cerpenist yang lahir di Bekasi 13 Maret 1993. seorang mahasiswa D3 ini sangat senang menulis sejak SMA. selain itu ia juga gemar bermain Piano.
[islamic-sources/cerpenmu.com]