Perempuan Syiah dan Al-Quran
Minggu menjelang dhuhur, di halte bis depan kampus, aku berdiri mematung. Mulutku komat-kamit membaca lafaz ayat-ayat Al-Qur’an yang kuhapal. Di halte sepi, hanya aku dan tiga orang lainnya. Satunya membaca koran, duanya lagi bermain dengan HP. Mungkin karena libur, orang-orang pada malas keluar, dan lebih asyik beraktivitas di dalam rumah.
Perumahan sekitar kampus, yang memang di penuhi dengan kost-kostan mahasiswa, minggu adalah hari yang paling hening. Setidaknya sampai menjelang sore. Pagi kadang total diisi dengan tidur pulas di kamar-kamar sampai siang bagi mereka yang menghabiskan malam dengan begadang. Yang tipikal rajin, setidaknya minggu pagi adalah waktu yang pas untuk mencuci pakaian atau sekedar bersih-bersih kamar. Aku terkadang minggu pagi, malah tidak berada di kost, kalau lagi ada acara majelis-majelis keagamaan, aku pasti mengikutinya. Apakah sebagai penyelenggaranya, ataupun sebagai peserta biasa.
Aku bersyukur dapat terlibat dalam kerja-kerja dakwah ini. Aku jadi lebih dalam mengenal Islam, agama yang kupeluk, terlebih lagi aku punya tambahan banyak teman. Bukan hanya di kampusku, namun juga dari kampus-kampus lain, yang kesemuanya adalah aktivis-aktivis dakwah. Kami punya agenda-agenda dakwah masing-masing yang formatnya nyaris sama namun dengat tema yang berbeda-beda. Misalnya, setiap minggu pagi, karena menjadi hari libur, kami memanfaatkan mengisinya dengan mengadakan pengajian umum, terkadang kami menyebutnya tabligh akbar, mengundang bukan hanya civitas akademika kampus namun juga masyarakat umum sekitar kampus. Agar waktunya tidak bertabrakan, antar lembaga dakwah kampus, kami biasa.saling rembuk jadwal.
Misalnya pekan ini, pengajian diadakan di kampus yang satu, pada pekan berikutnya, di kampus yang lain lagi. Ataupun diadakan di mesjid kampus yang sama pada pekan yang berbeda namun dengan pihak penyelenggara yang berbeda pula, karena setiap fakultas memiliki lembaga-lembaga dakwah tersendiri. Karenanya, aku nyaris tidak punya waktu libur. Kecintaanku terhadap majelis-majelis ilmu, membuatku benar-benar berpaling untuk melakukan hal yang sia-sia, hatta itu sekedar tidur bermalas-malasan di minggu pagi.
Sudah 10 menit, aku berdiri di sisi halte ini. Dan memang biasanya tidak lama menunggu angkutan umum. Paling banter sampai 20 menit, apalagi di hari yang sepi penumpang seperti ini. Mulutku tidak henti komat-kamit, hapalan Qur’anku memang baru beberapa juz, namun kuberjanji untuk setia menjaganya.
Dikepalanku tergenggam mushaf kecil, yang sesekali kulihat untuk mengecek kebenaran hafalanku. Aku tak pernah sekalipun absen untuk membawanya. Aku bisa membaca ataupun mengecek hafalanku dimana dan kapan saja. Hatta dikeramaian sekalipun, aku berupaya tidak ada detik yang kulewatkan terbuang sia-sia. Aku benar-benar berambisi untuk menjadi penghafal Qur’an. Betapa bangganya, hatta kuliah di kampus umum, namun mampu mengamalkan Islam dengan kaffah bahkan sampai jadi hafiz Qur’an pula. Aku tersenyum membayangkan. Betapa bahagianya menjadi hamba-Mu yang saleh ya Allah…
Bapak muda, sudah tidak lagi membaca korannya, ia melipat dan menjadikannya kipas, lalu dikibas-kibas pelan di wajahnya yang gerah. Dua lainnya, masih juga asyik dengan HPnya, bahkan terkadang senyum dan cekikikan sendiri. Saya tadi sempat meliriknya sekali. Keduanya tampaknya mahasiswi sekampusku. Atau malah juga kost di kompleks yang sama denganku. Namun aku tidak peduli, penampilan keduanya yang menor dan pakaian ketatnya, membuatku jengah untuk lebih memperhatikan.
Karena itu aku berdiri, dan tidak duduk di kursi panjang halte untuk sederet dengan keduanya. Keduanya duduk berdampingan, namun masing-masing sibuk dengan HPnya. Saya tidak tahu keduanya saling mengenal satu sama lain atau tidak, namun setidaknya semakin menguatkan hipotesaku, kecanggihan tekhnologi sekarang membuat hubungan antar manusia menjadi berjarak, lebih memilih menjalin kontak komunikasi dengan dunia maya dibanding dengan mereka yang jelas-jelas berada di depan mata. Hp dengan segala aplikasinya memang mendekatkan yang jauh tapi justru menjauhkan yang dekat. Saya benar-benar tidak tertarik.
Mikrolet datang, aku naik, kupilih duduk diujung jok paling belakang. Angkutan umum ini nyaris penuh, tinggal satu tempat yang kosong pas di depanku. Melihat penumpang yang hampir kesemuanya perempuan muda, kutundukkan pandanganku. Dengan menundukkan pandangan, fokus pandangan lebih kecil, sempit dan terarah.
Semakin menengadah, lokus pandangan bertambah luas, semakin luas dan banyak obyek pandangan, kecenderungan berbuat dosa juga semakin besar. Setan lebih sering menggoda dan merayu manusia untuk berbuat dosa lewat pandangan mata. Menjaga pandangan adalah tips yang paling sederhana untuk terhindari dari melakukan perbuatan maksiat kepada Allah. Mikrolet berhenti, ternyata ada yang menahan.
Kulihat sekilas, seorang perempuan muda berjilbab, segera kutundukkan pandangan, ia duduk pas di depanku, satu-satunya tempat kosong yang tersisa. Mataku menumbuk ujung kain gamis cokelatnya, kupejamkan mataku, ya Allah, jaga hati hamba. Yang berpakaian sekenanya, menggoda syahwatku, yang mengenakan busana Islami yang rapi, menggoda imanku.
“Hei, kak Altar…”
Suara itu menyentakku, mataku masih terpejam. Bahkan kupejam lebih erat.
“Ups, afwan kalau mengganggu kak…” Kucoba menengadahkan wajah dengan tatapan bloon.
“Oh, Arini….” Kurapikan dudukku. Kutegakkan badanku.
“Afwan, saya agak ngantuk. Berpengaruh ke kondisi badan, jadinya agak lemas.” Kucoba berbicara sambil tersenyum dengan tatapan mata yang tidak terarah. “Mengapa juga duduknya pas di depanku.” Kataku membatin, kuingat cuman yang didudukinya, satu-satunya tadi tempat yang masih kosong. Dia tidak salah, saya mencari alasan membelanya.
“Kalau begitu afwan kak, telah menegur.”
“Tidak mengapa.”
“Anti, mau kemana?” kutegur diriku, berani juga saya bertanya.
“Oh, ke toko buku kak.”
Hampir saja saya teriak histeris, “Sama dong kalau begitu,” untung akal dan iman masih punya kendali penuh atas organ-organ tubuh ini. Kupilih sekedar membuat bibir berbentuk O tanpa suara, kutatap jalan raya lewat kaca belakang mobil, kendaraan berbagai jenis, berada di belakang mitrolet yang kutumpangi. Ada beberapa menit kami terdiam, saya lebih sibuk dengan lamunanku yang tidak terarah, ingin rasanya kukeluarkan mushafku, dan lebih menyibukkan mata menatap ayat-ayat Ilahi. Tetapi jadi khawatir juga, disebut riya, sok alim, mentang-mentang duduk di depan seorang akhwat jadi pamer-pamer sebagai qari. Aku jadi serba salah.
Teringat pesan ustadzku dalam sebuah halaqah tarbiyah, "Kalau kau khawatir terjebak riya sehingga menghindari perbuatan baik, sama halnya kau terjebak dalam riya yang lebih besar. Yakni kau bangga dan memamerkan bahwa kau sama seperti yang lainnya. Sama dengan lainnya yang membuang waktunya dengan sia-sia. Kau harus tetap lebih mengutamakan berbuat amal ibadah sekecil apapun itu. Mengenai kekhawatiranmu terjebak riya, lawan itu dengan meluruskan niat, ingat Allah dan ikhlaskan hatimu hanya melakukan ibadah karena-Nya. Kalau aktivis dakwah malu memperlihatkan kebiasaan-kebiasaan shalehnya di depan umum, lantas siapa yang akan melakukannya untuk mendakwahkan syiar Islam ini?."
Kukeluarkan mushafku, yang membuatku terpaksa mengubah posisi duduk. Pandanganku tak sengaja jatuh digenggaman Arini. Digenggaman itu telah ada mushaf yang ukuran serupa dengan punyaku. Tak tahan untuk tidak melihat wajahnya sekilas, bibirnya tampak bergerak-gerak lembut dengan mata yang tertuju kepada ayat-ayat Ilahi itu. Aku menggelengkan kepala merasa kalah. Tiba-tiba rasa penasaranku menyeruak.
"Arini…" tak tahan untuk tidak menegurnya, ada yang ingin kutanyakan. Aku tak mau menyebutnya ukhti, panggilan saudara hanya untuk yang seaqidah.
"Ada apa kak? Kakak memanggilku?" tatapnya sembari tangannya bergerak menutup mushaf.
"Kamu Syiah bukan?"
"Maksud kakak…?" merasa pembicaraan bakal lama ia memasukkan mushaf ke tas pinggangnya.
"Maksud saya, kalau kamu Syiah mengapa harus repot-repot membaca Al-Qur'an yang menurutmu tidak orisinil lagi?" tak tahan menatap tatapan matanya, aku palingkan pandangan ke badan jalan. "Mengapa juga perempuan ini tidak menundukkan pandangan." Geramku membatin.
"Kata siapa kak, Syiah menyebut Al-Qur'an tidak orisinil lagi?"
"Tuh kan, mulai taqiyah lagi. Sudah bukan rahasia lagi Rin." Kataku sedikit meninggi.
"Ada ulama atau tokoh Syiah yang mengeluarkan pernyataan dan keyakinan Al-Qur'an kita beda?"
"Literatur-literatur klasik Syiah menuliskan itu." Ucapku mantap.
Arini tampak hendak membantah, namun tercegah oleh teriakan kecil seorang penumpang yang meminta sopir berhenti. Mobil berhenti sejenak. Setelah menerima ongkos, sopir melajukan mobil kembali.
"Arini, kita diskusinya di tempat lain saja. Tidak enak dilihat orang. Nanti di toko buku saja, kebetulan saya juga mau kesana." Ucapku sedikit berbisik. Arini hanya mengangguk, ia tersenyum sopan. Terlihat jelas dari wajahnya ada kata-kata yang ingin disampaikannya.
**************
"Kakak tidak risih begini?".
Kepalaku celingak-celinguk memandangi orang-orang yang berada di dalam toko buku, hanya ada beberapa orang. Toko ini masih sepi. Tampak rak-rak lemari berisi deretan buku. Beberapa karyawan toko menyusun rapi buku-buku yang sempat berantakan. "Risih juga sih, kalau ada yang mengenali." Kataku setengah berbisik, yang sedetik kemudian aku bantah dalam hati "Jadi maksudmu, kalau tidak ada yang mengenali kamu bebas bermaksiat?" protes batinku. Aku merasa terpaksa melakukannya. Selama ini aku mengenal Syiah hanya dari bacaan saja dan penyampaian ustad-ustadku yang memang sejak awal sudah antipati dengan Syiah. Aku belum pernah mendengar langsung dari orang yang meyakini bahwa Syiah benar, termasuk Arini yang tak jauh dariku ini.
"Sebut saja ini kondisi darurat. Lagian kita tidak bergitu terlalu dekat." Ada jarak sekitar 4 meter yang membentang di antara kami. "Kita lanjutkan diskusi, ajukan argumenmu." Aku berpura-pura sedang memilih-milih buku, aku ambil satu sekenanya.
"Meskipun riwayat-riwayat yang mengindikasikan terjadi perubahan atau pengurangan pada Al-Qur'an terdapat dalam literatur klasik Syiah, kita tidak bisa serta merta menyatakan bahwa itulah yang merupakan keyakinan Syiah."
"Maksudmu?" alisku seketika berkerut, mataku tetap tertuju pada buku yang pura-pura sedang aku baca.
"Kakak sendiri tahu, klasifikasi riwayat itu bagaimana, ada yang shahih, dhaif bahkan palsu. Dan tentu untuk kategori dhaif dan palsu tidak bisa mewakili keyakinan suatu mazhab meskipun itu terdapat dalam kitab-kitab yang merupakan sandaran dalil bagi mazhab itu."
"Maksudmu, riwayat-riwayat mengenai tahrif Al-Qur'an yang terdapat dalam literatur Syiah itu dhaif atau palsu?"
"Iya seperti itulah. Ulama-ulama Syiah telah menyebutkan hal itu dalam kitab-kitab mereka."
"Kalaupun itu palsu, mengapa harus ada dalam kitab-kitab yang dijadikan kitab induk oleh Syiah? Apakah penulis kitab-kitab hadits itu tidak melakukan tinjauan sanad sejak awal, apalagi sampai tidak melakukan kritik matan hadits? Bukankah membaca matan riwayat itu saja, siapapun akan serta merta menolaknya, sebab sangat bertentangan dengan Al-Qur'an?." bantahku.
"Penulis Al Kafi misalnya kak, Syaikh Kulaini itu hanya sekedar mengumpulkan riyawat-riwayat yang masyhur dimasanya tanpa sempat melakukan tahkik mengenai validitas riwayat. Tugas ulama-ulama hadits setelahnyalah yang bertugas mengklasifikasi hadits yang sekedar dikumpul oleh syaikh Kulaini tersebut. Jadi wajar jika riwayat dhaif pun masih bercampur disitu."
"Mengapa tidak ada ulama Syiah yang melakukan penyaringan terhadap Al Kafi, sebagaimana yang dilakukan Imam Bukhari sehingga kitabnya hanya berisi hadits-hadits yang shahih saja?"
"Sudah ada kak. Ada. Penulis kitabnya Syaikh Muhammad Baqir Bahbudi. Judul kitabnya, As Shahih minal Kafi, hadits-hadits shahih dari kitab Al Kafi."
"Dari kitab Ulumul Hadits, saya lupa penulisnya, menyebutkan dari 16.199 riwayat yang terdapat dalam Al Kafi ada 9 ribu riwayat yang lemah." Lanjutnya. "Apakah adil jika Syiah dikatakan sesat dengan berdasar pada riwayat-riwayat yang lemah itu?"
Saya terdiam.
"Lagian kak, kalaupun riwayat-riwayat yang mengindikasikan adanya ta'arif pada Al-Qur'an itu shahih, kita sebelumnya harus tahu bagaimana ulama-ulama Syiah memahami riwayat tersebut. Siapapun akan memberi pembelaan serupa ketika orientalis misalnya, memberikan penilaian negatif terhadap Islam ketika mereka membaca langsung literatur-literatur Islam tanpa mau mencari tahu bagaimana ulama-ulama umat Islam memahaminya."
"Mereka menyebut Islam agama yang bengis dan anti damai karena memerintahkan umatnya berperang, agama yang tidak berprikemanusiaan karena memerintahkan potong tangan dan rajam bagi pelanggar hukum, agama yang tidak ramah terhadap perempuan karena membolehkan poligami, pembagian warisan yang lebih sedikit dan tuntutan untuk taat kepada suami dan lain sebagainya. Bukankah kesimpulan itu diambil karena pemahaman mereka yang tidak spesifik mengenai Islam? Mereka mempelajari Islam hanya melalui teks-teks semata tanpa mengkaji pemahaman umat Islam mengenai aturan-aturan itu."
"Dan itupula yang dirasakan oleh umat Syiah saat ini. Mereka dibombardir dengan propaganda-propaganda negatif, isu-isu perbedaan klasik yang telah berkali-kali dibantah oleh ulama-ulama Syiah dan dibuktikan bahwa itu hanya fitnah dan tuduhan belaka, tapi masih terus diulang-ulang." Ucapnya menggebu-gebu, tanpa memberiku kesempatan berbicara. Saya merasa ada kegeraman yang tertahan dari nada kata-katanya itu.
"Lihat Iran kak, bukankah Iran Negara yang mayoritas berpenduduk Syiah? Apakah tidak ada harganya sama sekali apa yang mereka lakukan selama ini dalam mempromosikan Al-Qur'an ke penduduk dunia? Ulama-ulamanya menulis berjilid-jilid kitab tafsir, Iran berkali-kali menjadi tuan rumah musabaqah tilawatil Qur'an tingkat internasional, setiap tahunnya mengadakan pameran Al-Qur'an, seminar-seminar kajian Al-Qur'an, bahkan Negara kita juga turut ambil andil dalam kegiatan-kegiatan bertaraf internasional yang mereka selenggarakan itu, termasuk Arab Saudi sekalipun. Terlebih lagi salah seorang bocah ciliknya Husain Thabathabai yang baru berusia 7 tahun mendapat gelar Doktor kehormatan karena penguasaannya terhadap Al-Qur'an. Ia telah menghafal Al-Qur'an dan memahami artinya dalam usia semuda itu. Dan orangtuanya Syiah kak. Dia juga Syiah. Apakah semua itu hanya sekedar kamuflase belaka?"
Saya terdiam.
"Kakak sudah baca buku ini?" ia mendekat dan menyodorkan buku tebal bersampul hijau.
Buku itu berpindah tangan. Tertulis disampulnya, Sejarah Al-Qur'an. M. Hadi Ma'rifat tertulis pada bagian atas sampul.
"Itu ditulis Prof. DR. Hadi Ma'rifat, guru besar Ulumul Qur'an di Hauzah Qom Iran. Beliau ulama Syiah. Silahkan dibaca kak bagaimana orisinalitas Al-Qur'an menurut beliau. Saya rasa itu sudah cukup mewakili pandangan umat Syiah hari ini."
Saya tertarik pada buku ini. Sayang masih terbungkus plastik tipis sehingga tidak bisa membuka dan melihat isinya. Saya lirik sampul belakang tertera tulisan kecil Rp. 52.500. Harga segini, saya bisa puasa seminggu. Hatiku mengkerut.
"Kalau memang belum baca. Kakak ambil saja, nanti Arini yang bayar." Katanya seperti pandai membaca isi pikiranku. Saya hampir saja mengiyakan.
"Tidak usah, kalau memang Arini sudah punya, nanti saya pinjam yang itu saja nanti."
Buku kembali beralih tangan. Ia menjauh. Mengembalikan buku pada tempatnya semula.
Arini tetap berada di tempat itu. Kelihatan ia seperti mencari-cari sesuatu. Saya berniat mendekat. Masih ada beberapa hal yang mau saya tanyakan. Sampai saya sadar, toko buku sudah mulai ramai. Saya urungkan niat. Sepertinya dia juga sudah tidak mau diganggu.
Saya akui, masih belum banyak mengenal Syiah. Membaca buku-buku Syiah saja belum pernah. Saya hanya tahu Syiah dari penjelasan ustad-ustad dipengajian dan buku-buku yang menjelaskan kesesatan aqidah dan kekejian Syiah terhadap sahabat-sahabat Nabi. Selama ini aku merasa itu semua sudah cukup menjadi modal untuk membantah argument-argumen batil orang-orang Syiah dan mengembalikannya kembali ke jalan yang benar.
Kumenghela nafas. Kemanapun kumemandang yang tampak tumpukan buku. Begitu banyak buku yang belum kubaca. Pikiranku melayang, mencoba mengingat-ingat buku-buku Islam apa saja yang pernah aku baca. Hanya beberapa yang bisa kuingat. Tak banyak buku yang kubaca sampai tuntas. Kebanyakannya kubaca serampangan, kuambil poin-poin penting, kusimpulkan sendiri dan kujadikan bahan ceramah didepan adik-adik binaan ataupun bahan diskusi dengan teman-teman. Aku tiba-tiba merasa punya kesalahan besar terhadap agama ini. Semua orang mengakui untuk menjadi ahli di bidang tertentu ada hirarki yang harus dilalui, ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi, ada sertifikasi dan pengakuan khusus dari orang-orang yang lebih ahli. Tetapi saya jutsru tidak melihat itu terjadi pada agama ini. Semua orang bisa jadi ahli agama. Cukup hafal beberapa ayat dan hadits, tampilan yang meyakinkan, bisa beretorika dengan baik, siapapun bisa bicara mengenai Islam di mimbar-mimbar.
Dan itupun yang saya lakukan. Saya belum pernah belajar ushul fiqih apalagi fiqih, tapi saya sudah menjadi rujukan adik-adik angkatan di kampus jika mereka punya permasalahan fiqih. Saya tidak pernah belajar khusus mengenai hadits, ilmu rijal, ilmu isnad tapi jika mendengar ada yang menyampaikan hadits tidak sesuai dengan apa yang saya pahami, saya begitu saja menyebutnya lemah atau palsu. Saya bahkan pernah begitu mudah menyebut Syaikh Muhammad Thantawi, Yusuf Qardawi, Sayyid Qutb, Prof. Quraish Shihab dan Nurkholis Majid sebagai orang-orang sesat hanya karena menerima Syiah sebagai bagian dari Islam. Padahal jika dibandingkan dengan ilmu Islam yang kupunya, benar-benar tidak bisa dibandingkan. Bahasa Arab saja aku tak bisa.
****
"Beli buku apa Rin?" tanyaku saat kembali berpapasan dengan Arini di depan kasir. Ada 4-5 orang didepan kami lagi antri.
"Ini kak, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Al-Qur'an for Life Excellence." Dia menunjukkan dua buku yang lumayan tebal.
"Kamu tertarik sama wacana Al-Qur'an ya?"
"Begitulah kak, kan tidak lucu jika seorang muslim tidak begitu mengenal kitab sucinya sendiri."
"Jadi maksudmu, kamu mau melucu?" refleks saya mengatakannya.
"Ha…ha… kakak ternyata punya selera humor tinggi juga." ia tertawa geli sambil menutupi separuh wajah dengan buku ditangannya.
"Emang lucu?" tanyaku masih belum mengerti. Tiba-tiba saya tersentak. Apa yang saya lakukan sudah terlalu jauh. Bukan hanya sekedar ngobrol saya malah sampai bercanda dengan perempuan bukan muhrimku. Aku beristighfar dalam hati berulang-ulang.
Saya mundur dan memberikan tempat antrianku pada dua orang dibelakangku.
Kedua orang itu tampak bingung termasuk Arini. Ia seketika menghentikan tawanya.
"Maaf kak."
"Tidak apa." Kataku sambil memalingkan pandangan kelemari-lemari yang penuh tumpukan buku.
Saya tiba-tiba teringat sesuatu. "Arini, tunggu aku ya. Masih ada yang ingin saya tanyakan."
Arini tak menjawab. Ia berpaling memandangiku sembari tersenyum. Hatiku berdesir seketika.
********
"Mau tanya apa kak?" tanya Arini ketika kami sudah berada di luar toko. Suara klakson dan deru mesin kendaraan memekakkan telinga. Sangat kontras dibanding berada di dalam toko tadi.
"Bisa lihat bukunya sebentar?" saya menghentikan langkah. Aku tetap berusaha menjaga jarak. Saya bermaksud menyelidiki. Kalau itu buku Syiah, akan kuperlihatkan kesesatannya.
"Bisa. Yang mana kak?" ia kembali mengeluarkan buku yang baru saja dimasukkan ke dalam tasnya.
"Yang samudera ilmu Al-Qur'an."
Buku itu beralih tangan. Kubaca sampulnya. Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur'an, ringkasan kitab Al Itqan fi Ulum Al-Qur'an karya Al Imam Jalal Al Din Al Suyuthi. Penulisnya, Dr. Muhammad ibn Alawi Al Maliki, pakar ilmu-ilmu Al-Qur'an dari Makkah. Ini jelas bukan buku Syiah. Aku tersentak saat membaca penerbitnya.
"Ini diterbitkan oleh Mizan?"
"Iya kak. Memang kenapa?"
"Bukannya Mizan penerbit buku-buku Syiah?" aku membuka-buka buku itu menyelidik.
"Bukan kak, Mizan penerbit buku-buku keIslaman, dari mazhab apa saja."
"Tapi bagaimanapun wacana Syiah lebih banyak kan?", tanyaku tak mau kalah.
"Oh kalau itu saya kurang tahu. Bagi saya wacana Islam dan Syiah tak ada bedanya."
Pikiran buruk begitu saja muncul. "Akh, Mizan sengaja menerbitkan buku-buku Ahlus Sunnah untuk mengelabui umat." Ucapku membatin. Ya setidaknya telah mencemari pikiran perempuan cerdas dihadapanku ini, sampai sulit membedakan Islam dan Syiah.
"Oh ya kak, memangnya Imam Jalaluddin Suyuti bukan Syiah?" tanyanya membuyarkan lamunanku.
"Maksudmu?" saya heran dengan pertanyaannya.
"Beliau menukil riwayat dalam kitabnya Al-Itqan, bahwa Al-Qur'an saat ini tidak orisinil lagi. Telah terjadi perubahan dan pengurangan sejak masa sahabat."
"Jangan ngacau Rin, saya tidak percaya. Beliau ulama Sunni, bukan Syiah." Wajahku memerah, tapi dia malah tersenyum.
"Kakak cari sendiri kitab beliau. Di jilid pertama imam Jalaluddin Suyuti menukil riwayat dari Umar bin Khattab yang mengatakan, Al-Qur'an memiliki 1.027.000 (satu juta dua puluh tujuh ribu) kata (ahruf). Bukankah itu telah terjadi pengurangan besar-besaran, sebab Al-Qur'an sekarang tidak sampai sepertiganya?."
"Itu pasti riwayat palsu, tidak shahih, dan tidak mungkin bisa diterima." Ucapku sengit.
"Iya seperti itu juga sikap kami, jika Syiah dituduh meyakini terjadi perubahan pada Al-Qur'an hanya karena alasan riwayat yang menyatakan itu terdapat pada kitab yang diakui keberadaannya oleh Syiah. Kalau tidak percaya, kakak bisa mengecek sendiri keberadaan riwayat tersebut."
Tanpa memberi kesempatan bicara, ia melanjutkan, "Keberadaan riwayat-riwayat yang menunjukkan keraguan terhadap keaslian Al-Qur'an terdapat dalam kitab-kitab hadits Ahlus Sunnah dan Syiah. Ulama-ulama Syiah telah berkali-kali melakukan bantahan dan menyatakan penolakan terhadap keberadaan riwayat-riwayat tersebut. Misalnya Syaikh Rasul Ja'farian yang menulis buku Menolak Isu Perubahan Al-Qur'an. Dan kitab Shiyanah Al-Qur'an min Ta'arif, keterjagaan Al-Qur'an dari Perubahan oleh Prof. Dr. Muhammad Hadi Ma'rifat. Dan saya kira kehadiran dua buku itu sudah lebih dari cukup untuk menjawab tuduhan yang senantiasa dilontarkan kepada Syiah, bahwa Syiah meyakini terjadi perubahan pada Al-Qur'an atau tuduhan yang lebih keji lagi, umat Syiah memiliki mushaf lain yang berbeda dengan yang dibaca oleh umat Islam lainnya."
Saya mengembalikan buku yang tadi saya pinjam. Saya tidak punya argumen apa-apa terhadap yang baru saja dikatakannya.
"Kakak punya Shahih Bukhari di rumah?" tanyanya sembari memasukkan kembali bukunya.
"Tidak, kenapa?" saya tidak menyangka ia akan menanyakan itu. Ada rasa malu yang begitu saja menyeruak.
"Tuh kan, jadi tidak lucu, jika seorang aktivis muslim yang selama ini banyak bicara mengenai sunnah di mimbar-mimbar tapi ternyata kitab terpopuler dikalangan Ahlus Sunnah sendiri tidak dimilikinya." Katanya menyindir.
"Tapi saya pernah membaca punya teman." Ucapku membela diri.
"Tapi apa dibaca semuanya kak? Tidak kan? Kalaupun membaca terjemahannya biasanya hanya ringkasan atau hadits-hadits pilihan bukan keseluruhannya."
"Apa maksudmu menanyakan ini?" aku merasa terpojok.
"Perlu kakak tahu, dalam Shahih Bukhari sendiri ada riwayat yang ketika membacanya, kita bisa meragukan orisinalitas Al-Qur'an." katanya tersenyum.
Saya menggeleng tidak percaya. "Sebut bab dan halaman berapa Rin nanti saya akan cek. Saya akan buktikan, kamu hanya sedang mengigau…" ucapku sinis. Saya benar-benar tidak bisa menerima apa yang baru saja diucapkannya.
"Saya tidak perlu menyebutkan. Yang pasti riwayat itu benar-benar ada. Saya cuman heran sama kakak. Kitab paling masyhur dikalangan Ahlus Sunnah sendiri kakak tidak begitu menguasai bahkan tidak memilikinya sendiri, tetapi sudah berbicara mengenai kesalahan dan kesesatan mazhab lain dimana-mana."
"Apa maksudmu? Apa seseorang harus benar-benar menjadi ahli agama dulu yang menguasai semua isi kitab-kitab Islam untuk kemudian bisa membedakan yang hak dan yang batil?" ucapku tidak kalah sengit. Saya benar-benar tersinggung.
"Maksud saya, kakak mengumbar dimana-mana apa yang kakak sebut kesesatan Syiah, padahal apa yang dituduhkan itu juga terdapat pada tubuh Ahlus Sunnah sendiri. Bedanya Syiah telah mengklarifikasi dan membantah, sementara ulama Ahlus Sunnah belum. Itu sama halnya melempari rumah orang lain dengan batu, padahal rumah sendiri terbuat dari kaca." Ucapnya tidak kalah sengit.
Saya semakin naik pitam menghadapi perempuan Syiah ini. Tapi tiba-tiba saya tersentak. Saya baru sadar, dari tadi kami telah menjadi tontonan beberapa orang. Amarah saya dikalahkan oleh rasa kikuk. Beberapa pasang mata memandangi kami. Saya langsung berharap mereka menyangka kami kakak-adik atau suami-istri sekalian. Saya tidak menyangka, keluar dari kost tadi pagi semangat keislamanku menggebu-gebu, namun tekadku menjaga pandangan dan kehormatan diri ini runtuh berkeping-keping begitu bertemu dengan perempuan Syiah ini. Bukan hanya mata yang saya kotori hari ini, tapi juga hati, termasuk kemuliaan gamis yang kukenakan. Saya bukan hanya tidak menjaga mata, tapi juga malah telah berdekat-dekatan dengan perempuan yang bukan muhrimku.
"Maaf kak, saya duluan, kita beda angkutan umum, saya mau mampir ke rumah teman dulu." Sepertinya dia sadar suasananya. "Assalamu 'alaikum." Ia bergegas menjauh.
"Iya, wa alaikum salam." Dengan nada berat saya membalas.
Beberapa menit kemudian, saya sudah berada di dalam mikrolet. Kepalaku penuh dengan flash back pertemuan dan pembicangan tadi dengan Arini. Argumen dan wajahnya silih berganti membayangiku. Benarkah ada riwayat dalam Shahih Bukhari yang menyatakan Al-Qur'an mengalami perubahan? Akh tidak mungkin.
Benar-benar sulit dipercaya. Imam Bukhari telah melakukan penyitiran hadits yang sedemikian ketat. Dan kalaupun benar-benar ada, tentu akan sulit untuk melemahkan kedudukan riwayatnya atau berargumen sebagaimana Arini tadi. Ahlus Sunnah mengakui semua riwayat yang tertulis dalam Shahih Bukhari semuanya mutawatir dan diterima sebagai hadits shahih. Bagaimana membantahnya jika riwayat itu benar-benar ada?. Akh tentu ulama punya penjelasan mengenai keberadaan riwayat tersebut. Saya hanya masih perlu banyak belajar.
Kini wajah Arini yang membentang membayang. Senyumnya, suaranya…
Aarrrrrgghhhhhh….*****
[islamic-sources/ismail-page]