Nafas-Nafas Takdir
Sesosok sakit berdiri dan datang padaku dengan menampakkan mata merah membara, berwajah cemberut laksana mendung hitam di langit yang hendak jatuh menimpa bumi, cakar-cakarnya tajam mencengkram jasadku yang rapuh, dengan kengkuhannya hedak membanting diriku yang telah lemah, membujur di ranjang kekalahan, kubisikkan kepada jiwaku…
“Wahai sakit aku tak lagi takut padamu..!!”
Sakit pun tersenyum mencibir, seakan tak yakin pada kata-kataku, kemudian sayap-sayap alam bawah sadarku menerbangkan ruhku ke angkasa menggapai langit tinggi, tatapan kedua mataku masih bisa menatap drama-drama kehidupan yang tergelar di muka bumi.
Namun ada kabut awan hitam tipis berjalan digiring angin lembut hendak menyembunyikan dari pandangan kedua mataku yang sedikit kabur, Seketika aku masih bisa melihat pagelaran teater kehidupan itu…
Ku lihat samar-samar dimana padang rumput yang menghijau segar dipoles dengan hitam-hitam angkara, kemudian manusia menghilangkannya dengan asap-asap kerakusan…
Disana tampak membentang jalan raya keinginan yang membujur jauh tanpa batas selain dengan hukum-hukum agama yang tak bisa diterima, karena hati digusur desakan nafsu setan yang membuta.
Disana berdiri gedung-gedung keangkuhan yang tinggi menjulang menggapai angkasa, tapi meyembunyikan fakir miskin di bawah ketiak tangan kesombongan, seakan tak mau mengakui keberadaan mereka.
Ketika kabut awan hitam itu berlalu dari tatapan kedua mataku, tampak dengan jelas dari sebuah gedung parlemen yang megah, serombongan orang-orang gemuk dengan baju halus, berjas mahal yang dijahit melalui tangan orang-orang miskin, berdasi yang meneteskan air mata duka nestapa,
Mereka memakan bangkai busuk dengan rakus dan terlihat nikmat, sedangkan dari tangannya yang lain mereka melemparkan secuil daging segar ke sekelompok orang-orang miskin dan lemah sambil berteriak…
“Terimalah ini bagian kalian semua…!!”
“Terimalah ini bagian kalian semua…!!”
Setelah orang-orang miskin berebut, kemudian mereka tertawa terbahak-bahak hingga terlihat dari dalam kerongkongan mereka seperti gua stalaktit,
Berjajarkan dari gedung itu, menampak sebuah bangunan yang mirip dengan koloseum, dimana orang-orang tinggi besar dan kuat berkumpul untuk memukuli orang-orang lemah lagi kerempeng,
Dan aku pun menggeleng-gelengkan kepalaku beberapa kali sambil berbisik lembut kepada sukmaku…
“Wahai kehidupan… Mengapa kamu ada untuk menggelar drama-drama kekerasan..?, Dimanakah kau meletakkan kedamaian dan kasih sayang..?”
Kemudian kucari dan kulihat di balik rumah-rumah serta gedung-gedung di tengah kota, dan sekarang coba perhatikan, di tengah kota yang malamnya bagaikan kerlap-kerlip bintang bertebaran,
Dari dalam tempat hiburan yang riuh, para geisha asik bernyanyi dan berlenggak-lenggok menari sambil menenggak segelas anggur masa muda, dengan mendentingkan gelasnya hingga mereka mabuk dan tak sadarkan diri.
Sehingga kekosongan gelas yang telah ambruk mengolok-olok penyesalan mereka, akan tetapi..
“Mengapa mereka tetap mengulanginya setiap malam tiba..?”
Seakan hati mereka terkunci mati dari petunjuk Illahi..
“Dan disana wahai kehidupan…!”
Sambil tanganku menunjuk ke sebuah menara yang menyerupai Eufil atau lebih mirip dengan patung Liberty yang tinggi menjulang…
“Ketika para pemikir dan ilmuwan mendirikan menara-menara kesombongan dengan ilmu dan tekhnologi, sepertinya mereka ingin menyaingi kekuatan Tuhan semesta alam.
“Namun… Mereka tak menyadari. bahwa kesombongan telah melemahkan diri mereka sendiri, serta mereka baru menyadari saat kekuatan mereka telah terkulai lemah dimakan usia kedunguan hati…”
“Dan kehidupan mari kita masuk ke dalam gedung yang bergambar timbangan itu..!”
“Dari dalam sana dicoba ditegakkan hukum–hukum keadilan dari peradapan manusia, karena adanya kesalahan manusia, tetapi ternyata hukum hanya berlaku untuk orang-orang lemah lagi miskin,..”
“Sedangkan para hakim dan penegak hukum bersuara lemah lembut, serta mengedip-ngedipkan mata untuk para durjana yang menutup mukanya dengan tumpukan harta benda dan emas permata, para hakim dan penegak hukum itu menentukan keputusan menyalahi keadilan dan hati nurani…”
“Selebihnya para durjana menertawakan mereka hingga terkekeh-kekeh, akan tetapi kehidupan,
Mari kita melihat ke sudut sana, dari sebuah gubug di pojok desa terpencil yang sepi, ku lihat seorang bapak tua hidup miskin bersama istri dan seorang anaknya yang menggembalakan kambing setiap sore tiba, Ketika matahari menyimbak pagi dengan cahayanya, dia bertasbih mengingat Robb yang Agung, saat malam mulai melarut, mereka bangkit di dingin gelap, mengalirkan air mata suci untuk merukuk sujud dalam tasbih damai.
Ke dalam dada kehidupan kubisikkan kembali…
“Wahai Kehidupan… Mengapa engkau asingkan mereka..?”
“Wahai Kehidupan…Mengapa engkau singkirkan mereka…?”
Dan akhirnya kehidupan menjawab…
“Hai insan… Inilah diriku… Inilah diriku..!!”
“Ikutlah denganku, ku berikan setiap apa yang kau mau dan inginkan, puaskanlah hawa nafsumu..!!”
Seketika aku berkata kepada kehidupan..
“Tidak-tidak… Wahai kehidupan…”
“Engkau memenjarakan aku jeruji api panas hawa nafsu,”
“Aku sudah lelah, keringatku telah mengering, air mataku telah terkuras habis, tulang-tulangku keropos, kedua kakiku memar..”
“Dan sekarang lihatlah pedang-pedang keinginan melukai tubuhku hingga berdarah-darah”
“Aku akan meninggalkanmu, akan mencari negeri yang penuh dengan kebebasan dan kenikmatan abadi…”
“Meskipun aku harus mengarungi aliran deras samudera keringat perjuangan panjangku yang melelahkan…!!”
Kehidupanpun kembali menjawab..
“Kamu yakin dengan semua itu, karena diatas sana ada kobaran api dan jernihnya air, yang tak terbatas oleh apapun. Sedangkan kamu harus melewati jembatan yang lebih sulit dari bentangan sehelai rambut…!!”
Aku pun tetap yakin melangkah meninggalkan kehidupan, sehingga serasa aku tiba pada sebuah dipan yang tinggi dengan permadani hijau selembut kain beludru, meski mataku berat untuk dibuka nemun kulit dan pendengaranku bisa merasakan sesuatu. Terdengar dari telingaku suara perempuan bercakap-cakap yang aku sangat jelas mendengarnya.
Satu diantaranya bertanya..
“Apakah dia anak manusia atau hamba Tuhan yang lain..?”
Perempuan lain lalu menjawab..
“Coba perhatikan seksama, dia anak manusia..!!”
“Apakah dia masih hidup atau sudah tak bernyawa..?”
“Coba kita tekan nadi di lengan, atau kita rasakan desah nafasnya, atau kita coba raba detak jantungnya!!”
“Hei… Lihatlah dia masih hidup..!!”
“Masih hidup..! Mengapa dia kamari..?, Disini kan bukan tempatnya..?”
Beberapa saat mereka mendekat, serta mengamati seksama ke sosok tubuhku yang terbaring membujur lemah lunglai tak berdaya.
“Adakah dari kita yang mengenalinya?”
Mereka saling berpandangan sambil menarik nafas, satu di antaranya mereka tampak terkejut serta bersuara…
“Sepertinya aku mengenali laki-laki tua ini, mungkinkah dia Zulfikar Ali..? Suamiku dahulu..?”
Lembut suara itu aku mengenalinya, ya itu suara Ania Revita, aku berusaha bangkit untuk terbangun dan membuka mataku yang berat. Tapi aku benar-benar tak sanggup, Kemudian lembut aku mendengar kembali suara yang mirip Ania Revita…
“Jika engkau benar suamiku, bangunlah aku akan berkemas menyiapkan makan untuk berbuka puasa sore nanti..!!”
Mendengar suara Ania Revita aku berusaha mengangkat semua tenaga yang tersisa, mencoba memanggil nama Ana Revita.
“Ania… Ania… Ania…”
Bibirku bergerak lembut mencoba memanggil nama Ania namun seketika aku tersadar dengan diriku, aku terkulai lemah di ruang keluarga dan sekelilingku Aura istriku, anak-anakku dan tetangga mengelilingiku, bentangan sayap-sayap alam sadar menerbangkanku menuju alam nyataku kembali, pelan terdengar suara Aura memanggilku.
“Pak… Pak… Pak… Bangun pak… Sadar pak..!!”
Dari mereka ada yang memegang nadi di lengan, detak jantung dan merasakan desah nafasku.
“Uhk… uhk…!!”
Aku terbatuk pelan lirih dan benar-benar mulai tersadar.
“Istriku, apa yang terjadi..?, Dimana bapak..?”
“Paak… Bangunlah… Bapak di rumah ini aku pak, Aura istrimu, dan lihatlah pak ini Husein dan Az Zahra..!!”
Kedua mataku pun mengamati mereka, rupanya aku pingsan karena ada rasa nyeri di dalam dada sebelah kanan ku, yang kusimpan dan kusembunyikan dari keluargaku. Kurang lebih satu jam aku tak sadarkan diri, walaupun kadang rasa nyeri itu menghilang dengan sendirinya. Aku pun mencoba bangkit dan Az Zahra anak bungsuku mengambilkan padaku segelas air putih hangat.
Aku meminumnya dan mencoba duduk tenang dengan sedikit dibantu untuk berjalan ke ruang tamu, dua orang tetanggaku telah pulang dan kami pun berada di ruang tamu.
Aku sedikit lemah terduduk di kursi ruang tamu, tak berapa saat kondisiku membaik seiring adzan magrib yang berkumandang dari arah masjid, aku dan Husein bergegas ke masjid menunaikan sholat jama’ah.
Ketika malam mulai datang pada kami, aku kumpulkan anak dan istriku di ruang keluarga di atas sebuah tikar, sholat isak telah usai antara 1 jam yang lalu, Husein dan Az Zahra baru saja belajar, sedangkan aku dan Aura istriku mengaji Al-quran beberapa saat, dari dalam ruang keluarga itu aku membuka lembaran kisah-kisah kepada anak dan istriku tentang sahabat-sahabat nabi pilihan takdir pilihan Allah Azza Wajalla.
“Husein… Az Zahra…”
Kusentuh rambut dan ku cium wajah mereka bergiliran, aku pun mengisahkan tentang para sahabat nabi Muhammad SAW, Aura istriku turut memperhatikan dari sebelahku.
“Naaak… Pada zaman permulaan penyebaran agama islam dari mekah, ada seorang sahabat nabi yang tampan dari keluarga kaya lagi terhormat, selalu mengenakan pakaian bagus dan harum minyak wangi, sebelum beliau menganut agama islam adalah seorang pemuda yang membuat iri pemuda lain, dalam berbagai hal, dialah sahabat mulia Mushab bin Umair, namun setelah beliau memeluk agama islam situasi menjadi kontras, keluarga tak menyetujui langkahnya karena keluarga umair adalah termasuk salah satu pemuka kaum kafir Quraisy.
Zahra pun bertanya dengan lembut…
“Mengapa orang tuanya tidak menyetujuinya pak..?”
“Zahra… Pada awal penyebaran agama islam, islam adalah ajaran agama yang aneh dan suatu saat akan kembali menjadi asing, begitu sabda nabi kita Muhammad SAW”
Akhirnya Mushaib bin Umair pun meninggalkan keluarganya, ibunya sangat marah dan menentang tindakan Mushab, hingga dia bertekat tak akan makan dan minum agar mushab kambali kepada ajaran nenek moyangnya, yaitu menyembah berhala.
Hingga ibunya jatuh sakit, dan mushab pun mendengar berita itu hingga ia menjenguk dan berkunjung pada ibunya.
“Husein… Zahra… Ucapan mushab pada waktu itu begitu menyentuh, seumpama telinga bumi, atau hati lautan dan kokoh dada gunung-gunung meresapinya ia pasti bergetar mendengarnya..!!”
“Duhai ibundaku yang kusayangi, Seandainya ibu mempunyai 1000 nyawa dan Alloh SWT, mengambil nyawa ibunda satu persatu, hingga habislah nyawa ibunda ketahuilah bahwa aku takkan pernah meninggalkan agama islam yang lurus ini, sampai Alloh memisahkan nyawa dari jasadku,…!”
Pada tekat yang sama-sama kuat itu, akhirnya keluarga umaeir melepaskan Mushab untuk bergabung bersaama perjuangan Rosulullah Muhammad SAW, dalam membela serta menegakan ajaran tauhid ajaran yang disampaikan oleh nabi Ibrahim juga nabi Ismail as, oleh Rosulullah SAW beliaulah yang diaangkat menjadi duta islam yang pertama, dari kaum muhajirin untuk kaum anshor, dan beliau Mshab bin Umair merupakan salah satu sahabat terbaik, yang gugur sebagai syuhada’ perang badar yang dahsyat, dia yang mengangkat bendera sebagai panglima diperang badar hingga kalimat yang keluar dari ucapannya diabadikan dalam satu ayat al quran yang mulia, dan sekarang coba saksikan wahai anak-anak juga istriku.
Mushab gugur bersimbah darah dengan kedua lengan yang terputus, sedangkan kemuliaan selalu menaunginya bersama tetesan darah yang memancar dari jasadnya itu, kemudian setelah gugur di medan badar beliau didoakan serta disholatkan langsung oleh Rosulullah SAW, dengan berkafan sehelai kain burdah yang kasar, jika kain itu ditarik naik menutupi kepalanya maka sebagian kaki akan terlihat, namun sebaliknya jika kain burdah itu ditarik ke arah kakinya maka wajahnya yang bercahaya akan terlihat jelas, akhirnya Rosulullah SAW memerintahkan agar ditutuplah wajahnya dan sebagian kaki yang terlihat ditutup dengan rumput idzikir dari medan badar yang terkenal mulia itu, anak-anak dan istriku dialah satu nafas termulia bagi umat islam dimuka bumi ini dari zaman Rosulullah SAW, hingga bumi ini berakhir dan semoga Allah SWT, berkenan menerima di sisinya dalam kemuliaan yang luas…
Husein, Az Zahra dan istriku Aura tampak mendengarkan dengan tegang menyimak kisah Mushab bin Umair, dan Zahrapun kembali bertanya…
“Lho pak… Mengapa Mushab membantah perintah ibunya, apa beliau tidak berdosa karenanya…?”
Kutatap bening polos mata serta wajah cantik Zahra, kuusap sebagian rambut kepalanya, sambil kujawab penuh kekuatan dan menguatkan..
“Zahra… Jika orangtua mengajak untuk menyekutukan Allah ataupun perbuatan yang dilarang oleh-Nya, maka janganlah engkau mengikuti ajakannya, namun pergaulilah keduanya dengan baik, Al quran mengajarkan begitu dan nabi kita Ibrahim as juga pernah melakukan hal itu kepada bapaknya, mengerti sayangku…!”
“Anak-anak dan istrikuu…!”
“Ada lagi satu kisah sahabat nabi yang telah diplih takdir Allah SWT, sebagai tamsil bagi tegapnya iman dan perjaungannya yang panjang dalam mencari kebenaran keyakinan iman, beliaulah sahabat mulia Salman Alfarisi, nama itu kupilih dan bapak gunakan sebagai satu nama buat kakakmu, siapakah sahabat mulia ini, beginilah kisahnya,…”
Kutarik nafas dalam hingga menyentuh dalamnya samudera batinku yang terdalam, kembali aku berkisah tentang sahabat mulia Salman Al farisi…
“Beliaulah salah satu umat terbaik yang di abadikan sebagai salah satu umat yang berhasil mempelajari empat kitab, yang diyakini dimuka bumi, mulai ia sebagai seorang penyembah api, hingga ia mempelajari taurot, mendalami kitab injil nasarani, dan akhirnya beliau masuk islam di tahun ke-7 hijriyah serta mempelajari Al Qur’an bersama sama para sahabat nabi dan beliau termasuk umat yang memahami isi dari Al Qur’an mulia…”
Giliran Husein Ali Zein yang bertanya…
“Mengapa bisa sahabat Salman melakukan hal itu pak..?”
Sebentar kulirik wajah Husein kuperhatikan rasa keingin tahuannya, dan aku pun segera melanjutkan kisah sahabat Salman Al farisi…
“Nak… Salman Al farisi terlahir dari sebuah keluarga kaya yang terhormat, bapaknya seorang bupati dari kerajaan besar Persia, dari kanak kanak beliau dididik untuk taat pada ajaran nenek moyangnya yaitu merupakan kaum penyembah api, dia pun diangkat menjadi penjaga api penyembahan, hingga suatu saat ketika ia telah dewasa bapaknya menyuruh ia untuk meninjau suatu wilyah yang jauh, dalam perjalanannya itu dia menemukan suatu kaum yang melakuakn ibadah yang berbeda dengan kebiasaan nenek moyangnya, sehingga Salman tertarik dan mengamati seksama orang-orang itu, ternyata mereka itu umat nasrani penganut kitab injil.
Salman pun tertarik dan belajar bergabung bersama mereka karena ia merasa bahwa umat ini lebih baik dari agama bapak sekaligus nenek moyangnya, ketika bapaknya mengetahui hal tersebut, bapaknya begitu marah serta membujuk Salman agar kembali pada ajaran nenek moyangnya, akan tetapi karena keyakinannya itu Salman menolak akan ajakan orang tuanya, sehingga dijebloskanlah Salman ke dalam penjara oleh bapaknya sendiri, yang pada akhirnya karena keyakinannya itu Salman berlari dari penjara dan meninggalkan keluarganya untuk bergabung dengan seorang pendeta nasrani di kotanya tersebut, namun saat pendeta yang dikutinya itu telah lanjut usia, sebelum menghembuskan nafas yang terakhirnya sang pendeta berpesan kepada Salman, agar Salman pergi ke suatu kota bernama Mosul untuk mencari seorang pendeta saleh yang sepemikiran dengannya,…”
“Anak-anaku…!”
“Perjalanan dan cobaan Salman begitu panjang, Salman pun menuruti nasehat pendeta itu, ia segera bergegas berangkat kekota Mosul untuk menemui dan belajar kitab injil kepada pendeta yang telah ditunjukan oleh gurunya tersebut, akan tetapi ternyata pendeta yang berada di kota Mosul itu juga sudah tua, tak berapa saat salman berbakti dan belajar di kota Mosul pendeta itu juga sudah sakit sakitan, dan ketika telah tiba waktunya sang pendeta kehadapan Rabbnya beliau berpesan kembali kepada Salman, agar salman mencari dan menemui seorang sahabatnya yang segaris pemikiran dan seiman dengannya, yang ia kenal baik akan watak perilaku dari temannya itu beliau ada di kota Isfahan, begitulah anak-anaku beliau sahabat mulia Salman Alfarisi berpindah dari satu kota kekota lain demi sebuah iman yang tegak…”
“Anak-anak dan istriku…!”
“Memang keimanan dan keyakinan membutuhkan bukti dan pengurbanan, seperti api yang akan melebur batangan emas sehingga menjadikannya lebih berharga… ketika saat-saat terakhir Salman belajar dan hidup bersama pendeta saleh di Isfahan, pendeta itu juga sudah seusia dengan yang lain, sehingga di penghujung usianya dia berkali-kali berpesan kepada Salman,
“Salman anakuu… Menurut ilmu kitab yang bapak pelajari, dan juga tanda-tanda alam, karena menurut riwayat para ahli kitab, baik yahudi ataupun nasrani mengenal nabi Muhammad SAW, seperti mengenali anak-anak mereka sendiri, menurut pengetahuanku saat ini telah turun ke dunia seorang Rosul yang telah terang dijelaskan dalam kitab baik injil maupun taurat, dia mempunyai ciri-ciri yang telah jelas disebutkan, Rosul mulia itu akan terlahir pada suatu daerah yang berbatu-batu, dan pada tempat itu banyak tumbuh pohon kurma, beliau yang mulia akan mendapatkan perlawanan yang dahsyat dari umatnya, sedangkan ia sabar dan tabah serta mempunyai ciri-ciri yang jelas disebutkan dalam al kitab…
“Beliau menerima sedekah dan tak makan dari harta benda yang disedekahkan itu…”
“Beliau yang mulia menerima hadiah dan akan memakan hadiah itu bersama umatnya…”
“Sedangkan yang ketiga sang nabi itu mempunyai tanda kenabian pada bahu sebelah kanan, aku pun berharap dan berpesan padamu, jika engkau bertemu dengan orang yang kusebutkan tanda tandanya itu, supaya Salman menyampaikan salamnya pada rosul yang disebut, aku sarankan padamu nak segeralah engkau bergabung dengan mengikuti ajaran agamanya yang luhur, bergabunglah dengan perjuangannya, walaupun perjuangan nabi itu begitu sulit serta menyakitkan, meski harus engkau menumpahkan darah dengan seribu luka anakuu…”
“Wah… wah… wah… Sangat panjang, sulit dan melelahkan ya pak, begitu hebatnya perjuangan Salman Al farisi…”
Zahrapun kembali menimpali kisah dari bapaknya yang tampak begitu serius,
“Anak-anakku… Memang keimanan setiap insan pasti akan mendapatkan ujian, maka bersabar berhati-hati, dan selalulah meminta pertolongan dari-Nya, sebab keimanan itu takkan bisa dibeli dengan harta, emas permata ataupun ditukar dengan pangkat serta jabatan…”
“Nak…Tak ada yang terjadi secara kebetulan di atas muka bumi ini, Allah SWT menentukan jalan panjang Salman Al farisi sebagai contoh perjuangan mulia, dalam kisah berikutnya setelah sang pendeta meninggal dunia, Salman ditangkap oleh para perampok, serta dibawa ke kota Madinah oleh perampok-perampok yahudi itu, ia diperdagangkan di pasar budak, dan Salman pun di beli untuk dipekerjakan oleh seorang yahudi di kota Madinah, antara tahun ke enam atau ke tujuh hijriyah, Salman pun diperkerjakan sebagai perawat juga pemetik buah kurma di Madinah…”
“Ketika di Madinah terdengar kabar tentang seorang nabi yang diperangi umatnya sehingga sang nabi harus hijrah ke kota Madinah, Salman begitu penasaran, akan tetapi sang majikan tak mengijinkan Salman untuk bertemu dengan sang nabi tersebut, namun Salman mencuri-curi waktu untuk dapat menjumpainya, Salman pun menyiapkan kurma untuk diberikan kepada nabi sebagai sedekah, dan di hari lain Salman membawa dan menyerahkan segantang buah kurma yang ia bawa sebagai sedekah, nabi pun menerima kepada orang di sekelilingnya dia serahkan kurma itu dan tak sedikitpun nabi memakan dari kurma itu, dalam hati Salman berkata nah ini salah satu tanda yang disebutkan oleh sang pendeta…”
Di lain waktu Salman datang menghadap nabi, dengan segantang kurma kembali namun kali ini Salman memberikan sebagai hadiah, nabi pun menerima sehingga nabi pun berkata..
“Mari kita semua membaca basmallah…”
Kemudian mereka semua makan bersama dari kurma itu, setelah mendapati dua peristiwa tersebut Salman pun mencoba mengamati dan mencoba mencari sebuah tanda kenabian pada bahu dari nabi yang disebut oleh sang pendeta, setelah mendapatkan apa yang ia cari segera dia membaca syahadat serta memeluk agama islam di hadapan Rosulullah Muhammad SAW, memeluk agama islam mempelajari serta mendalami Al quran bersama para sahabat nabi yang lain…”
“Anakku… Begitulah beliau Salman Al farisi masuk agama islam, dengan perjalanan panjang yang amat sulit dan melelehkan, dan segera dia pun bergabung dengan perjuangan panjang Rasulullah dalam menegakkan panji-panji ketauhidan, Salmanlah orang yang mempunyai ide untuk menggali parit di luar kota madinah saat Madinah digempur oleh Abu Sufyan beserta para sekutunya, saat terjadi dalam sejarah disebut dengan perang khandak atau perang parit…”
“Nak… Sahabat Salman turut dalam semua medan perang jihad fisabilillah, setelah ia masuk islam dan bergabung dengan rosul, hingga saat islam mengalami kejayaan dan panji-panjinya berkibar ke seluruh penjuru dunia…”
“Dan mari kita tengok sebentar kisah menyentuh dari kepemimpinannya, pada saat amirul mukminin dipegang oleh kholifah Umar Ibnul Khottob al faruq, beliau diangkat oleh kholifah untuk menjadi gubernur di kota Kufah, dan kesederhanaan juga kepribadian mulia ditunjukan dari sikap dan tingkah lakunya, ia tak ingin menumpuk banyaknya harta benda, memegang tampuk kepemimpinan sebagai sebuah amanah yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Robb yang agung, hidup miskin sebagai penganyam keranjang buah kurma di sela kepemimpinannya, sedangkan gajinya disedekahkan untuk fakir miskin dari rakyatnya,..”
“Anak anak dan istriku… Sungguh jiwa besar seorang pemimpin yang sulit dicari bandingan di muka bumi, seakan hanya merupakan sebuah dongeng hayalan pengantar tidur bagi anak-anak…”
“Sebagai seorang gubernur beliau belanja sendiri ke pasar dengan keranjang mengelayut di pundak, pakainnya tak lebih dari seorang petani miskin yang kusam lusuh dengan tambalan, dan perhatikan peristiwa dengan pedagang buah tien berikut ini anakku…
Ketika Salman berpapasan dengan seorang pedagang buah tien dan kurma dalam pikulan dengan dua buah keranjang, pedagang tadi menyuruh Salman untuk memikul buah dagangannya, dengan senang hati Salman melakukan semuanya, dia tanggalkan semua pangkat, jabatan, dia banting kesombongan dan kehormatan seorang pejabat, dia injak dengan telapak kakinya yang penuh berkah lagi mulia itu, dia pikul beban buah dagangan dengan pundaknya sampai tujuan pedagang sedangkan berpasang-pasang mata menatapnya pilu, melihat amirnya yang melakukan pekerjaan rakyatnya…”
“Dan yang terakhir mari kita coba mengenang kisah ketika Rabbnya yang pengasih memanggil pulang dalam negeri keabadian dengan tenang pemimpin yang sangat mulia ini…
“Dari dalam sebuah rumah kecil sederhana, yang tak ada lagi barang berharga dari dalamnya, ketika tiba saat-saat terakhir dari usianya, ia kumpulkan anak-anak beseerta istrinya tersayang, kemudian lembut berkata kepada mereka diiringi bening linangan airmatanya yang suci..
“Wahai anak-anak dan istriku, coba cari dan temukanlah dari dalam rumah ini, adakah masih tersisa dari barang ataupun harta benda yang masih bisa disedekahkan, maka segera sedekahkanlah, karena sekarang aku telah lemah, serta akan datang bertamu padaku sesosok makluk yang tak memakan suatu apa, tetapi makluk itu gemar akan wewangian…!”
Kemudian beliau memanggil istrinya…
“Istriku… dari dalam sebuah kotak kecil itu, ada sebotol kecil minyak wangi yang kuperoleh saat pembebasan Khaibar bersama sahabatku Ali Bin Abi Tholib, ambil dan kacaulah jari-jemarimu dalam sebuah cangkir kecil dengan air, kemudan percikan ke sekitar tubuhku, lalu tinggalkan aku dalam beberapa saat untuk sholat…!”
“Aku titipkan engkau istri dan anak-anak pada Rabb Azza wa jalla, kuatkan iman serta keyakinan kalian…!”
Istrinya melakukan apa yang diperintahkan Salman Al farisi, tak berapa saat kemudian salman pun terdiam, Dia telah berpulang kembali kesisi Rabb yang pengasih dan menaunginya dalam keluasan ridho…
“Sungguh anak-anak dan istriku… Peristiwa yang mengharu birukan sejarah dunia… Aku pun tak bisa menahan lelehan bening hangat airmataku, kupeluk istri dan kedua anakku bergantian…
“Anak-anak dan istriku… Masih banyak kisah kisah lain yang perlu kalian ketahui dan pelajari, dan meyakininya untuk memperkuat iman kalian… Saat ini bapakmu Zulfikar Ali, telah rapuh dan tak banyak waktu lagi yang akan bapak lewati di dalam dunia yang fana’ ini… Kuatkan selalu iman dan ketakwaan kalian dan kuminta maafkan bapakmu jika banyak berbuat kesalahan dalam membimbing kalian semua semoga Allah SWT mengampuni kita semua…”
Malam pun mulai mulai menyeparuh kami semua larut dalam dekapan dingin gelap dengan irama nyanyian serangga malam yang melebur lelah kami dalam alunan mimpi-mimpi malam..
NOTE:
Penggalan kisah dikutip dari sebuah buku sejarah islam “ROJULAN KHAULA ROSUL”
Kaum laki-laki di sekitar Rosulullah SAW, karya Khalid Muhammad Khalid, juga terkisah dalam buku 101 sahabat Nabi.
Cerpen Karangan: Zulfikar Ali Swar