Buya Hamka Pejuang yang Penakut

Siapa yang mengenal Abdul Malik Karim Amrullah ? mungkin tidak banyak. Tetapi jika kita bertanya , siapa yang mengenal Buya Hamka, Insya Allah hampir semua orang mengenalnya, baik yang sekarang masih remaja hingga mereka yang sudah tua renta. Beliau memang dikenal Sebagai Ulama yang istiqomah , turut berjuang memerdekakan Indonesia , dan menjadi insiator sekaligus ketua Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Masa mudanya, Hamka adalah salah satu pejuang kemerdekaan terutama di daerah Sumatra. Beliau adalah pimpinan FPN ( Front Pertahanan Nasional) dan Ketua BPNK (Barisan Pengawas Negari dan Kota). Ketika masa mempertahankan kemerdekaan Hamka Rutin pindah dari satu daerah ke daerah lainya melewati hutan belantara yang dipenuhi oleh binatang buas. Seperti anak minangkabau lainya, Hamkapun pernah mempelajari silat minang hingga mahir. Pejuang Kemerdekaan dengan kekampuan Silat Minang tentu adalah seorang yang Pemberani. Namun tak disangka ternyata Hamka adalah orang yang sangat penakut. Dalam buku “Ayah” anak beliau Irfan Hamka Mengisahkan betapa penakutnya Seorang Hamka. Setelah melaksanakan shalat isya di Kapal Mae Abeto tiba – tibar terdengar suara keras melalui megafon ( Kapal Mae Abeto adalah kapal yang ditumpangi Hamka meunju tanah suci untuk Melaksanakan Haji Bersama Keluarga). “Siapa yang kurang ajar menyuruh melaksanakan Sembahyang tanpa pemberitahuan dari saya?” kata orang yang suaranya terdengar keras melalui megafon tersebut. Kontan saja terdengan suara gemuruh dari para jemaah setelah mendengar suara orang itu, seakan-akan memprotes. Ayah (Hamka) yang masih duduk menghadap kiblat, langsung berdiri dan berkata lebih keras dari orang yang marah tadi. “Wa’ang yang kurang ajar? Apak Wa’ang kurang ajar ! Niniek- niniek Wa’ang kurang ajar ka sadonyo! ( Kamu yang kurang ajar! Ayah kamu kurang ajar ! Nenek moyang kamu kurang ajar semuanya!) Mana yang kami dahulukan, menjalankan perintah Allah, apa menanti perintah dari kamu?” dengan suara yang tetap nyaring, Ayah menghardik orang yang baru saja mengeluarkan kata- kata kasar tadi. Apakah Tampak Hamka seorang Penakut dalam kisah diatas ? sikap tegas beliau dalam menegur kesombongan orang tersebut memang terlihat sebagai bentuk keberanian, namun dibalik itu semua sesungguhnya sikap tersebut dilandasi atas dasar takut. Takut Terhadap Allah SWT. Hamka lebih takut terhadap Allah dibanding dengan manusia . Dalam Bab Lain dikisahkan, Setelah istri Buya Hamka meninggal. Hamka semakin sering membaca Al – Qur’an sebelum tidur. Hamka setiap harinya mampu membaca Qur’an 5-6 Jam sehari. Dalam hal kuatnya Hamka membaca Qur’an suatu waktu pernah ditanyakan oleh anaknya. “Ayah, kuat sekali ayah membaca Al-Qur’an?” tanyaku kepada Ayah. “Kau tahu, irfan. Ayah dan Ummi telah berpuluh – puluh tahun lamanya hidup bersama. Tidak mudah ayah melupakan kebaikan Ummi. Itulah sebabnya bila datang ingatan Ayah terhada Ummi, Ayah mengenangnya dengan bersenandung. Namun, bila ingatan Ayah kepada Ummi itu muncul begitu kuat, Ayah lalu segera mengambil air wudhu. Ayah shalat Taubat dua rakaat. Kemudian Ayah mengaji. Ayah berupaya mengalihkanya dan memusatkan pikiran kecintaan Ayah semata-mata kepada Allah,” jawab Ayah. “Mengapa Ayah sampai harus melakukan shalat Taubat,” tanyaku lagi. “Ayah takut, kecintaan Ayah kepada Ummi melebihi kecintaan Ayah kepada Allah. Itulah mengapa Ayah shalat taubat terlebih dahulu’” jawab Ayah lagi. Soal akidah, memang Ayah sangat berhati-hati sekali. Begitulah Buya Hamka, ia seorang Pejuang , Pahlawan, Ulama , dan Tentara kemerdekaan. Namun dibalik keberanianya, ia adalah seorang yang sangat penakut. Takut untuk menduakan Allah dengan makhluk. Memang begitulah seharusnya seorang pejuang. Karena Ummat Islam tidak butuh pejuang yang lupa diri, pejuang yang gila dihormati , pejuang yang hanya mau dipuji. Kita hanya butuh pejuang – pejuang yang penakut. takut jika ia berjuang tidak ikhlas karena ridha Ilahi. (Q.S 33 : 39) (yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.