Membaca Tahta untuk Rakyat

Sebuah kerinduan akan figure pemimpin “ik ben een blijf in de allereerste plaats javaav” “setinggi-tingginya aku belajar ilmu barat,  dan bagaimanapun jua aku adalah tetap Jawa”. (Sultan HB 9) Tahta untuk Rakyat; celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, adalah buku biografi pribadi Sultan HB 9, yang dihimpun oleh Mohamad Roem, Mochtar Lubis, dkk. dan disunting oleh Atmakusumah. Sewaktu SMA saya pernah sedikit membaca buku terbitan Gramedia (1982) ini, kemudian pertengahan tahun 2010 saya kembali membaca buku ini, sebagai bagian dari proses untuk membuat lagu rakyat Jogja Istimewa tersebut. Melalui buku ini, kita akan mengetahui cerita-cerita tentang pribadi Sultan HB 9 yang mungkin sebelumnya hanya kita anggap sebagai mitos. Tak pelak, buku ini semakin menambah kekagumanku kepada pribadi Sultan HB 9. Pemuda yang Naik Tahta Sultan HB 9 diberi nama ayahnya Sultan HB 8 dengan nama Dorodjatun, sejak kecil banyak dididik diluar istana, juga lebih banyak tinggal dengan ibunya yang tidak tinggal di istana Kraton. Dorodjatun pernah sekolah di Semarang dan Bandung. Kemudian dikirim untuk sekolah ke Belanda. Sepertinya ayahnya sudah mempunyai firasat, bahwa kelak Dorodjatun lah yang digadang bisa melepaskan kekuasaan Kraton dari cengkraman Belanda. Ketika ayahnya sakit, Dorodjatun yang sebentar lagi ujian sarjana di Belanda, diminta untuk pulang oleh ayahnya untuk menerima pusaka keris Djoko Piturun, sebuah simbol bahwa Sultan HB 8 menyerahkan kekuasaan kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat kepada penerusnya yang dipilih. Waktu itu usia Dorodjatun masih 28 tahun. Tidak lama kemudian Sultan HB 8 wafat, dan kemudian Dorodjatun diangkat sebagai Sultan HB 9 oleh gubernur jendral Belanda, waktu itu kekuasaan kraton masih dibawah cengkraman Belanda. Hingga empat bulan paska naik tahta, jendral residen Belanda di Yogyakarta gagal membujuk Sultan HB 9 untuk menandatangani kontrak kekuasaan dengan Belanda. Banyak poin-poin yang sebelumnya sudah menjadi kesepakatan antara Kraton Yogya dengan Belanda ditolak oleh Sultan HB 9. Intinya adalah bahwa Sultan HB 9 berkeinginan Kraton Yogya lebih mandiri dan peduli dengan rakyat. Pemerintah Belanda dibuat frustasi dengan pemuda berumur 28 tahun itu, yang setahun sebelumnya hanyalah seorang mahasiswa. Mahasiswa Barat yang Percaya Wangsit Hingga suatu saat, dalam buku ini, Sri Sultan menceritakan bahwa beliau mendapat wangsit dari leluhur ketika dalam keadaaan antara tidur dan terjaga, kira-kira bunyinya seperti ini; “wis tekno wae le, mengko bakal lungo dewe” (biarkan saja anakku, nanti (Belanda) akan pergi sendiri. Kemudian Sultan HB 9 bergegas menandatangani poin-poin kontrak kekuasaan begitu saja tanpa peduli isinya. Gubernur Jendral Belanda bingung akan hal itu, kenapa dia ngotot negosiasi marathon selama lebih dari empat bulan tapi tiba-tiba dia begitu saja menandatangani tanpa membaca isinya. Setahun kemudian, Jepang datang ke Indonesia dan mengusir Belanda. Selama penjajahan Jepang, rakyat Indonesia sangat menderita dengan kerja paksa dan tanam paksa. Tapi berkat wangsit yang diakui ‘mungkin’ dari leluhur juga, rakyat Jogja bisa diringankan penderitaannya. Begini bunyi wangsitnya; “umure mung sak umur jagung” (umurnya hanya seumur pohon jagung) Umur pohon jagung bisa dipanen selama 3,5 bulan, kemudian pohon jagung akan mati dengan sendirinya ketika berumur 3,5 tahun. Kemudian dengan wangsit itu Sri Sultan HB 9 menyusun strategi. Dia mendatangi jendral Jepang yang berkuasa di Jakarta untuk bernegosiasi. Diterangkannya bahwa Kraton Yogyakarta memiliki wilayah yang kecil dan miskin, tidak memiliki hasil panen yang memadai, Sultan HB 9 meminta kepada penjajah Jepang untuk mengganti program kerja paksa (rhomusa) bagi rakyat Yogyakarta dengan membangun saluran irigasi Selokan Mataram, agar hasil bumi wilayah Yogyakarta meningkat dan bisa memberi sumbangan kepada Jepang lebih banyak. Perjanjian disetujui dan proyek Selokan Mataram dimulai dan dikerjakan secara gotong-royong oleh rakyat Yogyakarta. Proyek itu belum selesai ketika Jepang kalah oleh pasukan sekutu dan harus pergi dari Indonesia, tepat 3,5 tahun sesuai umur pohon Jagung. Wangsit yang lain berkaitan dengan tokoh pewayangan Pandawa Lima. Diceritakan bahwa Sultan HB 3 membuat tokoh wayang Pandawa 5 yang ukirannya sangat halus dan warnanya indah. Wayang itu ada beberapa yang hilang. Wangsitnya adalah, bahwa jika kelima wayang itu bisa berkumpul kembali, maka Negeri Mataram (Yogyakarta) akan merdeka. Wayang ke 4 dengan tokoh Arjuna kembali ketika agresi militer Belanda pertama. Dikembalikan oleh seorang warga dari Ambarawa yang seluruh kampungnya hangus terbakar oleh bom pesawat Belanda dalam mengejar para pejuang. Anehnya hanya rumah warga itu yang masih utuh. Warga itu percaya bahwa wayang dari Kraton itulah yang menyelamatkan. Dikembalikan wayang itu ke Kraton, tidak lama kemudian Sultan dikarunia anak dan diberi nama Herjuno (Sultan HB 10 sekarang). “Kalau diberi nama Arjuna persis, takut kalo ternyata ketika besar dia tidak ngganteng” canda Sultan HB 9. Arjuna adalah tokoh kstaria dalam pewayangan yang terkenal ketampanannya. Wayang ke 5 dengan tokoh Bima kembali beberapa saat sebelum perwakilan Indonesia melakukan konferensi meja Bundar bersama PBB, yang hasilnya adalah keputusan PBB bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat dan Belanda harus angkat kaki dari wilayah Indonesia. “Ternyata arti kemerdekaan itu bukan hanya untuk Mataram, tapi untuk Indonesia” kenang Sultan HB 9. Jaman Revolusi Kemerdekaan Setelah proklamasi 1945, Belanda kembali datang ke Indonedia dengan membonceng kapal tentara NICA (sekutu) untuk kembali berkuasa di Indonesia. Jakarta sebagai ibu kota Republik yang masih bayi kembali dikuasai Belanda. Tahun 1946, Sultan mengundang Soekarno-Hatta dan seluruh jajaran kabinetnya untuk memindahkan ibu kota ke Yogyakarta, sebagai negeri yang berdaulat dan diakui oleh kerajaan Belanda. Rombongan dari Jakarta tiba di Yogyakarta tanggal 4 Januari 1946. Dua hari kemudian Yogyakarta diserang Belanda. Secara pribadi Sultan HB 9 tidak kenal dengan Soekarno sebelumnya, itu adalah pertemuan pertama mereka yang sangat bersejarah. Kelak perpisahannya pun sangat bersejarah bagi Indonesia. Sebelum kota Yogyakarta sepenuhnya jatuh ke tentara Belanda, Sultan HB 9 meminta pejuang di bawah pimpinan Jendral Soedirman untuk menyingkir dari kota dan bergerilya. Dan melakukan penyerangan-penyerangan sporadis untuk menunjukkan kepada dunia bahwa TNI masih ada. Ketika Belanda sudah bisa menguasai wilayah kota Yogyakarta sepenuhnya, para pemimpin diasingkan, Sultan HB 9 diisolasi di dalam wilayah kraton saja, tidak boleh keluar. Tapi Sultan HB 9 sudah menyusun strategi bahwa setiap pejuang dan para pegawai pemerintahan boleh masuk ke dalam Kraton dengan menyamar menggunakan pakaian abdi dalem (pegawai kraton). Termasuk salah satunya adalah Soeharto, yang kelak menjadi presiden kedua RI. Sultan HB 9 juga berhubungan dengan Sjahrir untuk membuat RIS (pemerintahan sementara) di Padang. Juga aktif menggalakkan siaran-siaran radio internasional untuk membuka mata dunia, bahwa pemerintahan dan tentara Indonesia masih ada, semua hal ini dilakukan agar Indonesia sebagai negara diakui eksistensinya. Pada waktu itu, oleh pemerintah Belanda, Sultan HB 9 ditawari kekuasaan seluruh pulau Jawa dan Madura, dengan syarat Belanda tetap boleh menguasai wilayah-wilayah lain di Indonesia. Sultan HB 9 waktu itu menolak. Tidak bisa dibayangkan apa jadinya Indonesia jika saat itu Sultan HB 9 tergiur dengan penawaran itu. Justru sebalinya, Sultan HB 9 sangat nasionalis, yang ada dipikirannya hanya berdirinya Indonesia yang merdeka. Maka beliau tidak segan menanggung seluruh biaya pemerintahan, termasuk gaji Soekarno-Hatta dan seluruh kabinetnya, juga operasional TNI, dan pengiriman-pengiriman delegasi Indonesia ke konferensi Internasional. Sultan HB 9 tidak mengakui berapa uang yang telah dikeluarkan oleh Kraton untuk itu semua, Mohamad Hatta mengatakan lebih dari 5 juta gulden. Kemudian oleh PBB, Indonesia dinyatakan menang di Konferensi Meja Bundar, dan PBB memerintahkan Belanda angkat kaki dari Indonesia. Kemudian para pemimpin dan mentri-mentri kembali ke Yogyakarta dari pengasingan dan persembunyian. Soedirman dan pasukannya juga kembali ke kota, dan terjadilah proklamasi Indonesia yang kedua di Yogyakarta tahun 1949, ini cerita yang jarang diungkap. Ketika Soekarno-Hatta dan seluruh jajaran dan staff kabinet RI kembali pindah ke Jakarta pada 1949, Sultan HB 9 memberikan cek senilai 6 juta gulden kepada Soekarno-Hatta yang diharapkan bisa dijadikan modal membangun republik yang masih bayi tersebut. Pada saat upacara perpisahan dan memberikan cek itu, seorang raja Jawa, dalam pidato di muka umum, mengakui kemiskinannya seraya mengatakan bahwa, Yogyakarta tidak mempunyai apa-apa lagi. Beliau tidak mengatakan ‘saya’ atau ‘kraton’, tapi mengatakan ‘Yogyakarta’, sebuah cerminan ‘manunggaling kawula gusthi’ (bersatunya rakyat dan raja), penghargaan stinggi-tingginya terhadap rakyat jelata yang telah ikut berjuang. Dalam suara yang bergetar dan uraian air mata, Soekarno berpidato pendek menanggapi hal tersebut; “Yogyakarta termasyhur karena jiwa-jiwa kemerdekaannya, hidupkanlah terus jiwa-jiwa kemerdekaan itu” “Apa yang akan Terjadi dengan Republik jika tidak ada Hamengku Buwono IX?” judul artikel Mohammad Roem menerangkan peran Sultan HB 9 pada masa perjuangan kemerdekaan. Cerita Rakyat Untuk menutup pembacaan ini, saya akan menyampaikan cerita rakyat yang dulu, waktu saya SD, sangat popular. Sultan HB 9 selalu mengendarai mobilnya sendiri kemana pun ia pergi, seorang raja tanpa sopir dan pengawal. Bahkan dia memilih naik mobil untuk hilir mudik ke Jakarta ketika beliau menjabat sebagai mentri pertahanan dan mentri senior Republik Indonesia ketika presiden Soekarno berkuasa. Suatu saat Sultan HB 9 pulang dari Kinahrejo, dusun Mbah Maridjan juru kunci Merapi, di tengah jalan, tepatnya di jalan Kaliurang, dia distop oleh ibu-ibu dengan beberapa karung dagangan yang akan pergi ke pasar Kranggan, utara Tugu, waktu itu angkutan masih sangat jarang. Sultan HB 9 pun menghentikan mobilnya, ikut membantu menaikkan barang-barang itu, kemudian dia mengantarkan ibu itu ke pasar Kranggan. Sesampainya di sana beliau ikut menurunkan dagangan. Orang-orang yang mengenal beliau sebagai raja takjub dengan pemandangan langka itu. Ketika beliau hendak pergi ibu yang menumpang tadi hendak membayar, tapi tentu saja Sultan HB 9 menolak dan pergi. Kemudian ibu itu ngomel-ngomel; “dasar sopir aneh, mau dibayar tidak mau” begitu kira-kira. Kemudian seorang polisi memberi tahu ibu itu, bahwa sopir tadi adalah Sultan HB 9, Raja Yogyakarta, mendadak ibu itu pingsan. Begitulah, kita merindukan pemimpin seperti pribadi Sultan HB 9, yang sangat nasionalis, kerakyatan, tanpa meninggalkan identitas dan tradisi kebudayaannya.