Dikafirkan Tidak Lantas Menjadi Kafir

Pada akhir-akhir ini muncul gejala saling mengkafirkan. Orang lain yang tidak sepaham dengan keyakinan agamanya disebut kafir. Istilah kafir menjadi begitu mudah diucapkan. Seolah-olah  ucapan yang disampaikan itu dianggap mengandung kebenaran, dalam arti bahwa orang yang disebut sebagai kafir menjadi kafir beneran. Dalam ajaran Islam antar sesama tidak boleh saling mengolok-olok, mencaci maki, dan saling merendahkan. Disebutkan dengan jelas bahwa bisa jadi orang yang mengolok-olok itu lebih jelek dari orang yang diolokkan. Artinya, seseorang yang sedang  mengolok dan merendahan orang lain, sebenarnya yang bersangkutan sendiri adalah yang tidak mempedulikan ajaran Islam yang seharusnya dijalankan sebaik-baiknya. Islam mengajarkan umatnya agar saling menebar kasih sayang, saling mengenal, memahami, menghargai, dan saling bertolong menolong dalam kebaikan. Merasa bahwa dirinya  paling benar  dan paling dekat pada Tuhan adalah  merupakan kekeliruan.  Amal baik seseorang akan  diterima atau ditolak sebenarnya tidak seorang pun yang tahu. Merasa tahu tentang keputusan Tuhan sebenarnya adalah justru merupakan kesalahan. Disebut sebagai seorang beragama yang baik adalah mereka yang selalu memperbaiki dirinya agar menjadi dekat pada tuhannya. Perbaikan diri yang dimaksud adalah menyangkut akhlaknya. Orang yang baik adalah  siapa saja  yang tatkala orang lain  menjumpainya merasa senang oleh karena mendapatkan kebaikan dan manfaat. Sebaliknya, adalah  bukan mendapatkan  kebencian dan apalagi  ancaman yang menakutkan. Dalam kehidupan ini disebut sebagai orang yang berutung adalah mereka yang mampu menjaga keimanan dan beramal shalah. Seseorang disebut beriman secara sempurna manakala sanggup mencintai orang lain atau saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Selain itu, seseorang baru disebut beriman manakala yang bersangkutan sanggup memuliakan tamu, menghormati tetangga, menjalin sillaturrahmi, dan sanggup meringankan beban saudaranya. Dalam suatu hadits nabi juga disebutkan bahwa tidak sempurna iman seseorang tatkala ia bisa tidur nyenyak oleh karena kekenyangan, sementara itu saudaranya tidak bisa tidur oleh karena kelaparan.  Bahkan juga disebutkan dalam kitab suci, bahwa   celakalah bagi orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai  shalatnya. Yaitu,  orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna. Berbagai peringatan tersebut di muka menunjukkan bahwa Islam memberikan tuntunan kehidupan bersama pandangan sedemikian jelas. Islam tidak mengajarkan hidup secara individual dalam arti tidak memperhatikan atau mempedulikan  orang lain. Kebersamaan di dalam menjalani kehidupan atau berjama’ah adalah merupakan sesuatu yang seharusnya dipelihara dan dijalankan. Hal sebaliknya, yaitu  mengejek, mencaci maki, merendahkan, dan tidak bersedia  menghormati orang lain adalah merupakan kesalahan, apalagi mengkafirkannya. Bahwa penentu seseorang,  selamat atau celaka, di dalam kehidupan  di akherat nanti,  adalah Tuhan.  Oleh karena itu memfonis seseorang tentang keimanan dan keber-Islamannya  adalah melampaui batas. Semua orang tidak akan tahu tentang kehidupan kelak di akherat yang sebenarnya. Oleh karena itu,  saling mengkafirkan adalah perbuatan keliru. Sebaliknya yang tepat adalah saling menasehati tentang kebenaran dan kesabaran. Yang dianjurkan dalam Islam adalah fastabiqul khairaat, atau berlomba-lomba tentang kebaikan. Perlombaan itu tidak mengenal finish dan hingga berakhir belum diketahui pemenang yang sebenarnya. Siapapun atas seijin atau ridha Allah, berhak mendapatkan ampunan dan kemudian menang. Maka yang seharusnya dilakukan oleh semua adalah secara bersama-sama berusaha menanam kebaikan, atau melakukan fastabiqul khairaat dan bukan sebaliknya, yaitu  saling mengolok, merendahkan,  dan apalagi saling mengkafirkan. Tokh tatkala dikafirkan, seseorang tidak lantas benar-benar menjadi kafir.  Wallahu a’lam