Mendudukkan Makna Syariah dan Fiqih

Kata syari’ah dan fiqh adalah dua kosa kata yang sering digunakan untuk mewakili penyebutan terhadap hukum Islam. Penggunaan tersebut merupakan cerminan keterbatasan telaah keilmuan dalam memahami dimensi kandungan trilogi filsafat ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari term syar’ah dan fiqh. Akibatnya terjadilah tumpang tindih pemahaman terhadap terminologi syariah dan fiqh tersebut, akhirnya sering timbul anggapan syari’ah adalah fiqh, fiqh adalah syari’ah, dan keduanyasering disederhanakan dengan sebutan hukum Islam. Pada sisi lain, ada juga umat Islam yang memahami bahwa Agama itulah hukum Allah, sehingga diasumsikan hukum Allah itu kebal terhadap perubahan, karena identik dengan agama Islam yang harus dijaga kemurniannya. Sementara di sisi lain, Agama Islam yang mengandung hukum Allah dianggap lentur , responsif, kompromistik, dan adaptif terhadap dinamika sosio-kultural yang berkembang. Bias dari penggunaan nomenklatur tersebut pada tahap perkembangannya memiliki andil besar mempengaruhi pemikiran tentang apa yang dimaksud hukum Allah itu. Oleh karenanya, dibutuhkan waktu yang segera dalam mendudukkan makna syariah dan makna fiqh tersebut, agar bias pemahaman yang cenderung tumpang tindih tersebut tidak terus berkelanjutan. Kata syariah secara kebahasaan berarti “mengarahkan atau membuka”, selain berarti “menandai atau menggambar”, juga berarti “jalan yang jelas menuju sumber air”. Kata ini dikonotasikan dengan “jalan lurus yang harus dituruti”. Secara terminologi, syariah dipahami sebagai berikut. Muhammad Ali Sayis dalam Tarikh Fiqh Islami menyebutkan makna syariah di sisi ahli fikih adalah hukum-hukum yang ditetapkan Allah terhadap hamba-Nya, agar menjadi orang-oang yang beriman yang beramal dengan amal-amal yang akan membahagiakan mereka di dalam kehidupan dunia dan akhirat. Syaikh Mahmoud Syaltout dalam al-Islam : al-Aqidah wa Syariah (1966 : 12) menyatakan bahwa syariah adalah peraturan yang ditetapkan Allah atau dasar-dasar peraturan yang ditetapkan-Nya, agar manusia menggunakannya dalam menata hubungannya dengan Tuhannya, hubungan sesama Muslim, hubungan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar, dan hubungan dengan kehidupan ini. Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh juz 1 (1989: 18) menyebutkan bahwa syariah adalah segala peraturan yang ditetapkan Allah swt untuk hamba-Nya (manusia) melalui Alquran atau Sunnah, baik berupa hukum-hukum akidah (al-ahkam al-i’tiqadiyah), yang secara khusus dibahas di dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid, atau hukum-hukum yang bersifat praktis (al-ahkam al-amaliyah) yang secara khusus menjadi objek kajian ilmu fiqh. Akan tetapi, menurut Nawir Yuslem, telah terjadi penyempitan makna syariat Islam yang hanya berarti hukum-hukum yang bersifat praktis saja (al-ahkam al-amaliyah). Penyempitan makna tersebut adalah untuk membedakan antara syariah dengan agama, yang mencakup persoalan hukum-hukum praktis, hukum akidah, dan hukum-hukum akhlak (al-ahkam al-khuluqiyyah). Sedangkan fikih atau fiqh secara etimologi berarti al-fahmu, yaitu pemahaman. Secara terminologi para ulama mengemukakan defenisi yang bervariasi. Kalangan uslama ushul fiqh mendefenisikan fiqh sebagai pengetahuan tentang hukum syara’ yang bersifat praktis yang dirumuskan dari dalil-dalil yang terperinci. Terma fikih muncul jauh setelah syariah. Istilah fikih muncul pada awal pasca kehidupan Rasulullah saw, yang bermula dari pertanyaan, bagaimana syariah dipahami? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dibutuhkan dua metode. Pertama, melalui sumber otoritas Alquran dan sunnah yang berfungsi sebagai dasar pijakan. Namun karena otoritas Alquran dan sunnah yang secara generatif belum teristematiskan dan belum terperinci untuk mampu menjawab dinamika kebutuhan yang terus mengalami perkembangan. Kedua, akal dan pemahaman manusia juga tidak kalah pentingnya untuk dikedepankan. Prinsip kedua inilah yang disebut fikih yang berarti pengertian atau pemahaman. Secara historis, fikih awalnya lebih bermakna sebagai suatu proses dibanding sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang objektif dengan karakternya yang rpibadi, bebas dan relatif. Namun, posisi fikih menjadi tidak dinamis lagi, ketika metodologi Islam menglami kemajuannya yang maksimal. Bermula dari realitas tersebut, karakter fikih telah mengalami perubahan radikal, yaitu terjadinya perubahan dari wujudnya sebagai suatu kegiatan pribadi, menjadi disiplin yang terstruktur, lebih-lebih ia berubah menjadi kumpulan pengetahuan yang dihasilkannya. Kumpulan tersebut pada masanya telah distandarisasikan dan dimapankan sebagai suatu sistem yang objektif. Perubahan ini memiliki suatu konsekuensi logis bahwa fikih dalam perkembangannya seperti telah berubah menjadi suatu ilmu. Padahal pada mulanya orang biasa mengungkapkan dengan kata, “Kita harus menggunakan fikih (pemahaman)”, sementara pada taraf berikutnya kita sering mengatakan, “Kita harus belajar atau mempelajari fikih”. Ketika metodologi Islam telah berkembang secara maksimal, fikih akrab dengan sebutan ilmu hukum. Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa syariah berbeda dengan fikih. Perbedaannya, syariah merupakan hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran dan hadis, atau syariah merupakan aturan sistematis yang digariskan oleh Allah swt yang berwujud dalam bentuk aturan pokok yang telah dijelaskan Allah swt agar manusia dapat menjadikannya sebagai pedoman. Sedangkan fikih di sisi lain, adalah hasil pemahaman dan interpretasi (ijtihad) para mujtahid terhadap teks-teks Alquran dan hadis serta hasil ijtihad mereka terhadap peristiwa yang hukumnya tidak ditemukan di dalam keduanya. Dalam perjalanan sejarah hukum Islam, dikenal sekurang-kurangnya ada empat macam produk pemikiran hukum Islam yang merupakan hasil pemahaman dan perumusan dari Alquran dan hadis sebagai sumber hukum di dalam Islam, yaitu : Fikih adalah merupakan produk hukum dari para ulama mujtahid, yang selanjutnya dihimpun di dalam berbagai kitab fikih. Karya fikih tersebut, oleh para penulisnya pada saat ditulis itu, tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum di suatu negeri, meskipun di dalam perjalanan sejarah, beberapa kitab fikih tertentu telah diberlakukan sebagai Kitab Undang-Undang. Kitab-kitab fikih tersebut juga tidak dimaksudkan oleh penulisnya untuk digunakan pada masa atau periode tertentu. Dengan tidak adanya batasan waktu tersebut, maka kitab-kitab fikih itu, cenderung dianggap harus berlaku untuk semua masa, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai jumud atau beku, artinya tidak berkembang selain itu, kitab-kitab fikih tersebut umumnya membahas masalah-masalah hukum secara menyeluruh, sehingga karenanya, perbaikan revisi terhadap sebagian isi kitab fikih dianggap dapat mengganggu keutuhan isi keseluruhan kitab fikih tersebut. Dengan demikian, maka kitab-kitab fikih tersebut cenderung menjadi resisten terhadap perubahan. Fatwa adalah pendapat umum (legal opinion) dari seorang ulama (mufti) yang bersifat kasuistik, karena fatwa tersebut merupakan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh penanya (mustafthi). Fatwa sebagai produk hukum tidak bersifat mengikat, sehingga sang peminta fatwa dapat menerima dan mengamalkannya, atau menolak dan tidak mengamalkannya. Karena fatwa tersebut merupakan jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan pada masa dan situasi yang berkembang, maka fatwa tersebut bersifat dinamis, meskipun jawaban yang diberikan belum tentu dinamis. Keputusan-keputusan Pengadilan Agama (qadha al-qadhi), yaitu keputusan yang ditetapkan oleh para hakim di pengadilan agama, yang sifatnya adalah keputusan bagi pihak-pihak yang berperkara. Keputusan pengadilan agama ini, juga bersifat dinamis, karena keputusan tersebut dibuat dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat dan diajukan ke pengadilan pada waktu-waktu tertentu yang sifat kasus-kasus tersebut berkembang dan berubah-ubah. Peraturan Perundan-Undangan (qanun) di negara-negara Muslim. Peraturan perundang-undangan ini bersifat mengikat dan daya ikatnya lebih luas dan bahkan mengikat rakyat atau penduduk yang menjadi warga negara di negara tersebut. Dalam perumusan peraturan perundangan ini, tidak hanya para ulama (mujtahid) yang terlibat, tetapi juga para politisi dan para ahli dalam berbagai bidang lainnya. Keempat produk pemikiran hukum Islam tersebut di atas adalah dinamika dan hasil proses ijtihad yang dilakukan oleh para ulama mujtahid atau para pakar dari berbagai disiplin ilmu, baik secara individual maupun secara kolegial, khususnya dalam bidang perumusan peraturan dan perundang-undangan. Dengan demikian terlihat jelas bahwa tidak ada yang tidak terselesaikan dengan ijtihad. Dinamika ijtihad berkembang bersamaan perkembangan dari tuntutan keadaan, jika dahulu ijtihad dilakukan secara individual oleh seorang mujtahid, maka perkembangan hari ini ijtihad dituntut lebih pada tatanan kelembagaan yang menghasilkan peraturan perundangan, demikian juga pada lembaga eksekutif, maupun yudikatif, karena lembaga-lembaga tersebut juga memiliki kekuasaan yang diatur oleh ketentuan hukum untuk merumuskan dan menetapkan hukum yang mengatur dan mengendalikan kehidupan masyarakat. Produk hukum yang lahir dari ketiga lembaga tersebut adalah bersifat mengikat dan memaksa di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (hd/liputanislam.com) *Sumber : Buku Konsep Azimah dan Rukhshah dalam Hadis-Hadis Nabi Saw oleh H. Zulkarnain, MA.