Peran Hijab dalam Menjembatani Dialog Barat dan Islam
Oleh: Saleh Lapadi
Pada tahun 1847 Marx dan Engel mendeklarasikan manifesto komunis. Sejak itu, ideologi komunis mencederai seluruh tubuh Eropa. Namun, saat itu tak seorangpun yang menilai bahwa manifesto itu justru menandai munculnya Eropa baru. Percaya atau tidak, saat ini fenomena serupa terulang kembali di Eropa, namun dengan nama Islam. 50 tahun lalu Islam merupakan agama yang tidak diperhitungkan di Eropa, tapi kini peringkatnya naik menjadi agama kedua di beberapa negara Eropa seperti, Perancis, Inggris, Jerman, bahkan Belanda.
Sekalipun Eropa menganut prinsip sekuler, tapi jangan lupa dalam perjalanan sejarah dua agama besar; Kristen dan Yahudi, hadir dan bergandengan tangan dengan prinsip sekular dalam ruang publik. Eropa dapat menerima dua agama itu dengan tangan terbuka. Saat Islam kembali muncul di Eropa sebagai fenomena sosial, seluruh masalah dan problem yang sebelumnya tertanam, kini ternyata muncul kembali ke permukaan. Ide-ide modernitas soal pemilahan agama mulai dipertanyakan. Terlebih lagi ketika Perancis bertindak lebih jauh memisahkan agama dari ruang publik. Sebenarnya sikap berlebihan yang ditunjukkan sebagian negara Eropa ini masih dapat digugat lewat prinsip-prinsip lain seperti pluralisme dan kebebasan berekspresi setiap warga negara. Hal inilah yang membuat studi kehadiran agama di ruang publik perlu dikaji kembali dalang bingkai modernitas.
Kehadiran Islam di Eropa menjadi kompleks setelah upaya pendekatan terhadap Islam tidak dipandang sebagai sebuah peradaban. Eropa selama ini memandang Islam dengan pandangan curiga. Sebagai contoh, pada bulan Oktober tahun 1989, beberapa siswi SMU di daerah dekat Paris dipaksa oleh kepala sekolahnya agar melepas hijab mereka. Padahal, bila mereka tetap memaksa mengenakan hijabnya, diperkirakan tidak lebih dari 3 minggu, masalah ini menjadi isu nasional yang paling dibicarakan di Perancis. Isu ini kemudian lenyap tanpa bekas, setelah pada tahun yang sama muncul serangkaian aksi-aksi teroris terhadap pemerintah Aljazair oleh kelompok GIA. Konflik meluas melibatkan Perancis sebagai pendukung pemerintah Aljazair. Puncak konflik terjadi pada tahun 1995, ketika stasiun kereta api bawah tanah Perancis diledakkan.
Akhirnya, aksi-aksi teror yang mengatasnamakan Islam makin marak. Tragedi 11 September 2001 merupakan puncak dari rangkaian peristiwa teror atas nama Islam. Peristiwa peledakan gedung kembar di New York yang merengut banyak korban sangat merugikan Islam dan umat Islam. Sekalipun aksi teroris yang kedua ini ditengarai pelakunya adalah kelompok Al-Qaeda, namun substansi dan pesan politiknya mudah ditebak. Bagi Al-Qaeda, hubungan Amerika dan negara-negara Arab tidak lebih dari hubungan Post Kolonialisme Perancis dan Aljazair. Di sini, Eropa harus membayar luka yang diderita dunia Islam di masa penjajahan. Eropa mesti tersiksa memikirkan hal ini. Namun yang membuat mereka lebih menderita adalah ketika mereka tak lagi mampu membedakan antara bom dan kerudung. Pasalnya, Eropa masih mengira bahwa substansi dan dampak keduanya tidak berbeda.
Bila dahulu secara sederhana mereka menilai bahwa generasi kedua gadis-gadis keturunan imigran dapat membaratkan keluarganya dengan mudah. Kini mereka memandang gadis-gadis ini sebagai teroris tanpa nama dan organisasi. Ini adalah upaya Eropa dan Barat secara keseluruhan untuk mengelabui opini dunia soal dampak besar yang diakibatkan pemakaian hijab di Eropa.
Kini, dunia harus percaya bahwa fenomena gadis-gadis berjilbab Eropa telah mengambil peran vital dalam perubahan global di Eropa sendiri. Secara kritis hijab mempertanyakan krisis identitas bagi Eropa. Hijab tidak sekadar simbol seorang wanita Islam lalu selesai. Hijab menjadi titik singgung pertemuan dua peradaban; Islam dan Eropa. Salah besar bila terorisme membuat Eropa dan Islam berhadap-hadapan. Yang benar, fenomena hijabdi Eropa membuat bangsa Eropa harus berpikir ulang soal identitas keeropaan mereka. Hal ini dapat ditelusuri sejak krisis yang dialami Eropa ketika terjadi pemekaran Uni Eropa.
Sejak berdirinya Uni Eropa pada Desember 1991, dengan ditandatanganinya perjanjian Maastricht, secara serius dipertanyakan tentang apa itu Eropa? Dan apa prinsip yang mempersatukan mereka? Hal ini semakin komplek ketika kepala-kepala negara Uni Eropa berkumpul di Amsterdam membicarakan pemekaran Uni Eropa mencakup Eropa Timur. Pertanyaannya adalah batas teritorial Eropa sampai di mana? Masalah ini bakal semakin sulit lagi ketika ada rencana menerima Turki menjadi anggota Uni Eropa. Sekarang, apakah ada nilai-nilai Eropa yang menentukan teritorial Eropa? Selama ini, Eropa selalu mengklaim peran vitalnya memunculkan dan menyebarkan nilai kemoderenan ke seluruh dunia. Menurut mereka, Eropa adalah tempat lahirnya modernitas. Namun, Eropa lupa bagaimana pada milenium kedua hingga sekarang modernitas telah demikian mengglobal, sehingga tidak mungkin identitas politik dan batas-batas teritorial dibangun di atasnya.
Eropa harus membuka matanya. Gadis-gadis berhijab sebagai simbol bagaimana prinsip-prinsip kemoderenan mulai terancam di sana. Eropa harus segera sadar dan mengambil langkah-langkah mengatasi masalah ini. Itulah mengapa ketika masalah hijab memanas di Perancis, lima orang filsuf Perancis dalam surat terbuka yang dimuat di majalah mingguan Le Nouvel Observateur, meminta kepada para guru untuk mengeluarkan pernyataan tidak setuju dengan para siswi yang memakai hijab. Mereka menyamakan masalah para siswi berjilbab di Perancis dengan demokrasi yang tengah berhadapan dengan Hitler. Mereka tidak melihat fenomena hijab hanya sekadar pemakaian simbol-simbol agama, tapi lebih dahsyat dari itu. Fenomena hijab secara cerdas mempertanyakan kebenaran prinsip modernitas yang menjadi landasan ideologi Eropa. Untuk meredam fenomena ini agar tidak menjadi isu global di daratan Eropa, pemerintah Perancis segera mengambil langkah-langkah. Pada tahap awal, pemerintah Paris mengeluarkan pernyataan bahwa para siswi berhijab itu memakai hijab karena doktrin orang tua mereka yang masih terikat dengan budaya tanah air asalnya yang Islam. Paris mencoba menutupi alasan sesungguhnya mengapa mereka memilih hijab. Karena hasil survei yang dilakukan terhadap para siswi berhijab itu menunjukkan kenyataan yang lain. Mereka yang malah mengkritik orang tua mereka, terutama ibu mereka yang tidak memakai hijab. Artinya, ada kesadaran lain yang mendorong mereka untuk memutuskan memakai hijab.
Para siswi itu memilih hijab sebagai model dan prinsip hidupnya, karena sebuah pilihan dari nilai-nilai kemoderenan yang diajarkan di sekolah-sekolah mereka. Sebagai negara modern, Perancis sangat menghormati kebebasan individu. Para siswi berhijab itu melakukan pemilihan dengan cara sadar bahwa hijab adalah satu bentuk ekspresi seorang warga negara Perancis yang dilindungi hak-haknya. Sekali lagi, hijab yang mereka pakai bukan karena doktrin Islam yang didapat dari orang tuanya, tapi sebuah pilihan yang muncul dari kebebasan berekspresi. Itulah mengapa dalam penelitian yang dilakukan oleh Khasru Khavar dan Francois Gasper menunjukkan bagaimana para siswi berhijab ini tidak setuju dengan poligami. Mereka juga tidak setuju bila kehadiran wanita di ruang publik dibatasi. Mereka memakai hijab tidak semata-mata ajaran agamanya, tapi lebih pada ekspresi bebas dari prinsip modernitas yang diagung-agungkan Eropa. Satu hal yang menarik perhatian dari fenomena ini, para lelaki dari kalangan fundamental saat melihat gadis-gadis ini menyebut mereka sebagai, “Nasrun Min Allah” (Kemenangan dari Allah). Mereka memanfaatkan fenomena ini untuk mengembangkan Islam fundamental. Mereka sebuah kelompok unik, generasi baru Islam yang muncul dari rahim modernitas.
Kehadiran wanita berhijab di ruang publik pada dasarnya diterima secara resmi di Eropa dengan syarat sebagai warga negara. Namun, semangat modernisme Eropa tidak dapat menerima kenyataan ini. Karena posisi wanita berhijab kini melambangkan krisis pengertian negara Eropa, khususnya Perancis. Dalam konsep state dan nation di Eropa, dalam kasus ini Perancis, tidak ada lembaga pemisah antara negara dan warganya, bahkan tidak oleh institusi keluarga. Di sini, warga negara Perancis hidup bersama konsep negara dan bangsa yang telah ditanamkan semenjak belajar di sekolah-sekolah. Problema yang muncul, para wanita berhijab meletakkan Islam sebagai lembaga perantara antara mereka selaku warga negara dan negara. Kompleksitas masalah semakin diperkeruh oleh aksi-aksi teror yang diatasnamakan Islam. Akhirnya, fenomena yang perlu mendapat perhatian serius yang dihadapi wanita berhijab di sana, tertutupi oleh isu-isu terorisme. Itulah, untuk keluar dari himpitan ini dan sebagai upaya untuk tetap menjaga kebersamaan dengan warga Perancis lainnya, mereka terpaksa memilih memakai hijab bergambar bendera Perancis.
Kenyataan ini tidak dapat dihindarkan. Kesadaran sebagai warga negara Eropa dan pemahaman akan modernitas telah mengubah Islam dari sekadar cara hidup klasik menjadi sistem pemikiran. Dampaknya, pergesekan antara antara sisi batin dan lahiriahnya dengan pembaharuan tidak dapat dilewatkan begitu saja. Ini membuat dialog Eropa dan Islam menjadi niscaya. Pintu dialog tetap terbuka, karena kaum muslimin yang tinggal di Eropa sadar untuk bertahan hidup di sana, apa yang harus dikorbankan dan apa yang bakal mereka terima, menjadi pertanyaan penting yang perlu dijawab. Ini transaksi sejarah yang tidak boleh dipandang sepele, karena cepat atau lambat mereka akan menghadapi masalah yang semacam ini.
Berbeda dengan cara pandang sederhana yang melihat sebuah krisis yang terjadi dalam kehidupan pemikiran dunia modern sebagai akhir periode itu dan lahirnya babak baru. Kasus hijab di Perancis masih menunjukkan adanya dinamika kajian pemikiran yang masih berlanjut. Pembaharuan yang muncul dari kritik atas krisis akan menemukan nilai dan jatidirinya. Itulah mengapa pembaharuan adalah kembali pada jati diri!
[maulanusantara]