Islam Toleran

Agama Islam yang bersumber dari Kalam Allah dan Sunnah Rosulillah serta berisi ajaran dan nilai-nilai fundamental, ternyata tidak bisa lepas dari persoalan interpre¬tasi, yang pada gilirannya memunculkan keragaman pandangan. Interpretasi ini merupakan manifestasi dari keinginan manusia untuk memahami dan memperkokoh keyakinan akan kebenaran agamanya melalui aktualisasi diri dalam aspek fikir, dzikir, dan amal sholeh. Timbulnya keragaman pandangan dalam beragama adalah sesuatu yang wajar dan absah adanya. Kondisi ini terjadi karena manusia tidak mampu berhadapan langsung dengan Allah untuk menanyakan secara langsung apa yang dikehendaki dalam firman-firman-Nya yang tertuang dalam kitab suci dengan benar sesuai dengan kehendak dan ilmuNya jika menghadapi kesulitan pemahaman. Keragaman pemahaman dan penafsiran tersebut pada gilirannya memunculkan pola-pola artikulasi keberagamaan, yang oleh Cak Nur dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) aliran, yaitu: (1) kelompok fundamental yang cenderung sangat literal, dan/atau ketaatan formal dan hukum agama dieks¬presikan dalam bentuk sangat lahiriah semacam simbol/label keagamaan atau gerakan-gerakan keagamaan; (2) kelompok liberal yang lebih mementingkan substansi/isi dari pada label atau simbol-simbol eksplisit dengan memberikan tafsir teks-teks agama secara terbuka; dan (3) kelompok moderat yang lebih menekankan pada pemikiran agama secara toleran dan menghargai perbedaan pemikiran dalam beragama. Kelompok Islam moderat ini sering juga disebut dengan Islam tawasuth atau Islam toleran, yang mencoba mencari penafsiran secara seimbang antara teks-teks kitab suci dengan realitas sosial. Klaim kebenaran bagi setiap kelompok agama adalah suatu keniscayaan, karena tanpa klaim tersebut, maka agama sebagai sistem kehidupan sosial, politik, dan budaya tidak akan memiliki kekuatan simbolik yang cukup menarik bagi setiap pemeluknya. Selain itu, agama mempunyai asumsi dasar perlunya manusia mempunyai pegangan hidup yang jelas, konkrit, dan rasional. Karena itu setiap pemeluk suatu agama akan berusaha memposisikan diri sebagai umat yang baik, loyal, tanggungjawab, dan bahkan siap meng”infaq”kan jiwa dan raga untuk berjuang dan berkorban demi agamanya kalau memang diperlukan. Namun demikian, jika klaim kebenaran difahami secara emosional dan segmentatif, maka akan menimbulkan banyak masalah. Sejarah telah mengabarkan kepada kita bahwa adanya perselisihan, pertikaian, konflik dan peperangan antar komunitas agama baik di kawasan Asia, Afrika, Eropa, maupun Amerika, antara lain merupakan akibat dari klaim kebenaran yang melebar memasuki wilayah sosial, politik, dan budaya yang bersifat praktis-pragmatis. Fenomena yang terjadi pada masyarakat dewasa ini adalah kurangnya memahami Islam secara toleran, sehingga Islam belum menjadi rahmatan li al’alamin. Islam sebagai agama, seringkali dipahami sebatas ritual yang tidak bersentuhan dengan kehidupan duniawi. Padahal Islam kaya dengan berbagai argumen untuk hidup seimbang antara ibadah dan muamalah, antara keshalehan sosial dan keshalehan individual, berkah dan berbagi, serta selalu menghargai pendapat orang lain. Akibat dari pemahaman Islam yang segmentatif tersebut seringkali menjadi faktor penyebab utama dari gerakan radikalisasi agama. Gerakan radikalisasi agama, semakin lama semakin massif mempertontonkan aksinya. Banyak kejadian pengrusakan, penganiayaan, dan bahkan pembunuhan yang disebabkan oleh sentimen agama dan pemahamaan agama secara segmentatif. Kondisi ini jelas tidak sesuai dengan semangat kebangsaan yang menghargai pluralitas dan toleransi, yang menjamin setiap warga negara untuk hidup tenang dan damai dalam menjalankan aktifitas beragama, berbangsa, dan bernegara. Kalau kita telusuri secara seksama, dalam ajaran Islam kita terdapat suatu pandangan yang universal, yaitu bahwa manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang terbaik dan tertinggi/termulia (Q.S. al-Tin: 5), serta diciptakan dalam kesucian (fitrah), sehingga setiap manusia mempunyai potensi benar. Di sisi lain, manusia juga diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang dlaif (Q.S. al-Nisa’: 28), sehingga setiap manusia mempunyai potensi salah. Pandangan semacam ini akan berimplikasi pada sikap dan perilaku seorang muslim yang berhak menyatakan pendapat, harus mau mendengarkan dan menghargai pendapat serta pandangan orang lain, tidak men”tuhan”kan pendapatnya sendiri, serta tidak mengembangkan sistem kultus individu, fanatisme buta terhadap kelompok, karena kultus hanya diarahkan kepada Allah semata. Apabila pandangan teologi agama dan ajaran yang dipegangi bersifat ekstrim, juga dibarengi dengan model pemahaman dan penghayatan agama yang simbolik, tekstual, skriptural, dan segmentatif karena penjelasan-penjelasan dan arahan dari para guru, dosen, dan tokoh agama yang bersifat normatif-doktriner serta didukung oleh lingkungan sosio-kultural yang eksklusif, maka bisa jadi akan melahirkan sikap intoleran dan agama dapat berperan sebagai faktor pemecah-belah. Suatu hal yang ironi di alam kemerdekaan sekarang ini. Untuk itu, yang perlu ditumbuhkan sekarang adalah membangun pemikiran keagamaan yang toleran, agar cita-cita menjadikan Islam sebagai rahmatan li al’alamin dapat terwujud dengan baik di dunia umumnya dan di bumi pertiwi pada khususnya. Semoga.