Kesederhanaan Pemimpin

Kesederhanaan Pemimpin

    Syafiq Basri Assegaff*   Benarkah kesederhanaan seorang pemimpin penting artinya bagi sebuah bangsa? Tentu saja. Banyak bukti untuk itu. Yang paling kentara, pada masa kita adalah para pemimpin sekelas Nelson Mandela dan Ahmadinejad. Keduanya terbukti menjadi pemimpin yang bukan saja dikagumi rakyatnya, melainkan juga dunia.   Pemimpin AS seperti Benjamin Franklin dan George Washington juga dikenal sederhana dan rendah hati.  Awalnya Washington dikenal kelewat ambisius dan suka membanggakan diri. Tapi belakangan secara bertahap ia memperbaikinya. Bagi Washington, greatness at any price is not real greatness — kecongkakan pada keagungan bukanlah kejayaan yang sejati.   Alih-alih dari menuruti ambisinya, termasuk meraih kekuasaan absolut saat di puncak karir, Washington justru menyadari bahwa, semakin banyak ia melayani orang lain dan menjunjung keadilan, makin bermaknalah kesuksesan yang diraihnya. Kian berkurang ambisinya terhadap ketenaran, kian layak ia meraih kehormatan.  Dan di situlah ia meraih nilai kemuliaan, persis sebagaimana ia memperjuangkan kemuliaan itu sendiri.   Yang patut dicatat adalah bahwa kesederhanaan dan kerendah-hatian bukan tanda kurang percaya diri, atau kelemahan. Justru sebaliknya, niat dan semangat pemimpin yang begitu, justru sering kali sangat menggelora — ditambah ketegasan sikap dan selalu mau turun tangan — bahkan dapat mengalahkan pemimpin yang arogan, kasar, dan terlalu ambisius.   Yang membedakan di antara keduanya adalah, antara lain, tujuan mereka. Pemimpin jenis kedua lazimnya memikirkan diri mereka atau kelompoknya semata, sedangkan jenis yang pertama justru memeras keringat dan otak demi yang mereka pimpin. “I sacrifice to the public good (saya berkorban demi kebaikan rakyat),” kata Franklin, pada pidato penutupan sidang Konvensi Konstitusi AS tahun 1787.   Jauh sebelum Franklin, dunia mengenal kesederhanaan pimpinan Islam. Sejak 1400-an tahun lalu, khalifah Abubakar, Umar bin Khattab, Usman, hingga Ali bin Abithalib (yang disebut Khulafa’ Ar-Rasyidin) juga dikenal sebagai pemimpin yang amat sederhana dan rendah hati; semuanya meneladani pemimpin utama umat Islam, Nabi Muhammad saw.   Sementara Nabi menjahit sendiri bajunya yang koyak, Umar pernah membantu seorang ibu yang ditemuinya, dan menegur pedagang yang berniat menipu timbangannya. Adapun Ali, yang dikenal sangat alim, sering hanya makan roti kering dan kurma. Saat ibadah tengah malam Ali juga biasa menangisi rakyatnya, dan mendoakan mereka. Ketika saudaranya ingin meminjam uang Baitul Maal, Ali marah luar biasa karena uang itu — meski berada di bawah kekuasaannya –  kelak akan dipertanggungjawabkannya pada Hari Perhitungan.   Semua mereka itu sederhana, bahkan pada puncak kekuasaan mereka. Sejak Nabi saw, para pemimpin Islam yang baik selalu memulai kesederhanaan dari diri mereka dulu, lalu pada keluarga, sebelum pada orang lain.   Kemudian mereka turun ke tengah masyarakat, masuk ke pasar-pasar, mengecek suasana perdagangan, memonitor harga dan melihat situasi di perkampungan. Mereka bergaul dengan orang kecil, yang lazimnya tak berani menemui pemimpin mereka, terlebih bila pemimpin itu tinggal di istana yang dijaga ketat mulai ring-1, ring-2, hingga entah ring keberapa .   Bagi para khalifah seperti Ali, misalnya, seorang pemimpin selayaknya hidup sederhana setingkat dengan cara hidup rakyat kebanyakan. Ukurannya bukan standar hidup rakyat yang kaya, melainkan justru pada level mereka yang paling miskin, para mustadzaffin, yakni kaum papa yang lemah dan Nabi Islam sendiri juga datang dari kelas rakyat biasa. Bukan berasal dari istana atau lingkungan elite kerajaan, Nabi Muhammad saw adalah seorang businessman, yang menjajakan dagangannya, dibantu modal isterinya Khadijah, hingga ke luar negeri. Bersamaan dengan kesederhanaan, Nabi juga mencontohkan kejujuran sejak muda, sehingga dikenal dengan gelar Al-Amin – yang terpercaya.   Memang Nabi saw mendapatkan pengajaran langsung dari Tuhan, bukan orangtuanya — yang telah dipanggil pulang ke hadirat Ilahi sejak beliau kecil. Pengajaran nilai-nilai Ilahiah (devine values) dalam hidup itu menjadikannya selalu menjunjung kejujuran, yang selalu bergandeng tangan dengan kesederhanaan.   Sebagai rakhmat bagi alam semesta, keteladanan Nabi saw memancar ke seluruh jagat raya, sehingga sejarah hidup dan kepemimpinannya menjadi pondasi nilai-nilai luhur, akhlaqul karimah, bagi para pemimpin di planet dunia.   “Semua kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggunganjawaban terhadap apa yang dipimpinnya,” kata Nabi. Kata Rumi, “Dalam kesederhanaan dan kerendahan hati, ikutlah cara bumi.”   Dengan kalimat lain, hiduplah sederhana seperti bumi, berada di bawah — bagi pemimpin, itu artinya bersama ‘orang kecil’ — bersedia kotor, tetapi memberikan kembali atau menumbuhkan semua yang ditanam di dalamnya.   Filosof Cina Lao Tzu mengatakan dalam karya legendarisnya, Tao Te Ching bahwa, ‘kesederhanaan adalah kunci bagi kebenaran dan kemerdekaan.’  Lao Tzu, yang diperkirakan hidup antara tahun 600-300 SM, menganjurkan para pengikutnya untuk, ‘mengamati dan mempelajari ‘hukum alam’, untuk mengembangkan intuisi jiwa, dan membangun kekuatan pribadi’. Kekuatan (power) itulah yang menjadi dasar bagi orang untuk memimpin dengan cinta, dan bukan dengan force (paksaan atau tentara).   Orang yang sederhana itu biasanya tidak ngotot dalam mengejar ‘kedudukan’ atau segala yang bersifat duniawi. Mereka tetap berusaha meraih apa yang dibutuhkannya, tetapi mereka tahu bahwa ‘angan-angan yang telalu jauh atau sifat tamak itu adalah musuh keberhasilan’.   Mereka paham, bahwa ketika orang ngotot atau memaksaan diri untuk selalu meraih di atas yang telah diperoleh akan menimbulkan frustasi, depresi, dan mungkin juga kegagalan.   Saat memerintah, seorang pemimpin yang sederhana merasa bahagia bila bisa menyelesaikan pelbagai persoalan yang terjadi di tengah masyarakat, meski biasanya berlangsung secara bertahap. Dilandasi cinta dan niat baik, mereka lazimnya gemar bicara dari hati ke hati, menampung apa yang menjadi keinginan masyarakat, demi kesejahteraan bangsanya. Seperti Franklin, mereka sacrifice to the public good.[islamic-sources/liputanislam.com]       *) Penulis adalah seorang Konsultan komunikasi, pengajar di Universitas Paramadina dan London School of Public Relations (LSPR), Jakarta.