Konsep Taklid dalam Ajaran Ahlul Bait as

Mukaddimah "Agama Islam - sebagaimana maklum – terdiri dari tiga unsur yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Tiga unsur utama itu adalah: aqidah, fiqih dan akhlak.  Di dalam masalah akidah ( ushuluddin ), khususnya menurut ajaran madzhab Ahlul Bait as tidak dibenarkan seorang muslim bertaqlid buta dan mengikuti akidah orang lain tanpa memahami dalil-dalil dan argumen-argumennya.  Misalnya dalam masalah menetapkan dan meyakini adanya Tuhan Sang Pencipta alam semesta ini, adanya hari pembalasan, mengenai keesan Tuhan dan lain-lain, dalam hal ini setiap muslim tidak boleh ikut-ikutan dan bertaqlid buta kepada orang lain, sekali pun kepada guru atau orang tuanya sendiri, artinya ia harus mencari atau memahami dengan baik dan benar akan dalil-dalil dan argumen-argumen yang berhubungan dengan masalah tersebut. Sehingga ketika ia ditanya orang; Apakah Tuhan itu ada?  Kalau Tuhan itu ada, apakah Dia itu esa, satu ataukah ada tiga?  Apakah hari kiamat itu pasti terjadi? Dan pertanyaan-pertanyaan akidah lainnya, maka ia dapat menjawabnya sekali pun dengan argumen yang sangat sederhana sekali; seperti bahwa Tuhan Pencipta itu ada, dalilnya adalah adanya kita dan alam semesta ini." Berbeda halnya dengan masalah fiqih atau furu'uddin (cabang-cabang agama). Sehubungan dengan masalah ini, khususnya dalam hal-hal yang sifatnya bukan "darûriyyatuddin" seperti kewajiban shalat dll,  kaum muslimin secara umum dan apa pun madzhab dan alirannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok 'Ulama Mujtahid, kelompok muqallid dan kelompok muhtath. Sebelum kami menjelaskan masing-masing definisi Mujtahid, Muqallid dan Muhtât, dan demi memperjelas pengertian "darûriyyatuddin", baiklah akan  kami  jelaskan pembagian "Ahkam Syari'ah". Hukum-hukum syari'at (ajaran Islam) ditinjau dari sudut pandang upaya mengenal dan mengetahuinya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1.      Ahkam Daruriah, yaitu hukum-hukum darûriyah yang biasa juga disebut darûriyyatuddîn artinya adalah hukum-hukum yang sudah jelas, gamblang dan ma'ruf serta telah menjadi keyakinan seluruh kaum musliminin. Karena untuk mengetahuinya tidak perlu menguras tenaga dan kemampuan untuk mengkaji, meneliti dan menggunakan kaidah-kaidah ushul, dengan kata lain untuk mengetahui hukum-hukum darûriah itu tidak memerlukan ijtihad,  contohnya seperti wajibnya salat, zakat, haji dan lain-lain atau seperti haramnya berzina, membunuh dan lain-lain yang mana seluruh kaum musliminin telah meyakini  dan mengetahui dengan jelas tanpa berijtihad atau berlajar lama di Hawzah (pesantren). 2.      Hukum-hukum syari'at yang bukan  dlaruri, artinya hukum-hukum yang tidak gamblang bagi setiap muslim yang biasa juga disebut "Ahkam Ghairu Daruriyyah"  yaitu selain hukum-hukum daruriyyah. Ahkam ghairu darûriyah ini menuntut segenap kemampuan dan kerja keras untuk dapat mengetahuinya, yaitu dengan cara menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih dan ilmu-ilmu alat lainnya (seperti, tata bahasa arab, ilmu hadits, tafsir, dll) sehingga ia dapat menentukan hukum-hukum tersebut, seperti perincian hukum-hukum ibadat dan muamalat pada umumnya. Sudah tentu tidak setiap muslim mampu melakukan pekerjaan berat semacam ini, bahkan tidak juga setiap 'Ulama mampu melakukannya. Pekerjaan seperti ini dinamakan ijtihad yang hanya dapat dilakukan oleh para Mujtahid. Untuk dapat mencapai tingkat ijtihad ini diperlukan keseriusan dalam belajar di tingkat Bahtsul Kharij, yaitu peringkat tinggi dalam pelajaran fiqih dan ushul. Tingkat Bahtsul Kharij ini dapat dimasuki oleh seorang santri/thalabeh setelah melewati peringkat suthuh. Setidaknya Menurut hemat kami,  mereka yang duduk dalam tingkat Bahtsul Kharij ini menghabiskan waktu kurang lebih atau minimalnya selama lima belas tahun untuk dapat melakukan ijtihad. Sedang peringkat suthuh  itu dapat ditempuh secara normal selama delapan tahun, setelah itu barulah ia dapat memasuki pelajaran fiqih dan ushul pada tingkat Bahtsul Kharij. Seorang Mujtahid Mutlak untuk dapat mencapai tingkat marja'iah (menjadi marja' dan nara sumber hukum bagi masyarakat umum dan secara terbuka) biasanya ada syarat-syarat yang harus ia tempuh, seperti adanya kesaksian dari beberapa orang ulama (minimalnya dua orang ahli khibrah yang adil) dan telah menulis Risâlah 'Amaliah. Seorang 'Ulama Syi'ah Imamiyah  yang merupakan seorang mujtahid dan telah mencapai tingkat marja' berkata :  " Mengingat ijtihad itu memerlukan ilmu yang "canggih", keseriusan dan kerja keras yang istiqomah, oleh karena itu sedikit sekali orang-orang yang mampu mencapai peringkat mulia dan terpuji ini.  Keadaan seperti inilah  yang menyebabkan mayoritas kaum muslimin harus merujuk kepada seorang mujtahid sebagai nara sumber dalam masalah-masalah fiqih. Dan inilah yang  disebut dengan "taqlid ".   Definisi Mujtahid, Muqallid dan  Muhtât    Mujtahid ialah : Orang yang  -dengan ilmunya yang tinggi dan lengkap-  telah mampu menggali dan menyimpulkan hukum-hukum Islam dari sumber-sumbernya yang asli seperti Al-Qur'an dan Hadits. Mujtahid inilah yang menjadi rujukan (marja') bagi orang-orang awam dan kelompok muqallid.  Muqallid ialah : Orang-orang awam yang belum atau tidak sampai kepada derajat ijtihad. Mereka ini diwajibkan ber-taqlid kepada seorang Mujtahid atau Marja' yang telah memenuhi syarat.  Pendeknya bahwa muqallid adalah orang yang ber-taqlid atau mengikuti seorang Mujtahid.  Sedang arti taqlid itu sendiri adalah beramal ibadah, ber-mu'amalah, bermasyarakat dan bertingkah laku sesuai dengan fatwa-fatwa seorang Mujtahid atau marja'.  Muhtât ialah : Orang yang juga belum mencapai peringkat ijtihad, tetapi lebih tinggi derajatnya dari mukallid karena ia telah mampu mengkaji dan membandingkan antara fatwa-fawa seorang Marja' dengan fawa-fatwa Marja' lainnya, sehingga ia dapat memilih fatwa yang lebih hati-hati dan lebih berat untuk diamalkan.  Singkatnya definisi muhtât adalah orang yang berhati-hati dalam segala amal ibadah dan perbuatannya.  Kelompok muhtât jumlahnya sangat sedikit sekali, karena ber-ihtiyât adalah termasuk pekerjaan yang berat.  Oleh karena itu, kelompok ini pun dibolehkan ber-taqlid kepada seorang marja'.   Kewajiban Bertaqlid Bagi Setiap Muslim Apabila Anda ditanya orang; Mengapa dalam agama Islam dan khususnya dalam madzhab Syi'ah Imamiah (Ahlul Bait As) setiap muslim dilarang bertaqlid -dalam masalah ushuluddin- kepada orang lain sekalipun kepada  'Ulama dan para mujtahid, tetapi dalam masalah-masalah fiqih yang bukan "daruriyyatuddin" -setiap muslim yang awam- diwajibkan bertaqlid kepada salah seorang mujtahid atau marja' ?  Jawabnya adalah : Karena setiap muslim yang berakal sehat pasti mampu untuk mencari atau memahami argumen-argumen ushuluddin/aqidah dengan menggunakan akal pikirannya, sehingga dalam masalah-masalah aqidah tidak perlu dan tidak dibolehkan bertaqlid kepada orang lain, tetapi dalam masalah-masalah fiqih /furu'uddin tidaklah demikian, artinya tidak semua orang -bahkan sedikit sekali- yang mampu menggali hukum dari sumbernya yang asli yaitu Al-Qur'an dan hadits. Hanya para Mujtahidlah yang mampu melakukan pekerjaan (ijtihad) ini.  Oleh karena itu, dalam masalah fiqih orang awam (yang belum mencapai peringkat ijtihad) diwajibkan bertaqlid kepada seorang marja'.  Dalam masalah pengetahuan umum saja, kalau kita perhatikan dalam kehidupan sehari-hari dengan kemajuan teknologi seperti pada masa sekarang ini, diperlukan adanya spesialisasi-spesialisasi dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya kedokteran, filsafat, ekonomi, politik, tehnik dan lain-lain.  Bahkan ilmu kedokteran saja bercabang-cabang lagi, nah apalagi dalam masalah agama dan hukum-hukum dalam Islam, sudah tentu sangat diperlukan adanya para mujtahid dan marja' agar orang-orang awam tidak tersesat dan tidak berani menyimpulkan dan mengeluarkan hukum sendiri.  Sebagaimana dalam masalah penyakit dan pengobatannya orang-orang awam diharuskan merujuk kepada dokter spesialisasi, maka begitu pula dalam masalah-masalah fiqih dan ahkam, yaitu orang-orang awam diharuskan merujuk kepada para mujtahid dan marja' yang telah memenuhi syarat.  Tentu saja taqlid semacam ini jauh berbeda dengan taqlid kepada orang-orang asing atau orang Barat dalam masalah budaya dan adat istiadat, karena bertaqlid kepada mereka dalam masalah ini akan menyebabkan hancurnya akidah, iman dan akhlak Islami seorang muslim.  Seorang muslim haruslah senantiasa menjaga akhlak, iman dan adat istiadat atau budayanya yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.  Dalil-Dalil Keharusan Bertaqlid Paling tidak ada lima argumen yang bisa dijadikan sebagai dasar kebolehan dan keharusan bertaqlid bagi orang-orang awam – dalam masalah-masalah fiqih – kepada  seorang mujtahid atau marja'.  Lima buah argumen itu ialah :  1.      Sirah al-'uqala (Tingkah laku orang-orang yang berakal) Argumen terpenting sehubungan dengan masalah ini adalah argumen prilaku 'uqala sepanjang sejarah kehidupan.  Dalam kehidupan sehari-hari kita saksikan bahwa mayoritas masyarakat umum senantiasa mengikuti, bertaqlid dan merujuk kepada para ahli di bidangnya masing-masing. Misalnya mereka yang bukan ahli dalam bidang elektronik ketika TV mereka rusak, mereka akan merujuk tempat-tempat servis TV dimana tenaga ahli terdapat disitu dan bahkan mereka siap mengikuti dan mengamalkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh para ahli tersebut. Janganlah coba-coba apabila Anda bukan ahli dibidangnya untuk memperbaiki TV, membongkar mesin mobil atau pun menservis komputer, karena pasti  Anda tidak akan berhasil dan mayarakat umum pun akan mencaci maki Anda. Tetapi, rujuklah para ahli di bidangnya masing-masing.  Kalau dalam urusan materi dan dunia saja harus demikian, apalagi dalam hal-hal yang berhubungan erat dengan kehidupan alam akhirat yang kekal dan abadi. Logiskah apabila Anda menanyakan apa hukumnya bekerja di bank, bagaimana cara melakukan ibadah haji dan lain-lain kepada penjual sayuran di pasar ? atau kepada ahli bangunan ?  2.   Al-Qur'an, Artinya: " Hendaklah ada sekelompok dari  orang-orang yang beriman yang mendalami masalah-masalah agama untuk memberikan peringatan kepada kaumnya".(Qs. at-Taubah: 122) Penjelasan : Ayat tersebut menunjukkan wajibnya melakukan "indzar" (memberikan dan menyampaikan peringatan kepada umat manusia akan adanya siksa Allah Swt ketika mereka tidak mentaati dan melanggar hukum-hukum-Nya). Sudah barang tentu tidak semua orang mampu menentukan, menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum Allah Swt tersebut selain para 'ulama dan mujtahid yang telah mengkaji masalah-masalah agama puluhan tahun. Dengan demikian, ayat tersebut tidak secara langsung mewajibkan orang-orang muslim yang awam  untuk bertaqlid kepada para 'ulama, maraji' dan mujtahidin yang telah memenuhi syarat. Sehubungan dengan ayat tersebut sebagian 'Ulama Ahli Sunnah berkata: "Maka dengan demikian Allah Swt telah mewjibkan kaum muslimin untuk menerima "indzar" dan peringatan yang disampaikan oleh para 'Ulama, dan hal itu berarti  "taqlid" kepada mereka".  3.     Al-Qur'an. Artinya: "Maka hendaklah kalian bertanya kepada "Ahli Dzikir" ( para 'Ulama ) jika memang kalian tidak tahu". (Qs.an-Nahl : 43) Penjelasan: Sangat jelas, bahwa ayat tersebut menunjukkan kewajiban bertaqlid bagi orang-orang awam yang belum mencapai peringkat mujtahid.  Nampaknya ayat ini lebih jelas tekanannya dibandingkan dengan ayat sebelumnya, karena ayat ini menjelaskan tugas si mukallid, hanya saja yang menjadi masalah adalah siapakah ahli dzikir yang dimaksud oleh ayat tersebut? Sehubungan dengan pengertian  ahli dzikir, ada beberapa jawaban dan pandangan yang perlu diperhatikan baik-baik  1.     Ahli ilmu dan ahli Al-Qur'anul al- Karim 2.     Ibnu Qayyim al-Jauzi berpendapat " bahwa yang dimaksud dengan ahli dzikir ialah ahli tafsir dan ahli hadits" . 3.     Ibn Hazm berkata  " ahli dzikir adalah para perawi hadits Nabi dan para 'ulama tentang hukum-hukum al-Qur'an " .  Dari beberapa jawaban dan pandangan tersebut dapat kita simpulkan bahwa seluruh umat Islam yang awam yaitu yang belum mencapai derajat ijtihad, diwajibkan untuk bertanya, mengikuti dan bertaqlid kepada Ahli Dzikir, yaitu para 'Ulama yang betul-betul telah mendalam pengetahuannya tentang al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi. Hal ini sesuai dengan penafsiran secara umum dan sesuai pula dengan kondisi sekarang ini, dimana kita hidup pada masa "ghaibah kubra"nya Imam Zaman As.  Sedang  "ahli dzikir" menurut pandangan yang lebih dalam, lebih luas dan khusus yang ditopang oleh ayat-ayat Al-Qur’an lainnya dan berbagai riwayat adalah: para Imam Ma'shum yang jumlahnya ada dua belas orang.  Ma'af, kami tidak dapat menyinggung masalah yang luas ini dalam risalah yang sederhana ini. 4.     Al-Qur'an Artinya: "Katakanlah pada mereka: 'Taatilah Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amri dari kalian'". (Qs.an-Nisa ayat : 59)  Penjelasan: Sebagian 'Ulama Ahli Sunnah menjadikan ayat ini sebagai dalil atas wajibnya bertaqlid, mereka mengatakan : " Sesungguhnya Allah Swt -dalam ayat ini- telah memerintahkan hamba-Nya agar mentaati-Nya, mentaati Rasul-Nya dan 'Ulil Amri' yaitu para 'Ulama atau para 'Ulama dan Umara. Dan taat kepada mereka berarti mentaqlidi mereka atas segala apa yang mereka fatwakan, karena sesungguhnya jika tidak ada taqlid, tidak akan ada ketaatan yang khusus kepada mereka".  Para 'Ulama Syi'ah Imamiah - berdasarkan riwayat-riwayat yang juga bersumber dari kitab-kitab Ahli Sunnah – mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "Ulil Amri" dalam ayat tersebut adalah : "Para Imam Dua Belas" setelah wafatnya Rasulullâh saw dari mulai Imâm 'Alî bin Abî Tâlib As sampai kepada Imâm Zaman al-Mahdi As.  Dengan demikian ayat tersebut berarti : " Hendaknya kalian senantiasa mentaati Allah Swt, Rasul-Nya dan para Imam Ma'sum yang 12 orang".   Sedang pada masa ghaibah kubra Imam yang ke 12 sekarang ini, kalian wajib mentaati "Wali Faqih"  yaitu Imam Ali Khamene'i  Hf dan marja' kalian masing-masing yang telah memenuhi syarat.  5.     Riwayat Imam Hasan al-Askari As Artinya:  "Adapun terhadap seorang faqih yang senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan dosa, selalu menjaga agamanya, melawan hawa nafsunya dan selalu mentaati perintah-perintah "Maula"nya, maka diwajibkan bagi semua orang awam untuk bertaqlid kepadanya".  Penjelasan: Telah jelas dan masyhur bahwa riwayat  ini menunjukkan dan menjelaskan kewajiban bertaqlid bagi semua orang awam -pada masa sekarang ini-  kepada seorang marja' dan mujtahid yang sebagian syarat-syaratnya telah disebutkan di dalam riwayat tersebut.  Kalau kita perhatikan para pengikut madzhab Ahli Sunnah di seluruh dunia pada masa sekarang ini  - di dalam masalah fiqih – sebagian mereka bertaqlid kepada Imam Syafi'i, sebagian lainnya bertaqlid kepada Imam Maliki, Hanafi dan Hanbali. Terlepas mereka itu paham atau pun tidak akan masalah taqlid, mereka sadari atau pun tidak, yang jelas mereka itu  -dalam masalah furu'uddin- bertaqlid dan mengamalkan fatwa-fatwa salah seorang dari para mujtahid dan marja' tersebut. Sedang para pengikut madzhab Syi'ah Imamiah diwajibkan untuk bertaqlid – dalam  masalah furu'uddin yang bukan daruriyyatuddîn dan pada masa ghaib kubra sekarang ini – kepada seorang mujtahid dan marja'  yang telah memenuhi syarat. Dan mayoritas mujtahidin  itu kini berada di Negara Republik Islam Iran, khususnya di kota Qum al-Muqaddasah.  Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid dan marja' yang bisa ditaqlidi, sebagaimana telah dijelaskan oleh para 'Ulama di dalam kitab-kitab fiqih mereka ialah:. 1.     Telah mencapai peringkat mujtahid. 2.     Adil. 3.     Laki-laki. 4.     Beriman ( Syi'i Imami ). 5.     Bukan anak hasil zina. 6.     Wara'. 7.     Lebih alim dari mujtahid lainnya. 8.     Dll.        Apabila terdapat beberapa orang yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut, sebagaimana kenyataan sekarang ini, maka si muqallid -untuk dapat memilih dan mentaqlidi salah seorang dari mereka- haruslah dengan bantuan dan perantara "Ahli Khibrah  ".  Ahli Khibrah   ialah: Orang-orang yang telah lama (kira-kira lebih dari 20 tahun) mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu agama sehingga mereka telah mampu menilai, menentukan dan membedakan antara Mujtahid dengan yang bukan/belum Mujtahid dan antara yang a'lam dengan yang tidak.        Menurut Imâm Khomeini Ra, Sayyid al-Qâid Hf, dll. Minimalnya harus melalui perantara dua orang Ahli Khibrah   yang adil[1] untuk dapat memilih, menentukan dan mentaqlidi seorang mujtahid atau marja'.  Dengan demikian si mukallaf atau mukallid yang awam tidak dibenarkan memilih dan menentukan marja'nya dengan penilaiannya sendiri, apalagi jika penilaian dan pemilihannya  atas seorang marja' itu didasari oleh sifat rakus dan tamaknya terhadap materi dan dunia, seperti -misalnya- jika marja' yang ia pilih itu lebih dekat dan lebih banyak memberikan bantuan kepadanya daripada marja' lainnya. Nah, dasar penilaian dan pemilihan seperti ini jelas kebatilannya, karena satu-satunya tolok ukur a'lamiah seorang marja' adalah: kelebih pandaiannya dalam beristinbat dan menetapkan suatu hukum dari sumber-sumbernya, dan sama sekali bukan yang lebih pandai dalam masalah-masalah sosial, politik apalagi materinya. Pembagian Taqlid Taqlid seseorang kepada orang lain -dalam hal apa pun dan secara rasional-     tidak keluar dari empat macam,yaitu: 1.      Taqlid seorang alim kepada alim lainnya. 2.      Taqlid seorang jahil kepada jahil lainnya. 3.      Taqlid seorang alim kepada orang yang jahil. 4.      Taqlid seorang yang jahil kepada orang alim.  Bagian pertama, yaitu taqlid seorang yang alim kepada orang alim lainnya, menurut penilaian akal sehat adalah suatu perbuatan yang jelek dan tidak terpuji, karena tidak ada alasan bagi orang yang telah mengetahui ( alim ) tentang suatu masalah bertaqlid kepada orang lain yang juga mengetahui permasalahan yang sama. Oleh karena itu, seorang mujtahid tidak dibenarkan dan tidak dibolehkan bertaqlid kepada mujtahid lainnya.  Bagian kedua, yaitu taqlid seorang jahil, bodoh dan tidak mempunyai ilmu pengetahuan kepada orang jahil yang sama. Sudah tentu akal sehat menilai perbuatan semacam ini sangat buruk dan tidak logis. Bagaimana mungkin orang yang bodoh bertaqlid kepada orang yang bodoh pula. Hal ini tidak ada bedanya dengan orang buta yang berkata kepada kawannya yang juga buta pula: "peganglah tanganku dan tuntunlah aku menuju ke suatu tempat di sana".    Bagian ketiga, yaitu taqlid seorang 'alim kepada orang jahil. Taqlid semacam ini adalah paling buruk dan hinanya perbuatan di mata masyarakat umum dan bahkan menurut penilaian anak kecil sekali pun. Mana mungkin orang yang dapat melihat dengan baik minta bantuan untuk dituntun ke suatu tempat kepada orang yang buta matanya.  Bagian keempat adalah: taqlid seorang jahil kepada orang alim dan pandai (ahli ilmu). Hal ini sangatlah wajar dan logis. Bahkan menurut akal sehat memang begitulah seharusnya, yaitu orang yang awam dan bodoh diharuskan bertaqlid dan mengikuti saran-saran, nasihat-nasihat, fatwa-fatwa dan jejak langkah ahli ilmu. Dalam hal ini, agama pun -terutama madzhab Ahlul Bait As- sangat menekankan dan mewajibkannya. Taqlid semacam ini tidaklah dikategorikan sebagai "taqlid buta" yang memang sangat dicela oleh akal sehat dan Al-Qur'an al-Karim. Contoh taqlid keempat ini tidak ada bedanya dengan seorang awam yang terkena penyakit tertentu berkonsultasi dan berobat kepada seorang dokter spesialisasi di bidangnya.  "Taqlid buta" adalah satu sifat yang sangat buruk, rendah dan tercela, yaitu ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil dan argumen yang jelas, kuat dan logis, baik dalam hal ibadat, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua dan nenek moyang, maupun kepada bangsa lain. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti lampah dan perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali. Allah Swt berfirman: "Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang menyekutukan Allah ): "ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah turunkan". Mereka menjawab: "Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami". Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah ( dari Allah Swt )" (Qs.Al-Baqarah : 170). Dengan kata lain, bahwa nenek-nenek moyang mereka itu adalah orang-orang yang bodoh dan tersesat, tetapi walau pun demikian mereka tetap mengikuti dan mentaqlidinya. Mereka menolak bertaqlid kepada orang-orang yang telah mendapat hidayah dari Allah Swt, ma'sum (terjaga) dari segala kesalahan dan dosa dan ahli ilmu pengetahuan, yang sifat-sifatnya telah jelas disebutkan oleh Allah Swt di dalam Al-Qur'an al-Karim, yaitu para Nabi, Rasul, Imam-Imam suci dan para 'ulama yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah kami singgung di atas.  Para pembaca yang budiman, mengingat risalah ini sengaja dibuat seringkas mungkin, maka kami kira bukan pada tempatnya untuk menjelaskan masalah taqlid yang lebih luas lagi, terutama yang berhubungan dengan masalah "marja'iah" dan "a'lamiah".  Secara singkat kami katakan, bagi Anda yang baru baligh atau baru masuk/pindah ke madzhab Syi'ah Imamiah  pada masa sekarang ini, dimana tidak ada kata sepakat dari para Ahli Khibrah   tentang a'lamiah seorang mujtahid atau marja',  jika ingin bertaqlid kepada seorang mujtahid atau marja', maka carilah dua orang Ahli Khibrah   yang menyaksikan dan menyatakan a'lamiahnya. Di samping itu pula, tentunya Anda dituntut untuk mengenal dan memeperhatikan Ahli Khibrah   tersebut, baik dari sisi akhlak, pengetahuan, zuhud, dll. Baik melalui cerita-cerita orang-orang yang mengenalnya, membaca biografi dan karangan-karangannya, atau dengan cara-cara lainnya. Karena Ahli Khibrah   itulah yang menyampaikan Anda kepada seorang mujtahid atau Marja' Taqlid. Sedang Marja' Taqlid itu menyampaikan dan menyambung tali hubungan Anda dengan Imam Zaman Ajf. Dan Imam Zaman Ajf adalah sebagai tali penghubung dan "Al-Urwah al-Wustqa" kepada Allah Swt bagi setiap mukallid,  bahkan secara umum bagi setiap insan dan jin yang berusaha mencari dan menelusuri jalan menuju al-Haq. Bahkan lebih dari itu, Imam Zaman Ajf yang berperan sebagai "al-Hujjah" di muka bumi pana ini, adalah sebagai tonggak dan poros utama bagi keteraturan alam semesta ini dengan segala aktivitasnya, "Lawlal Hujjah Lasaakhatil ardlu biahlihaa", jika tanpa adanya "al-Hujjah" (Imam Zaman Ajf sebagai Imam Maksum yang ke 12), akan hancur luluhlah  bumi ini dengan segenap penduduk dan isinya.  Pembahasan tentang Imam Zaman ajf sebagai 'al-Hujjah", "Wasilah" dan "Al-'Urwah al-Wutsqa" ini, berhubungan erat dengan pembahasan  "hukum kausalitas, sebab akibat dan "Sunnatullah" di dalam pelajaran dan kajian filsafat. Hal ini tidak dapat kami bahas dalam risalah sederahana ini. Namun Anda dapat menanyakannya kepada seorang Ustadz yang telah mempelajari dan mengkaji akidah Syi'ah Imamiyah dengan baik dan mendalam.  Dengan ungkapan lain yang lebih jelas sehubungan dengan peran penting kehadiran seorang marja' dan Imam Zaman Ajf dalam kehidupan kita sehari-hari, kami katakan bahwa kita tidak akan dapat mencapai makam "mardlatillah" yang murni dan sempurna tanpa mengenal Imam Zaman Ajf dan menapaki jalan-jalan syari'at dan bimbingan beliau.  Sebagaimana pula kita yang awam ini tidak mungkin akan dapat mentaati dan melaksanakan segala perintah, syari'at dan bimbingan beliau tanpa menjalankan berbagai aturan dan tata cara beribadah, bermu'amalah, bermasyarakat dst yang telah dirangkum dalam "Risâlah 'Amaliah" seorang mujtahid/marja'.  Dengan demikian, betapa urgen dan pentinganya kehadiran sebuah "Risâlah 'Amaliah" Marja' Taqlid Anda di sisi Anda. Bila hal ini dapat Anda pahami dengan baik dan benar, sehubungan dengan "Hablumminallah" dan "Hablumminannas", maka tidak ada alasan lagi bagi Anda untuk mengabaikan dan membiarkan "Risâlah 'Amaliah" jauh keberadaannya dari sisi Anda, dan tidak mungkin pula Anda akan lebih mengutamakan membaca koran-koran, majalah-majalah dan media lainnya hanya sekedar untuk mengorek-ngorek informnasi dan berita-berita dunia yang tidak ada hubungannya dengan peningkatan keimanan Anda dan tidak ada kaitannya pula dengan nasib Anda di alam akhirat yang kekal abadi.   Tidaklah mengherankan apabila terdengar  adanya satu dua orang  yang dengan sengaja mengabaikan dan tidak mempedulikan kehadiran sebuah "Risâlah 'Amaliah" dalam peraktik kehidupannya sehari-hari, dan mereka itu lebih mengutamakan sisi afkar (pemikiran)  dan aqidah global  dalam madzhab Syi'ah Imamiah, lantaran mereka belum dapat memahami dengan baik bagaimana menggapai keridlaan Imam Zaman Ajf  sebagai langkah "wasilah" menuju titik sasaran utama dan terakhir "Mardlatillah Swt".  Harapan dan do'a kami, semoga kini tidak terdengar lagi ungkapan-ungkapan seperti: "Yang penting kan pemikiran, fiqih itu tidak perlu", atau "Untuk memjadi Syi'ah cukup dengan mempercayai dua belas Imam, dan tidak perlu mempraktikkan fiqih Syi'ah sebelum akidah kita mantap". Padahal, sekedar mengkaji dan meyakini adanya dua belas Imam tidaklah ada artinya sama sekali, apabila dalam beramal ibadah masih meyakini dan mengikuti aturan-aturan yang datang dari selain meraka.  Demi untuk mempermudah para pecinta dan pengikut setia ajaran Ahlul Bait As di Tanah Air tercinta yang ingin bertaqlid kepada Imam Khamene'i Hf (Ayatullâh al-'Uzma Sayyid Ali al-Khamene'i Hf), maka kini kami tunjukkan dua orang Ahli Khibrah   yang telah menyaksikan dan menyatakan a'lamiah beliau. Dua orang Ahli Khibrah   itu ialah: 1.Ayatullâh Syaîkh Muhammad Yazdi Hf. 2.Ayatullâh Sayyid Ja'far al-Karimi Hf.   Informasi tentang dua orang Ahli Khibrah   ini kami peroleh langsung dari kantor Sayyid al-Qa'id Hf  pada tanggal 21 Rabi'ul Awwal  Th. 1421 H.   Isi surat yang kami ajukan dengan bahasa arab tersebut kurang lebih demikian isinya:  Assalamu'alaikum Wr. Wb. Bismihi Ta'ala         Dengan ini kami kabarkan kepada Antum (Petugas istiftaat) yang mulia – sesuai dengan pengetahuan kami yang dangkal – bahwa  mayoritas mutasyayyi'in di negeri kami  (Indonesia) bertaqlid kepada yang mulia Ayatullâh al-'Uzma Sayyid Ali Khamene'i Hf..  Hal itu demi menghimpun pada pribadi beliau yang mulia antara Marja'iah dan Qiyadah atau Wilayah, dan nyatanya memang maslahat menuntut demikian.  Disamping itu  pula bahwa beliau telah masyhur dengan predikat a'lam dari sisi politik, bahkan lebih dari itu, Imam Khomeini ra yang agung  telah memberikan isyarat  tentang kelayakan beliau dalam hal tersebut.  Dan para mutasyayyi'in  tersebut bertaqlid kepada beliau yang mulia tanpa muroja'ah terlebih dahulu kepada Ahli Khibrah  . Dan apabila Antum berpendapat bahwa taqlid semacam ini tidak dianggap sah, artinya: mereka itu harus muroja'ah terlebih dahulu kepada Ahli Khibrah   untuk mengokohkan a'lamiah beliau, maka hal itu merupakan tugas yang sulit buat mereka dan taklif yang tidak mampu untuk dipikul  ( Lâ Yukallifullâhu nafsan illâ wus'ahaa ).      Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan  kepada Antum yang terhormat agar kiranya dapat menunjukkan kami atau menyebutkan nama-nama Ahli Khibrah   yang mendukung a'lamiah Ayatullâh al-'Uzma Sayyid Ali Khamene'i Hf. Karena terus terang, kami sendiri tidak mampu untuk meneliti dan mohon penjelasan tentang a'lamiah beliau secara langsung dari Ahli Khibrah  .  Oleh karena itulah kami bertawassul kepada Antum untuk dapat bertaqlid kepada beliau yang mulia.  Semoga Antum mendapatkan ganjaran yang besar dari sisi Allah Swt. Amin……   Qom al-Muqaddasah,  17 Jumaditsatsni 1420 H.   Abu Qurba   Assalamu'alaikum wr. Wb.  Jawab:                                                              Bismihi ta'ala     Setelah Ahli Khibrah   seperti "Himpunan Guru-guru Hawzah" (Jamâ'atul Mudarrisin) – semoga Allah Swt memberkahi mereka – membuat kesaksian atas bolehnya bertaqlid kepada yang mulia Ayatullâh Sayyid Ali Khamene'i Hf bagi seluruh kaum muslimin dan bahwa bertaqlid kepada beliau dapat dipertanggung jawabkan dan juga setelah sekelompok dari mereka  mengadakan kesaksian atas a'lamiah beliau seperti Ayatullâh Sayyid Ja'far al-Karimi dan Ayatullâh Muhammad Yazdi  dan 'Ulama-'Ulama lainnya, maka setelah itu, tidak ada lagi peluang keraguan dan kesamaran atas sahnya taqlid mereka; seluruh ikhwan mu'minin di Indonesia, begitu pula kaum mu'minin di negara-negara lainnya.  Wassalamu'alaikum Wr. Wb.  Qom, 21 Rabi'ul Awwal 1421 H  Kantor istifta Sayid Imam Ali Khamene' Hf Appendix : Menimbang dan mengingat: 1. Adanya hubungan erat antara pembayaran, penyerahan dan pengelolaan  uang dan  harta khumus dengan masalah taqlid. 2. Banyaknya pertanyaan yang sampai di Daftar Rahbar (kantor Ayatullâh Sayyid Imam Ali Khamene-i Hf) tentang masalah penyerahan dan pengelolaan uang dan harta khumus. 3. Demi memberikan petunjuk, bimbingan dan saran syar'i kepada kaum mutasyayyi'in di seluruh tanah air tercinta dan di belahan dunia lainnya agar menyerahkan uang khumus dan mengelolanya sesuai dengan aturan, ketentuan yang berlaku dan hukum syar'i. 4.  Demi menghindari hal-hal yang tidak syar'i sehubungan dengan masalah khumus. 5. Risâlah 'Amaliah tidak menjelaskan masalah ini dengan detail dan terkadang timbul salah paham dari pembaca atau pendengar tentang masalah yang bersangkutan.  Maka – menurut al-haqir – alangkah baiknya apabila risalah taqlid singkat dan sederhana ini kami tambahkan (appendix) dengan menjelaskan beberapa masalah yang berhubungan dengan pembayaran dan pengelolaan khumus.  Masalah Pertama Hukumnya wajib membayar atau menyerahkan khumus (seperlima dari keuntungan atau kelebihan bersih, yaitu setelah digunakan untuk biaya hidup sehari-hari setelah masa satu tahun) kepada "Wali Urusan Khums" yaitu Marja' Taqlid Anda masing-masing. Jelasnya adalah apabila Anda bertaklid kepada Ayatullâh Sayyid 'Alî Khamene-i Hf, maka Anda wajib menyerahkan khumus Anda kepada beliau, apabila si Fulan bertaklid kepada Ayatullâh Sayyid Ali Sistani Hf, maka ia wajib menyerahkan khumusnya tersebut kepada beliau, dan begitulah seterusnya, sesuai dengan fatwa kebanyakan Marâji'.    Masalah Kedua Saham (bagian) Imâm Ma'sum dan saham Sadat sekalipun, wajib diserahkan kepada Wali Urusan Khumus, dan tidak boleh menggunakan atau mengelola harta khumus tersebut tanpa memperoleh izin terlebih dahulu dari Wali Urusan Khumus.  Masalah Ketiga Apabila tidak memungkinkan bagi Anda untuk membayar atau menyerahkan uang khumus secara langsung kepada Marja' Taqlid Anda, karena jauhnya tempat tinggal Anda misalnya, seperti kaum mutasyayyi'in yang tinggal di Indonesia dll, maka Anda boleh dan wajib menyerahkannya kepada wakilnya yang resmi yaitu yang telah mendapatkan surat izin dari marja' yang bersangkutan untuk mengambil dan mengumpulkan khumus tersebut untuk nantinya diserahkan kepada marja' yang bersangkutan.  Masalah Keempat Apabila Anda merasa ragu; apakah seseorang yang akan Anda serahkan uang khumus itu betul-betul telah mendapatkan surat izin resmi dari Marja' Taqlid Anda ataukah tidak, maka dalam hal ini hendaknya Anda memohon padanya dengan penuh hormat dan sopan agar ia bersedia memperlihatkan pada Anda surat izin tertulis dari Marja' yang bersangkutan. Sudah tentu, jika memang ia betul-betul sebagai wakil pengumpul khumus resmi marja' Anda, pasti ia akan menerima Anda dengan  senyum penuh sopan dan senang hati untuk memperlihatkan surat izin tersebut pada Anda.  Dan apabila ia menolak untuk memperlihatkan surat izin resmi tertulis terssebut, maka Anda bisa menghubungi Marja' Taqlid Anda via telpon atau E-mail.  Dan sebaiknya Anda tidak/jangan membayar khumus kepadanya  Masalah Kelima Apabila Anda telah atau sudah pernah menyerahkan khumus kepada seseorang, kemudian Anda merasa ragu; jangan-jangan orang yang Anda serahkan khumus itu tidak atau belum memperoleh surat izin resmi dari marja' Anda, ataupun Anda tidak merasa yakin kalau uang khumus tersebut ia sampaikan dan ia serahkan kepada marja' Anda, maka dalam hal ini hendaknya dengan penuh hormat dan sopan pula Anda minta tanda bukti pemberian khumus yang telah di stempel oleh Marja' Taqlid Anda. Karena biasanya dan pada umumnya, setiap orang dan setiap wakil urusan khumus yang menyerahkan harta atau uang khumus mutasyayyi'in kepada Marja' Taqlid yang bersangkutan, akan dicatat dengan baik dan diberikan surat tanda bukti penyerahan khumus tersebut semacam kwitansi yang telah distempel atau di tandatangani.  Apabila ia dapat membuktikan dan memperlihatkan surat tanda bukti pembayaran khumus tersebut, maka secara syar'i  khumus Anda dinilai sah.  Masalah Keenam Apabila Anda merasa yakin (dengan qârinah-qârinah dan bukti-bukti yang Anda lihat atau dengar)  bahwa si Fulan bukan pengumpul khumus bagi Marja' Taqlid Anda, atau ia tidak menyerahkannya kepada marja' Anda, atau ia menggunakan dan mengelola harta khumus itu tanpa memperoleh izin dari marja' Anda, maka dalam hal ini janganlah Anda menyerahkan khumus Anda kepada orang tersebut.  Kemudian apabila pada kondisi semacam itu Anda tetap ngeyel dan menyerahkan khumus kepadanya, apakah dalam hal ini khumus Anda itu dianggap sah ataukah tidak? Kalau tidak dianggap sah, apakah Anda wajib mengulangi pembayaran khumus lagi ataukah tidak?.  Nah, apabila hal semacam ini terjadi pada diri Anda, kami persilahkan Anda menanyakan masalah terebut kepada Marja' Taklid   Anda  via E-mail [email protected]  atau ke E-mail: [email protected]  Masalah Ketujuh Biasanya dan sudah menjadi maklum serta merupakan satu kemestian bahwa setiap Marja' Taqlid mempunyai wakil-wakil urusan/pengumpul khumus di negara-negara yang terdapat kaum mutasyayyi'in yang bertaqlid pada marja' yang bersangkutan, tanpa kecuali negara kita Indonesia. Di Indonesia terdapat beberapa orang (bukan hanya satu orang) wakil urusan khumus, zakat, hak tasarruf dan lain-lain yang biasa dikenal sebagai Umur Hisbiyah (Hal-hal yang berhubungan dengan masalah pengumpulan khumus, kafarah, zakat, pengelolaan dan penggunaannya fi sabilillah dan fi mardlatillah, dll sesuai dengan wewenang yang telah diberikan),  yang telah memperoleh surat izin resmi dari Marja' Taqlid Ayatullâh Sayyid Imâm 'Alî Khamene-i Hf.  Maka sebaiknya, sewajarnya dan sudah semestinya Anda mengenal dan mengetahui dengan baik siapakah mereka itu. Bila Anda mendapatkan kesulitan dalam mengenal mereka, silahkan Anda melayangkan surat ke alamat di atas. Bila Anda dapat memahami dan mengetahui betapa sulitnya seseorang mencapai peringkat mujtahid, terlebih lagi peringkat marja', maka Anda akan memahami dan mengetahui pula betapa tinggi derajat dan mulia kedudukan orang-orang yang telah mencapai derajat tersebut. Bila Anda pun  dapat mengerti dan mengetahui betapa sulitnya seorang Marja' Taqlid dan wakil-wakilnya (termasuk Lajnah Istiftaat) dalam menjawab dan memecahkan berbagai persoalan dan problema masyarakat muqallidnya, maka Anda pun akan mengerti dan mengetahui pula betapa tinggi, mulia, suci dan sakralnya orang-orang yang menduduki kursi marja'iyah dan juga orang-orang yang menduduki kursi wikalahnya.  Harapan dan doa kami, semoga suatu saat nanti kita sudah mempunyai seorang mujtahid yang mampu menjadi penyambung lisan Wali Faqih dan Marja' baik dalam tutur kata maupun dalam amal perbuatannya, sehingga dapat mengatasi dan menyelesaikan berbagai problema masyarakat  kaum muslimin dan kaum mutasyayyi'in khususnya.  Bukan seorang mujtahid yang malah membuat problem di tengah-tengah masyarakat Islam.  Akhi dan ukhti fillah,   ketahuilah sesungguhnya orang-orang yang telah mencapai peringkat mujtahid dan marja' (dalam makna yang sebenarnya), adalah sebaik-baiknya manusia yang hidup di muka bumi ini (setelah Imâm Ma'sum tentunya), dan jauh lebih mulia dan tinggi kedudukannya dibandingkan malaikat Allâh Swt. Sebagian dari masalah-masalah di atas, Anda dapat merujuknya pada kitab Istiftaat jilid 1,hal. 313 pada bab Wali amril khumus wa al wukala-i  wa maurid as sharf. Dengan kata lain, beberapa masalah tersebut kami tulis sesuai dengan fatwa Rahbar kita (semoga Allah Swt senantiasa menjaga beliau dan orang-orang yang loyal kepadanya).[]           -------------------------------------------------------------------------------- [1] . Yang dimaksud dengan ahli khibrah pada bab taklid adalah: Seseorang yang telah mampu menilai dan menetapkan kemujtahi dan kea’lamiyahan seseorang dan juga mampu menilai dan membedakan bahwa si fulan A sudah mencapai peringkat mujtahid atau marja’, sementara si fulan B belum. Atau si fulan A lebih alim dalam berijtihad dibandingkan dengan fulan B. kemampuannya itu diperoleh lantaran telah lama belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama seperti ushul fiqih, fiqih, tafsir dan lain-lain.  Ahli khibrah  itu tidak mesti mujtahid, artinya seseorang dapat mencapai derajat ahli khibrah sekalipun belum mencapai peringkat mujtahid. Tetapi jika seseorang telah mencapai peringkat mujtahid bisa diyakini telah mencapai maqam ahli khibrah. Hingga saat ini kami belum pernah mendengar atau menerima informasi bahwa ada di antara ikhwan kita yang telah mencapai peringkat ahli khibrah, baik ikhwan kita yang belajar di hauzah Qum al-Muqaddasah, apalagi yang tidak mengecap pendidikan hauzah ilmiah. Wallahu a’lam.   Abu Qurba http://www.abna.ir