Peran Hukum dalam Mengatur Kepentingan Manusia
Peran Hukum dalam Mengatur Kepentingan Manusia
0 Vote
107 View
Para ulama meyakini pembentukan negara merupakan suatu kewajiban utama, yang akan mendorong pada koreksi sosial, pengembangan dan kesempurnaan manusiawi. Untuk itulah, selain menurunkan al-Quran dan petunjuk-petunjuk hukum, Allah Swt juga telah menetapkan prinsip-prinsip pendirian negara dan pemerintahan eksekutif. Berdasarkan itu pulalah, dalam rangka menyebarkan dan menafsirkan wahyu, Nabi Muhammad saw membentuk lembaga eksekutif dan dewan pemerintahan negara Islam. Menurut para ulama, filosofi pemerintahan adalah untuk menyiapkan landasan penegakan hukum oleh pihak eksekutif, dan hal ini tentu saja adalah penalaran yang bisa diterima oleh semua institusi sosial dan peradaban. Hal tersebut perlu dilakukan karena keberadaan hukum semata tidak menjamin terciptanya kesejahteraan umat manusia; dengan begitu, pihak eksekutif yang tanggap harus menyiapkan jalan bagi penerapan aturan undang-undang. Ini adalah fakta yang tidak terbatasi ruang dan waktu. Mereka (para ulama) meyakini berdasarkan keniscayaan yang ditetapkan oleh syariat dan akal, sebagaimana ditekankan pada masa hidup Rasulullah saw berupa pendirian negara dan pelaksanaannya; hal itu juga berlaku pada masa kini. Berdasarkan konsep yang dijelaskan di atas, perlu dipahami bahwa berkenaan dengan status hukum, kitab hukum paling lengkap, budaya berpegang pada hukum, dan konsekuensi-konsekuensinya, para ulama mengemukakan topik-topik penting berikut ini: 1. Al-Quran sebagai sebuah kitab hukum; 2. Pentingnya kepatuhan hukum; 3. Kebahagiaan kaum Muslim seiring dengan penerapan hukum; 4. Pelanggaran hukum penyebab keterpurukan umat; 5. Perselisihan dan kegagalan adalah akibat pelanggaran hukum dan agitasi; 6. Disiplin dan kepatuhan hukum adalah pangkal persatuan dan kesatuan; 7. Perhatian terhadap hukum amar makruf; 8. Mencapai kesempurnaan dengan pemeliharaan hukum; 9. Pentingnya penerapan hukum skala luas. Al-Quran Sebagai Sebuah Kitab Hukum Berdasarkan pendapat para ulama, al-Quran adalah kitab hukum, yang mencakupi semua kebutuhan manusia dan segala hal lainnya. Ini dikarenakan al-Quran adalah kitab yang mengajarkan kemanusiaan. Segala sesuatu telah dijelaskan di dalamnya tanpa ada yang terlewatkan. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam al-Quran, Kami telah menurunkan Kitab (al-Quran) ini kepada kalian sebagai penjelas segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (muslim).[1] Kalimat ‘penjelas segala sesuatu’ menunjukkan bahwa al-Quran melampaui semua konsepsi manusia, karena ia adalah kitab hukum tertinggi. Al-Quran adalah tibyan, atau penjelas, tentu ia mempunyai sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk yang sesuai dengan tujuan pewahyuannya sebagai pemberi pelajaran bagi umat manusia. Dari sudut pandang ini, al-Quran secara eksplisit menyatakan semua syarat-syarat yang diperlukan untuk menyiapkan jalan ini (pembentukan negara). Ahli tafsir kontemporer Allamah Thabathabai menjelaskan lebih jauh penafsiran ayat di atas sebagai berikut: “Tibyan atau penjelas adalah pernyataan penegas, karena al-Quran adalah kitab tuntunan, penjelasannya ditujukan untuk semua hal artinya ia sesuai dengan setiap masalah manusia yang memerlukan tuntunan. Termasuk di dalamnya pengetahuan tentang awal penciptaan, hari kebangkitan, akhlak, aturan Ilahi, cerita, dan khotbah.[2] Ini sesuai dengan pandangan para ulama mengenai al-Quran sebagai kitab hukum terkaya (terlengkap); hukum yang mempunyai akar Ilahiah, bukan hasil pikiran manusia, karena itu ia terjauhkan dan terjaga dari setiap bentuk perubahan dan pengurangan. Keabsahan dan keotentikan al-Quran terletak pada karakter Ilahiahnya, karena itu ia menjadi sumber utama untuk memberi petunjuk pada umat manusia. Ia adalah kitab yang bermanfaat bagi setiap orang di mana pun mereka berada, baik di barat maupun di timur, masa lalu, sekarang, atau yang akan datang. Namun demikian, hanya orang-orang yang telah mengambil petunjuk darinya saja yang dapat mencapai jalan kebahagiaan. Sebaliknya, mereka yang menyia-nyiakan kitab paling berharga ini akan menciptakan masa depan yang suram bagi dirinya sendiri. Karena al-Quran adalah cahaya penuntun, mereka (orang-orang yang meraih kebahagiaan) akan menyesali orang-orang yang tidak memanfaatkan tuntunan cahaya Ilahi ini sehingga mereka harus menghuni alam kegelapan. Ayatullah Musawi mengungkapkannya sebagai berikut, “Wahai al-Quran! Wahai karunia Ilahi dan malakut! Tuhan semesta alam telah menurunkan engkau bagi kami untuk menghidupkan hati dan jiwa kami serta membuka mata kami. Engkau adalah cahaya petunjuk dan penuntun kami menuju kebahagiaan. Engkau bermaksud meningkatkan derajat kami dari tahap hewani menuju puncak tertinggi kesempurnaan manusiawi. Sayangnya, hukummu tidak diterapkan di alam ini untuk merubah alam kegelapan ini menuju alam yang terang benderang karena kedengkian para tiran yang menganggap dirinya pemuka peradaban. Dengan begitu, setiap orang bisa meraih kebahagiaan di dunia ini.”[3] Pentingnya Kepatuhan Hukum Meskipun para ulama meyakini bahwa al-Quran adalah kitab hukum tertinggi dan termulia, mereka juga menerima bahwa hukum pemerintah juga mempunyai nilai tersendiri, karena itu patut untuk ditaati jika diturunkan dari al-Quran. Menurut mereka, undang-undang dan semua hukum yang diturunkan dari syariat Islam adalah sah dan berharga. Dengan begitu, semua Muslim harus menjalankan dan melaksanakannya. Mereka menganggap kepatuhan terhadap hukum Islam sangat diperlukan dan menjadi suatu kewajiban agama. Sebagai contoh, mereka memperhatikan hukum-hukum itu dan meyakini bahwa dalam negara Islam setiap orang harus menghormati dan memelihara hukum-hukum Islam. Para ulama berkeyakinan bahwa alasan untuk secara saksama menjaga hukum dalam negara Islam didasarkan pada kenyataan bahwa hukum-hukum Islam berasal dari wahyu, al-Quran, dan hadis, yang diturunkan oleh Pencipta manusia; karenanya, Dia dan kalimat-Nya adalah (hukum) tertinggi dan berada pada peringkat (hukum) tertinggi. Dasar pemikiran ini diambil dari firman Allah dalam al-Quran, Kalimat Allah itu adalah kalimat yang tertinggi.[4] Kalimat Allah adalah kalimat tertinggi dan terunggul. Ahli tafsir besar Thabarsi menginterpretasikan ayat, ‘Kalimat Allah’ dengan makna tauhid (monoteisme). Dalam ayat al-Quran mengenai kalimat tauhid—sebagai sumber dan dasar semua aturan-aturan Islam—terdapat penentangan terhadap kekufuran dan kemusyrikan.[5] Kebahagiaan Kaum Muslim Seiring dengan Penerapan Hukum Setiap Muslim yang terpelajar menganggap ketidakberdayaan dan rendahnya semangat di masa sekarang ini, utamanya dalam menghadapi negara adidaya, dilatarbelakangi oleh kenyataan tidak diterapkannya dan tidak dipraktikkannya aturan Islam di negara-negara Islam. Begitu pun, mereka meyakini bahwa jika semua Muslim di seluruh dunia bertindak dan menjalankan kehidupan berdasarkan aturan-aturan Islam, kebahagiaan mereka akan terwujud. Dengan sikap seperti itu, Muslim dan kaum Muslim akan diperlakukan tidak selayaknya, karenanya mereka tidak berdaya, hal ini terjadi karena mereka tidak menaruh perhatian pada aturan-aturan Islam dan tidak peduli pada penerapan aturan-aturan itu. Padahal, al-Quran telah menganjurkan kaum Muslim untuk mengikuti jalan tersebut, Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.[6] Saat ini Islam terasa asing. Aturan-aturan Islam telah dikesampingkan. Padahal semestinya, al-Quran selalu hadir dalam setiap perjalanan hidup kita. Al-Quran menegaskan, Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai[7]…dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.[8] Ini adalah aturan politik yang sangat progresif, sekiranya dilaksanakan, niscaya kebahagiaan di atas bumi akan menjadi milik kalian. Kaum Muslim telah tenggelam dalam keadaan yang gelap gulita dan ketakberdayaan karena keadaan kaum Muslim telah jauh dari al-Quran. Keadaan ini menyebabkan nasib kaum Muslim dan negara-negara Islam terpuruk dalam genggaman para politikus yang kompromistis. Pelanggaran Hukum Penyebab Keterpurukan Umat Berkenaan dengan penyebab pelanggaran hukum, para ulama berkeyakinan bahwa jika umat secara moral tidak dididik dalam sebuah negara (lingkungan) Islam, mereka merasa tidak terikat untuk mematuhi hukum, dan korupsi serta pelanggaran hukum akan terjadi dalam masyarakat. Setiap orang akan menganggap dirinya bebas melakukan perbuatannya, dan karena itu dia bebas bertindak menurut keinginan dan kecenderungannya sendiri. Dengan sikap seperti itu, mereka akan melanggar hukum dan akan terjatuh dalam sikap membangkang yang akan menimbulkan kehancuran bagi diri mereka sendiri. Sebaliknya, pribadi yang terdidik secara moral akan menyadari dirinya harus mematuhi hukum dan tidak akan pernah membiarkan dirinya membangkang, melanggar, atau melakukan tindakan penentangan terhadap hukum; bahkan dia akan senantiasa menghormati hukum meskipun ketaatan itu akan membatasi kesenangan dirinya. Untuk menegaskan pandangan di atas, para ulama merujuk pada al-Quran yang secara tegas menyatakan bahwa, Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup.[9] Dalam menjelaskan ayat tersebut, almarhum Allamah Thaba’thabai menjelaskan, “Ayat itu menunjuk pada adanya ketidakpedulian manusia pada aturan-aturan Ilahi dan syariat yang telah ditetapkan bagi mereka, karena mereka menginginkan aturan yang lain dan melanggar batas-batas yang telah ditetapkan bagi mereka; setiap orang yang menganggap dirinya merasa cukup dari Allah, mereka akan cenderung pada tindakan pelanggaran.”[10] Sejalan dengan itu, Ayatullah Musawi berpendapat bahwa jiwa yang cenderung pada perselisihan akan mendorong manusia untuk melakukan pelanggaran, juga akan mendorongnya untuk berpaling dari aturan-aturan Ilahi dan melakukan perbuatan buruk; ini adalah hasil dari karakter manusia yang tidak terdidik secara moral. Lebih jauh, beliau menjelaskan, “Perbedaan di antara manusia timbul dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa mereka tidak terdidik secara moral. Tujuan tertinggi Ilahi dalam pengutusan para nabi adalah untuk mendidik moral manusia. Karena hanya dengan cara itulah, manusia dapat menemukan kebijaksanaan yang sesuai dengan al-Quran. Pelanggaran hukum tidak akan terjadi jika manusia terdidik secara moral. Perselisihan (pelanggaran) di antara manusia berasal dari pembangkangan yang mengotori jiwa mereka.”[11] Perselisihan dan Kegagalan adalah Akibat Pelanggaran Hukum dan Agitasi Para ulama berpendapat bahwa titik tolok setiap masyarakat adalah disiplin, hukum, dan budaya yang memelihara hukum. Hukum berfungsi sebagai poros kerjasama dan persatuan. Kejayaan sebuah bangsa dapat dicapai melalui ketaatan mereka dalam menjalankan hukum. Sebaliknya, bangsa apa pun, yang tidak patuh pada hukum, akan terjebak dalam perselisihan dan ini akan membawa mereka pada kegagalan dan kekalahan. Sesuai dengan kenyataan masa lalu kaum Muslim, bangsa Muslim mana pun yang pernah mengalami kekalahan, pasti didahului dengan bayang-bayang kelam ketidakpatuhan pada hukum dan kurangnya disiplin. Di masa-masa awal Islam, kaum Muslim mendapat kemenangan gemilang di berbagai medan pertempuran manakala mereka mematuhi perintah Rasulullah saw sebagai sebuah hukum yang dijamin oleh Allah Swt. Dan manakala, misalnya dalam perang Uhud, terjadi ketidakpatuhan dan pengabaian terhadap aturan-aturan hukum, mereka akhirnya menderita kekalahan. Para ulama menjadikan al-Quran sebagai rujukan mengenai hal ini, yang mana di dalamnya disebutkan, Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.[12] Ayat ini menekankan pada pentingnya menaati perintah Allah dan rasul-Nya, jika tidak maka kejayaan akan hilang. Ini berarti bahwa menaati Allah dan rasul-Nya adalah salah satu hukum Islam terpenting yang jika dilanggar akan membuka jalan bagi keterpurukan dan kegagalan. Sebab diturunkannya ayat tersebut di atas berkenaan dengan perang Uhud. Kalimat “la tanaza’u” (janganlah berselisih) menunjukkan larangan pada sikap berpecah-belah agar tidak menjadi lemah dan menjadi gentar dalam menghadapi musuh. Konsekuensi dari ketidakpedulian terhadap perintah Rasul Allah saw adalah kekalahan. Kalimat “tadzahaba rihukum” berarti adalah kejayaan dan kemenangan kalian akan hilang. Kata rih (angin) secara jelas menunjukkan bahwa jika kalian menjadi gentar akibat saling konflik, kalian akan menjadi tidak berarti sehingga suatu hembusan angin akan dapat menerbangkan kalian. Konotasi ayat ini adalah kekuatan kalian akan hilang.[13] Ayatullah Musawi berpendapat bahwa aturan yang telah dijelaskan di atas tidak terbatas pada saat peperangan saja, tetapi aturan itu berlaku sepanjang masa. Beliau menjelaskan lebih jauh, “Perpecahan dan pertengkaran akan menyebabkan kalian gagal. Wahai sahabatku, jika kalian menginginkan Islam dan bangsa… maka taatilah perintah Allah.”[14] Disiplin dan Kepatuhan Hukum adalah Pangkal Persatuan dan Kesatuan Salah satu hasil yang berharga dan membahagiakan dari kepatuhan pada hukum adalah terciptanya persatuan dan kesatuan. Kaum Muslim dalam beberapa kasus telah banyak mengalami kekalahan sepanjang sejarahnya. Para ulama meyakini bahwa disiplin dan budaya kepatuhan pada hukum akan membuka jalan pada kesatuan dan persatuan kaum Muslim. Tanpa disiplin, masyarakat (umat) tidak akan bisa memegang teguh ajaran tauhid dan tidak akan pernah bisa meraih tujuan-tujuannya. Mereka berkeyakinan bahwa tanpa disiplin, umat akan kehilangan karakter monoteistiknya. Sebuah masyarakat yang monoteistik (bertauhid) adalah masyarakat yang di dalamnya setiap orang memperhatikan kewajiban-kewajibannya masing-masing, mematuhi hukum, dengan satu batasan dan satu tujuan. Mereka menyadari bahwa ketaatan pada hukum adalah landasan bagi penerapan sikap egaliter, persatuan, dan kesatuan, sebuah pandangan yang Allah perintahkan pada semua kaum Muslim untuk dilaksanakan. Ayat al-Quran berikut menyatakan hal itu, Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara.[15] Dalam pandangan para ulama, aturan hukum negara Islam adalah suatu pendorong bagi terciptanya kesatuan dan persatuan, berdasarkan aturan itu setiap orang akan memperoleh hak-haknya, tanpa merampas hak-hak orang lain. Tatkala timbul perbedaan, hukum harus menjadi poros, begitu pun ketika terjadi konflik kepentingan dan keinginan, hukum bisa menjadi penyelamat. Menyadari bahwa sistem Republik Islam hendaknya tetap dipertahankan oleh rakyat dan para pejabat di bawah naungan cahaya hukum, Ayatullah Musawi menjelaskan, “Hukum harus dijaga dan diterapkan karena hukum Islam secara tegas telah menyatakan hal itu dan bangsa ini telah mendukungnya. Tidak boleh terjadi suatu suku atau kabilah mendirikan negaranya sendiri, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melanggar hukum. Al-Quran telah mempersaudarakan kalian; ia telah mengikat pakta persatuan di antara kalian.”[16] Perhatian Terhadap Hukum Amar Makruf Salah satu kelebihan dari masyarakat Islam adalah perintah saling mengingatkan dalam mengamalkan hukum (amar makruf). Al-Quran menegaskan hal ini sebagai syarat utama bagi sebuah masyarakat Islam. Para ulama menganggap kehidupan dan kelanggengan masyarakat Islam tergantung dari perhatiannya terhadap amar makruf nahi mungkar. Karena itu, memberi peringatan kepada para pelanggar hukum (nahi mungkar) diturunkan dari pentingnya menerapkan amar makruf seperti yang telah disebutkan di atas. Al-Quran menjelaskan hal itu dalam ayat Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.[17] Dengan begitu, perbuatan menyeru pada kebaikan dan pentingnya menyampaikan kebajikan adalah perbuatan yang sesuai dengan akal, bahkan dalam beberapa kasus menjadi suatu kewajiban agama. Mencapai Kesempurnaan dengan Pemeliharaan Hukum Tidak diragukan lagi, akibat terpenting dari penerapan hukum dalam negara Islam adalah masyarakat akan bergerak menuju kesempurnaan dan mencapai tingkat peradaban tertinggi dalam pengawasan hukum. Penerapan hukum Islam menjadi landasan yang tepat untuk mendidik sikap dan kelebihan masyarakat untuk mencapai kesempurnaan manusiawi tertinggi. Berdasarkan hal itu, pembangunan masyarakat mana pun akan tergantung pada disiplin dan pemeliharaan hukum. Pembangunan dan keadilan mempunyai hubungan yang sangat erat.; keduanya harus diterapkan di bawah tuntunan cahaya hukum Islam dan pemeliharaan hukum. Para ulama senantiasa mengingatkan setiap orang dalam negara beragama untuk memperhatikan kewajiban-kewajibannya secara saksama hingga dengan begitu negara Islam mencapai tingkat pembangunan yang diinginkan. Dengan cara ini, kekacauan sosial, agitasi, dan benturan kepentingan antara tugas dan kezaliman dapat ditekan.[18] Dalam masalah ini, Ayatullah Musawi menegaskan bahwa, “Jika setiap anggota masyarakat berusaha untuk memikul tugas dan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya, negara ini akan menuju kesempurnaan negara Ilahi. Namun jika seseorang—mencari keuntungan sendiri—berusaha mencampuri pekerjaan atau jabatan orang lain, misalnya saat dia menjadi seorang hakim dia juga ingin bertindak selaku pejabat pemerintahan, maka hal ini akan menimbulkan agitasi dan kekacauan.”[19] Pentingnya Penerapan Hukum Skala Luas Para ulama senantiasa menekankan pentingnya berpegang pada hukum dan ketinggian statusnya, karena itu mereka menganggap pelanggaran terhadap hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan agama. Mereka juga menegaskan bahwa dalam negara Islam semua hukum harus dihormati, dan setiap orang hendaknya menjaga agar tidak sampai melanggarnya, sekalipun berupa hukum lalu lintas, karena itu juga adalah hukum dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara satu hukum dengan hukum lainnya. Bahkan, mereka menegaskan bahwa Islam telah memerintahkan setiap individu, dan semua lapisan masyarakat harus berusaha untuk berpegang teguh pada tali Allah. Berpaling dari perintah ini adalah perbuatan yang tidak diperkenankan dalam agama. Para ulama percaya bahwa mempertahankan negara Islam adalah terkait dengan penerapan hukum; karena itu mereka menganggap ketidakpatuhan pada hukum Islam sebagai sebuah perbuatan yang tidak bisa diterima dan tidak terpuji. Mereka bersandar pada ayat al-Quran, Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan...[23] Almarhum Allamah Thabarsi memberi tafsiran ayat tersebut sebagai berikut, “Allah menginginkan kaum mukmin untuk menegakkan keadilan dan menjadikan sikap ini sebagai bagian dari karakter mereka baik dalam perkataan maupun perbuatan.”[24] Selanjutnya, Ayatullah Musawi menekankan pentingnya mempertahankan Republik Islam dan menyatakan, “Mempertahankan negara Islam adalah salah satu kewajiban agama.”[25] Tidak hanya itu, di kesempatan lain beliau menegaskan, “Tentu saja, segala sesuatu harus didasari dengan aturan dan disiplin… Menjaga disiplin adalah salah satu tugas kewajiban agama. Kedisiplinan ini harus diterapkan di kantor-kantor pengadilan negara; jangan sampai terjadi seorang hakim bekerja satu hari dan bolos kerja di hari lain… dalam suatu negara, segala sesuatunya harus dilandasi dengan disiplin.”[26] Para ulama meyakini bahwa al-Quran adalah kitab hukum terbaik, yang jika diterapkan akan menciptakan keunggulan kaum Muslim. Dan sebaliknya, perpecahan dan kekalahan disebabkan oleh kurangnya disiplin dan ketidakpatuhan pada hukum; seperti itu pula, pelanggaran hukum berasal dari kurangnya pendidikan moral masyarakat. Untuk itulah, penerapan hukum harus dipertahankan dan seharusnya dijadikan contoh seruan pada kebajikan (amar makruf). Untuk membuktikan pandangan yang telah dikemukakan di atas, sejumlah rujukan al-Quran yang berkaitan dengan ajaran tersebut, sejauh ini, telah disebutkan.[www.Icc-jakarta.com] Catatan: 1. QS. 16:89 2. Muhammad Husain Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, 12/324 3. R. Musawi, Sahife_ye Nur, 21/169 4. QS. 9:40 5. Fadhl bin Husain Thabarsi, Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran, 5/48 6. QS. 8:46 7. QS. 3:103 8. QS. 8:46 9. QS. 96:6-7 10. Thaba’thabai, op. cit, 10/782 11. Musawi, op. cit, 9/188 12. QS. 8:46 13. Thabarsi, op. cit, 4/842 14. Musawi, op. cit, 9/188 15. QS. 3:103 16. Musawi, op. cit, 13/27 17. QS. 3:104 18. Thabathabai, op. cit., 3/372 19. Musawi, op. cit., 13/17 20. QS. 4:150-151 21. Musawi, op. cit., 13/17 22. Muhammad Jawad Mughniyyah, At-Tafsir al-Mubin, 128 23. QS. 41:35 24. Thabarsi, op. cit., 3/189 25. Musawi, Sahife_ye Nur, 11/150 26. Ibid, 13/15 Bibliografi - Al-Quran al-Karim - Mughniyyah, M.J., At-Tafsir al-Mubin, - Musawi, Ruhullah, Sahife_ye Nur: Majmu’e_ye rahnemuzha_ye Imam Khomeini, Tehran, Markaz_e Madarek_e Enqelab_e Eslami, 1364 H.S - ---,Wilayat al-Faqih, Tehran:Sayyid Jamal - ---,Tebyan, jilid 13, Institute for Editing and Dissemination of Imam Khomeini’s Works, 1372 H.S - Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran, Beirut, Dar al-Ma’rifah, 1368 H - Thabathabai, Muhammad Husain, Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, Beirut, Muassasah al-A`lami, 1393 H Ditulis Oleh Sayyed Reza Moaddab http://www.al-shia.org