Penindasan Terhadap Perempuan di Barat

Penindasan terhadap Perempuan di Barat

  Sebagai bentuk perhatian terhadap hak perempuan, tanggal delapan Maret setiap tahun diperingati sebagai hari perempuan sedunia. Secara historis, peringatan 8 Maret berkaitan erat dengan peristiwa kebakaran Pabrik Triangle Shirtwaist di New York pada 1911 yang menewaskan 140 orang perempuan. Peringatan tahunan ini pertama kali berlangsung di tengah derasnya gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menimbulkan gelombang protes mengenai kondisi kerja perempuan.Kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil mengadakan aksi protes pada 8 Maret 1857 di New York City, dan dua tahun kemudian mereka membentuk serikat buruh perempuan. Pada bulan Desember 1977, Majelis Umum PBB mengeluarkan sebuah resolusi yang menyatakan secara resmi bahwa 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Sedunia. Tampaknya, hari perempuan sedunia dijadikan kesempatan untuk memberikan perhatian besar terhadap problematika yang dihadapi perempuan, terutama yang semakin meningkat di dunia Barat. Masalah ini menyita perhatian berbagai kalangan. Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Al-Udzma Khamenei menilai masalah penindasan terhadap perempuan di dunia Barat dipicu oleh kekeliruan mereka dalam memandang perempuan. Ayatollah Khamenei mengatakan, "Mengenai masalah perempuan, Barat telah melakukan pengkhianatan kepada kemanusiaan, khususnya kepada kaum perempuan. Menyeret perempuan dan laki-laki kepada penyimpangan moral, mengumbar hawa nafsu di tengah masyarakat dan memamerkan perempuan dengan hiasannya ke tengah medan, adalah pengkhianatan. Perempuan adalah bagian kemanusiaan yang indah dan lembut, yang secara naluriah cenderung menutup diri dan menjaga kehormatan. Keistimewaan ini ada pada sisi keindahan dan kelembutan kemanusiaannya." Di tengah pesatnya kemajuan sains dan teknologi dewasa ini, amat disayangkan dunia Barat menghadapi krisis kemanusian pada tahap yang sangat mengkhawatirkan. Korban paling besar dari krisis tersebut mengancam posisi dan kedudukan perempuan. Perempuan di Barat menghadapi berbagai masalah besar. Wanita di Barat dijadikan sebagai komoditas, bukan dari sisi kemanusiaannya. Pandangan dunia Barat memandang perempuan sebagai bagian dari komoditas industri yang menggerus kehormatannya sebagai manusia. Semua itu tidak bisa dipisahkan dari peran industri Kapitalisme, terutama industri hiburan yang dikuasai oleh Hollywood, yang melihat perempuan sebagai pemuas kebutuhan biologis laki-laki saja. Penelitian yang dilakukan Universitas California baru-baru terhadap 100 film bermuatan fornografi menunjukkan bahwa daya tarik seksual yang ditampilkan perempuan dalam film-film tersebut meningkat beberapa kali lipat dari sebelumnya. Salah seorang peneliti mengatakan,"Rata-rata dari 100 film porno yang diproduksi dan melibatkan 4200 aktor, sepertiganya adalah wanita. Dengan demikian, eksploitasi terhadap perempuan dalam produksi film porno menjadi masalah yang biasa. Inilah masalah yang sangat mengkhawatirkan." Propaganda industri Kapitalisme yang sangat gencar menjadikan wanita sebagai pasar konsumerisme dari produk kosmetika, pakaian hingga produk rumah tangga yang tidak penting. Kapitalisme Barat menggunakan konsumerisme untuk melangsungkan pertumbuhan produksinya. Untuk itu, setiap detik kehidupan kita dibombardir dengan konsumerisme, terutama dilancarkan terhadap perempuan.Di sisi lain Kapitalisme menggunakan perempuan sebagai alat propaganda untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya. Masalah lain yang dihadapi Barat adalah kekerasan baru terhadap perempuan. Standar yang ditetapkan Barat mengenai perempuan akhirnya justru menekan perempuan. Misalnya, dewasa ini dibenamkan sebuah standar baru tentang ukuran tubuh sebagai nilai baru. Demikian juga definisi "Wanita Sukses" yang disematkan di dunia Barat juga dipengaruhi oleh kepentingan industri Kapitalisme, terutama, industri kecantikan dan hiburan. Setiap hari para wanita dicekoki dengan berita tentang figur para wanita sukses yang ditayangkan media massa global dengan parameter materialistik yang dipenuhi kepentingan Kapitalis di belakangnya. Masalah lainnya dalam budaya Barat berkaitan dengan identitas perempuan di tengah masyarakat. Dunia Barat tidak melihat wanita dengan segala potensinya yang sangat besar, terutama dari sisi efeksinya yang berbeda dengan laki-laki. Psikolog terkemuka Carl Gustav Jung berkata, "Keseimbangan psikologis antara laki-laki dan perempuan berbeda. Wanita memiliki potensi yang tinggi dalam afeksi keibuannya yang menjaga dan melindungi kehidupan keluarga dengan kasih sayangnya. Di sisi lain, laki-laki memiliki rasa bermartabat, dan pandangan logis terhadap dunia. Sejatinya, keseimbangan antara keduanya akan menyebabkan kesempurnaan manusia." Dewasa ini perempuan di negara-negara Barat harus menanggung derita besar demi mengejar kebebasan dan kesetaraan dengan pria. Tanpa mempertimbangkan kondisi potensi dan psikis maupun psikologisnya, perempuan di Barat terpaksa harus bekerja membanting tulang di masa kehamilan di pabrik-pabrik dan pekerjaan berat lainnya dengan upah yang lebih kecil dari laki-laki. Negara-negara Barat mengklaim bahwa persamaan hak antara perempuan dan laki-laki di seluruh sektor merupakan cara terbaik untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan. Padahal faktanya terjadi sebaliknya. Di Amerika terjadi gelombang protes menyikapi tingginya diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan merupakan mayoritas orang miskin di Negeri Paman Sam itu. Undang-undang AS dan negara-negara Eropa menyatakan bahwa suami tidak diwajibkan untuk mengeluarkan nafkah bagi istrinya. Untuk itu, ibu yang memiliki kemampuan untuk bekerja di luar rumah, maka dirinya harus membanting tulang untuk mencari nafkah selain mengasuh anaknya. Dengan demikian, tekanan kerja yang dibarengi beratnya beban mengasuh anak menyebabkan tekanan mental bagi mereka. Berbeda dengan Barat, Islam memandang perempuan sebagai makhluk mulia dengan segala potensi agungnya. Tidak ada pihak lain yang dapat menggantikan posisi perempuan sebagai ibu dan istri. Kelanggengan spesis manusia dan perkembangan potensinya sangat berkaitan erat dengan kasih sayang dan pengorbanan ibu. Dengan kasih sayang ibu-lah yang mengubah riak gelombang kehidupan menjadi ketenangan dan ketentraman dalam lingkungan keluarga. Dalam Revolusi Islam, kaum perempuan dengan tetap menjaga peran mereka sebagai pembimbing dan ibu, masuk ke berbagai sektor seosial. Peningkatan relatif para cendikiawan, peneliti, dan pengajar perempuan di berbagai cabang ilmu, membuktikan keberhasilan perspektif Islam terhadap perempuan. Rahbar menegaskan, di negera Islam muncul banyak perempuan-perempuan jenius yang aktif di bidang pemikiran, ilmiah, juga di bidang budaya dan seni. Padahal mereka beraktifitas dengan tetap mengenakan hijab. Masalah ini merupakan perbandingan terhadap pendapat sejumlah pihak bahwa hijab bertentangan dengan kesempurnaan. Ayatullah Khamenei menilai keberhasilan kaum perempuan Iran merupakan imbas dari perhatian mereka terhadap nilai-nilai etika, spritualitas, dan kesucian, dalam aktivitas mereka sehari-hari.[Islamic-sources/IRIB Indonesia]