Syaikh Fahham: Fatwa Syaikh Syaltut Tentang Kebolehan Mengikuti Mazhab Syiah Tidak Diragukan Kebenarannya

Syaikh Fahham: Fatwa Syaikh Syaltut Tentang Kebolehan Mengikuti Mazhab Syiah Tidak Diragukan Kebenarannya

    Ketika menjadi Imam Besar Al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut mengeluarkan fatwa tentang kebolehan mengikuti mazhab Syiah. Pengganti beliau dua periode setelahnya, Syaikh Muhammad Fahham, menekankan kembali fatwa tersebut. Syaikh Fahham yang menjadi Imam Besar al-Azhar periode 1969-1973. Penjelasan beliau dalam hal ini dikutip dari buku Fi Sabiili al-Wahdah al-Islamiyyah, Sayyid Murtadla al-Ridlawi. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Membina Kerukunan Muslimin, diterbitkan Pustaka Jaya, 1984. Halaman 58-61. (majulah-IJABI)   "Almarhum Syeikh Mahmud Syaltut, Rektor Al-Azhar terdahulu sebelum Yang MuIia, telah mengeluarkan fatwa tentang diperbolehkannya orang muslim menunaikan peribadatan menurut madzhab Syi'ah Imamiyyah. Bagaimana pendapat yang Mulia mengenai hal itu?"   Beliau menjawab: "Saya termasuk orang yang mengagumi Syeikh Mahmud Syaltut, perangainya dan akhlaknya, ilmu pengetahuannya, keluasan pandangannya, dan penguasaan bahasa Arabnya, sehingga beIiau mampu menguasai tafsir Al-Qur'an dan sanggup mempelajari Ushul Fiqh (Pengantar ilmu hukum fiqh). Dengan ilmu-ilmu yang dimiIikinya itu beliau mengeluarkan fatwa. Sedikit pun saya tidak meragukan kebenaran dasar-dasar fatwa yang dikeluarkannya. Itulah keyakinan saya.”   "Memang benar, kita semua diperintah supaya saling mendekati. Itu merupakan penerapan firman Allah s.w.t., "Hendaknya kalian semua berpegang teguh pada tali Allah dan janganlah kalian berpecah-belah." Setelah saya berkunjung ke beberapa negeri Islam dan bergaul dengan ulama-ulama disana, tidak sedikit saya merasakan adanya simpati dan dapat memahami apa sebabnya mereka berpegang teguh pada hikmah-hikmah rahasia Islam. Saya juga mengetahui betapa besar keinginan mereka untuk mengadakan pendekatan antara mereka dan saudara-saudara mereka kaum musimin di semua pelosok bumi.   "Saya mengharap semoga Allah s.w.t. akan memberikan taufiqNya kepada kaum muslimin dan mempersatukan mereka. Sebab di dalam pendekatan, persatuan dan saling cinta, terdapat banyak kebajikan bagi kaum muslimin. Terutama pada dewasa ini, di mana kita ketahui banyak negeri Islam yang semula bahasa Arab belum tersebar luas di sana, mulai menggalakkan pengajaran dan penyebaran bahasa itu. Dalam hal itu 'terdapat 'kerjasama yang baik antara rakyat dan para penguasa setempat."   Saya bertanya kepada beliau, "Sebagai Rektor Al-Azhar yang telah tiga kali mengetuai Mu'tamar Ulama Islam dan telah pula mengunjungi beberapa negeri Islam, bagaimanakah pendapat Yang Mulia mengenai usaha pendekatan antara berbagai pandangan di kalangan kaum Muslimin yang berlainan madzhab?"   Beliau menjawab, '''Itu merupakan persoalan di mana kaum muslimin wajib tolong-menolong dan bekerjasama menuju pendekatan melalui kunjungan timbal-balik. Bahkan itu merupakan kewajiban utama bagi kaum muslimin. Sebagaimana diketahui, bahwa yang disebut muslim ialah tiap orang yang bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Menganut sesuatu madzhab tidak mengeluarkan orang dari keislamannya.   "Dari setiap negeri Islam yang saya kunjungi, saya memperoleh banyak manfaat. Yaitu bahwa segenap kaum muslimin bersedia mengadakan pendekatan. Dalam hal itu kita semua terdorong oleh firman Allah: "Hai manusia, kalian Kami ciptakan dari seorang pria dan wanita, kemudian kalian Kami jadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian dapat saling mengenal" (S. Al-Hujurat: 13). Jadi, saling mengenal sudah diserukan oleh Islam seJak zaman dahulu. Saling· mengenal akan membawa ke arah kerukunan, dan kerukunan akan melahirkan saling cinta, saling cinta melahirkan saling pengertian, dan saling pengertian akan membuahkan perdamaian dan kesejahteraan. Sedangkan perdamaian dan kesejahteraan adalah tujuan luhur yang senantiasa diserukan oleh Islam. Islam adalah agama cinta-kasih. Semboyan ini wajib dimengerti oleh kaum muslimin.   "Oleh karena itu tidak sedikit hal-hal yang diserukan dan disyari’atkan oleh Islam berkisar di sekitar saling cinta kasih di antara sesama manusia.   “Di antara yang disyari'atkan oleh Islam ialah memulai ucapan salam secara Islam "assalaamu ‘alaikum wa rahmatullah”. Ucapan itu saya namakan kalimat penuh hikmah di antara sesama kaum muslimin.   “Bila seseorang pada suatu ketika sedang berjalan di tengah padang pasir atau lainnya, siang atau malam, lalu berpapasan dengan orang lain, sebelum mendengar ucapan salam ia merasa dihinggapi semacam kekhawatiran, takut ancaman atau keraguan-keraguan lainnya. Tetapi setelah mendengar ucapan salam, kekhawatiran dan kegoncangannya hilang, hatinya jadi tenteram dan lega.   “Mengenai hal itu kita teringat kata-kata seorang penyair: Apa kabar pagi ini? Apa kabar petang ini? Kata tulus cerminan hati. Persaudaraan orang berbudi.   “Juga kita tidak melupakan hadits-hadits yang menyerukan cinta kasih, persaudaraan dan saling menyayangi di antara sesama kaum muslimin. Di antaranya ialah sabda Rasul Allah s.a.w, “Seseorang di antara kalian tidak benar-benar beriman sebelum menyukai untuk saudaranya segala yang disukai untuk dirinya sendiri.”   “Juga sabda beliau, "Kaum muslimin dalam persaudaraan dan kasih sayang di kalangan mereka ibarat satu tubuh. Bila salah satu anggotanya mengeluh kesakitan, maka anggota lainnya merasa demam dan tidak dapat tidur.”   “Satu hal yang juga disyari'atkan oleh Islam untuk menumbuhkan cinta kasih dan keakraban yaitu dorongan supaya tiap muslim menghormati tamunya. Mengenai hal ini Rasul Allah s.a.w. bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaknya ia menghonnati tamunya.”   "Diserukan pula supaya orang menghormati tetangganya. Sebuah hadits yang masyhur mengenai hal itu ialah sabda Rasul Allah Saw: “Jibril senantiasa mewasiatkan kepadaku tentang (kewajiban menghormati) tetangga, sehingga aku mengira bahwa tetangga itu mempunyai hak waris."   “Beliau juga bersabda, "Allah merahmati Orang yang murah hati bila ia menjual, membeIi, meminjamkan dan menyewakan." “Hadits-hadits mengenai hal-hal seperti itu sukar dihitung banyaknya. Akhlak baik dan keutamaan-keutamaan yang diwajibkan oleh Islam atas kaum muslimin, semuanya mendorong ke arah terciptanya semangat cinta kasih, persaudaraan dan saling menyayangi.   “Bahkan kaum muslimin pun wajib bergaul dengan orang-orang bukan Islam, agar dapat menjelaskan keutamaan-keutamaan agama Islam, dan untuk menghilangkan prasangka-prasangka buruk dari fikiran kebanyakan orang bukan muslim.” Sehabis pembicaraan beIiau itu, saya segera minta diri untuk meninggalkan tempat. Shaykh Muhammad Muhammad al-Fahham Shaykh al-Fahham, dilahirkan di Alexandria, Mesir padatahun 1884. Beliau memasuki pendidikan dasar Azhariyah di Institute Alexandria untuk studi keagamaan. Beliau memperoleh ijazah sekolah tinggi al-Azhar (al-`Alimiya) pada tahun 1922.   Beliau sangat menyukai pelajaran matematika, itulah sebabnya beliau juga mengajar matematika sebagai sambilan dari karirnya di al-Azhar. Pada tahun 1935 beliau ditugasi sebagai dosen Ilmu Logika di Fakultas Syari’ah.   Shaykh al-Fahham kemudian menetap di Perancis untuk mengambil program PhD. Beliau mendaftar di Universite de Sorbonne. Pada masa inilah beliau dan keluarga hidup dalam keadaan menghawatirkan karena pendudukan atas Perancis selama Perang Dunia 2. Tesis Shaykh al-Fahham adalah tentang Liguistik.   Shaykh al-Fahham juga dikenal sebagai petualang. Dengan penguasaan beliau atas bahasa Inggris dan Perancis, beliau kemudian mengunjungi negara-negara Islam dan menjalin hubungan dengan ulama-ulama dari daerah-daerah tersebut. Negara-negara tersebut termasuk Nigeria, Pakistan, Mauritania, Indonesia, dan Iran.   Beliau dipilih sebagai dekan Fakultas Bahasa Arab pada tahun 1959. Pada tahun 1969, beliau ditunjuk sebagai Imam Besar mesjid al-Azhar. Karena kondisi kesehatan beliau yang memburuk, beliau akhirnya mengundurkan diri pada tahun 1973.[Islamic-Sources/Majulah Ijabi]