Tawasul dimata Mufassir Indonesia Kontemporer 3
Tawasul dimata Mufassir Indonesia Kontemporer 3
Author :
Dede Ridwanullah
0 Vote
77 View
Pembacaan Kitab al-Barzanji pada Tradisi Maulidan Jawiyan
- Pengertian Tradisi Maulidan Jawiyan
Tradisi adalah suatu kebiasaan yang telah berlaku di masyarakat secara turun menurun. Menurut kamus besar bahasa Indonesia menyatakan bahwa tradisi adalah segala sesuatu (seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran, dan sebagainya) yang turun menurun dari nenek moyang.12 Maulidan jawiyan terdiri dari dua kata, yaitu Maulidan dan Jawiyan. Kata Maulidan secara etimologis
(kebahasaan) merupakan bentuk masdar dari kata walada-yalidu-maulīdan yang berarti lahir, muncul, dan anak. Dalam bahasa Arab, bentuk masdar bisa menjadi verbal noun atau kata benda, sehingga maulid bisa berarti kelahiran atau kemunculan sesuatu.13
Begitu juga di dalam kalender Jawa, ada nama bulan yang disebut sebagai bulan Maulud, maupun dalam kalender Hijriyah yang juga disebut bulan Rabi’ul Awwal, yang memang mengacu kepada suatu waktu dimana Nabi dilahirkan. Oleh karena itu kegiatan Barzanji disebut juga maulūdan (muludan) karena barzanji disamping berisi sejarah Nabi serta syair-syair pujian kepadanya, juga banyak dibaca pada bulan Maulud.14
Dari makna kebahasaan di atas, maka yang dimaksud dengan maulid Nabi adalah hari memperingati lahirnya Nabi Muhammad. Kata Jawiyan memiliki arti daerah jawa atau kebiasaan orang jawa. Jadi, Maulidan Jawiyan adalah hari memperingati lahirnya Nabi Muhammad yang diadakan oleh orang-orang jawa sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di jawa.
Tradisi Maulidan Jawiyan merupakan tradisi masyarakat desa Padurenan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad dengan membaca kitab al- Barjanzi dengan menggunakan gaya dan nada jawa yang dilantunkan dengan suara tinggi dan melengking.15
Pelantunan Maulidan Jawiyan berbeda dengan maulidan arab-araban biasa, yang pelantunannya hanya datar-datar saja, dan terasa ringan ketika melantunkannya. Ada 5 faktor alasan mengapa dinamakan Maulidan Jawiyan: 16
- a. Bacaan Maulid al-Barzanji dengan menggunakan aksen jawa.
- Di dalam pembacaannya kurang memperhatikan gramatikal (qaidah-qaidah) bahasa arab, karena lebih disesuaikan dengan logat orang jawa.
- c. Suaranya melengking melebihi kapasitas orang yang bersuara keras.
- Pelaksanaannya memakan tempo yang sangat lama hingga berjam-jam.
- e. Merupakan salah satu metode para wali di dalam mengemban misinya menyebarkan agama islam di tengah-tengah masyarakat.
- 2. Sejarah Tradisi Maulidan Jawiyan
Maulidan Jawiyan diperkirakan muncul sekitar abad ke 17, seiring dengan kehadiran Raden Muhammad Syarif yang berasal dari Sumenep Madura, ke desa Padurenan. Beliau datang dengan membawa tradisi baru sebagai upaya strategi dalam menyebarkan islam, yaitu Maulidan Jawiyan.
Peristiwa sejarah ini, berawal dari pemberontakan Raja Mataram (Amangkurat I) terhadap Madura yang mengakibatkan terbunuhnya ayahanda Raden Trunojoyo (Adipati Madura) di tangan Amangkurat I sendiri. Oleh karena itu Raden Trunojoyo 17 bermaksud untuk membalas dendam atas kematian ayahnya. Raden Trunojoyo memiliki pembantu yang bernama Macan Wulung Yudonegoro yang asalnya menjabat sebagai Bupati Bojonegoro. Pada tanggal 2 Juli 1677 M, Amangkurat I bisa dikalahkan oleh Raden Trunojoyo. Akhirnya Amangkurat I pun gugur dan dimakamkan di Tegal Wangi/Tegal Arum (sebelah selatan Tegal, perbatasan dengan Banyumas).
Tak lama kemudian anak Amangkurat I pun naik tahta dan bergelar Amangkurat II. Amangkurat II ingin membalas kepada Raden Trunojoyo atas kematian ayahnya. Dia pun rela bergabung dengan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis Janszoon Speelman. Akhirnya Raden Trunojoyo bisa dikalahkan dan dibunuh dengan keris pusakanya sendiri.
Setelah Raden Trunojoyo wafat, maka Amangkurat II membagi Madura menjadi 2 bagian, Madura Timur dan Madura Barat. Amangkurat II mengangkat Macan Wulung Yudonegoro (Pembantu Raden Trunojoyo) untuk menjadi bupati di Madura Timur (Sumenep) dan Congkroningrat II (paman Raden Trunojoyo) untuk menjadi bupati di Madura Barat (Bangkalan). Antara Congkroningrat II dan Macan Wulung Yudonegoro sebelumnya sudah pernah terjadi perselisihan dan pertikaian bahkan sampai kepada anaknya (Cokroningrat III).
Cokroningrat III memiliki saudara yang bernama Surya Diningrat. Surya Diningrat ini adalah kaki tangan Belanda. Suatu ketika Cokroningrat III terpukul mundur dan bersembunyi di kapal Belanda. Tak disangka di kapal tersebut dia bertemu dengan saudaranya (Surya Diningrat). Namun karena salah paham maka mereka berdua pun saling bertengkar dan berkelahi yang ujungnya Cokroningrat III dibunuh oleh Belanda (sekutu Surya Diningrat). Akhirnya, Surya Diningrat pun mengangkat dirinya menjadi Cokroningrat IV. Pada tahun 1746 M, Madura Timur (Sumenep) yang dipimpin Adipati Macan Wulung Yudonegoro diserang oleh Cokroningrat IV yang dibantu oleh Belanda. Macan Wulung Yudonegoro bisa dikalahkan dan akhirnya Madura Timur dikuasai Cokroningrat IV.18
Setelah Madura Timur jatuh ke tangan Cokroningrat IV, putra sulung Adipati Macan Wulung memilih bersekutu dan ikut bersama belanda. Sedangkan putra bungsunya yang bernama Muhammad Syarif itu, menentang belanda dan memilih untuk meninggalkan madura. Muhammad Syarif pun pergi ke jawa untuk berdakwah menyebarkan agama Islam. Selama perjalanan, Ia tidak membawa apa- apa kecuali hanya membawa satu buah gentong, kitab al-Qur’an, baju pusaka dan empat buah kelapa untuk membantu pengarungan laut ke Jawa. Dari Sumenep melewati laut utara terus ke barat sampai mendarat ke kabupaten Jepara dengan selamat.19
Setelah tiba di pesisir Jepara, ia memulai perjalanannya dari Mantingan hingga ke desa Padurenan. Selama perjalanan, ia melewati beberapa desa dengan berdakwah meskipun hanya sebentar. Tidak lupa ia juga memberi nama desa-desa tersebut, terhitung ada 12 desa atau kampung yang dinamakannya, mulai dari desa Mantingan, Syaripan (Syiripan), Mayong, Tunggul Syaripan, Gebog, Buloh, Geringging, Jurang, Ngepon, Manisan, Ngaringan, Gerjen, dan terakhir desa Padurenan. Cara menamakan daerah tersebut, cukup unik. Ada yang dinamai menurut kondisi Mbah Syarif pada waktu itu, ada juga yang dinamai dengan melihat kondisi desa tersebut. Di antaranya yaitu:20
- a. Mantingan, berasal dari kata montang-manting, karena ketika Muhammad Syarif sampai di pesisir Jepara, gentong yang dibawanya pada saat turun dari kapal goyah (montang-manting), sehingga desa tersebut diberi nama Mantingan.
- Syaripan, Muhammad Syarif menamakan desa tersebut sesuai dengan namanya yaitu syaripan/syiripan, yang diambil dari kata Syarif.
- c. Mayong, berasal dari kata moyang-moyong, karena pada waktu sampai di desa tersebut, beliau masih membawa gentong sambil mondar mandir (moyang moyong) kesana kemari. Sehingga dinamakan desa Mayong,
- Tanggul Syaripan, karena desa tersebut banyak tanggul-nya, sehingga dinamakan desa Tanggul Syaripan.
- e. Gebog, karena ketika ia sampai pada desa tersebut sudah larut malam dan gelap, tak sengaja ia tersandung oleh pohon pisang (gedebog) yang sudah tumbang. Maka, dinamakan desa Gebog
- f. Buloh, berasal dari kata tumbu21 yang isinya waloh
- g. Geringging Troso, karena pada saat dalam perjalanan beliau merasa lelah dan kakinya kesemutan (kroso geringgingen).
- Jurang, karena beliau menjumpai desa yang tanahnya naik turun dan banyak lembahnya (jurang)
- Ngepon, berasal dari nama makanan di desa tersebut, yaitu klepon
- Manisan, karena beliau melihat anak-anak desa tersebut makan manisan gula
- Ngaringan, karena di desa tersebut beliau bertemu dengan orang yang dari madura juga, sehingga hati beliau terasa aman, tentram dan damai (aring)
- Gerjen, berasal dari kata gergaji, dan terakhir
- Padurenan, ada beberapa versi yang menyebutkan asal mula desa ini disebut sebagai desa Padurenan, di antaranya yaitu desa ini disebut Padurenan karena Mbah Syarif berasal dari daerah Madura (Maduranan). Untuk mengenang Mbah Syarif, desa tersebut diberi nama Padurenan. Ada juga versi yang mengatakan bahwa desa ini dulunya banyak pohon durian. Sehingga, diberi nama desa Padurenan. Pusat buah duren pada waktu itu. Diceritakan bahwa ketika membuka lahan, Raden Syarif menemukan buah yang belum pernah beliau jumpai sebelumnya. Bentuknya seperti beluluk, bundar dan kulit luarnya berduri yaitu buah kenongo. Berhubung Raden Syarif belum tahu namanya, maka buah kenongo tadi dianggap buah yang sebangsa dengan duren (durian) atau duren-durenan. Jadi namanya desa Ndorenan. 22
Karena beliau sudah merasa nyaman dan tentram tinggal di desa Padurenan, akhirnya beliau memilih untuk menetap dan mengakhiri dakwahnya di desa tersebut.
Di Padurenan, Muhammad Syarif mencoba berdakwah dan menyebarkan agama islam secara halus, beliau tidak menggunanakan cara kekerasan. Beliau lebih suka memakai cara yang halus dalam menyampaikan ajaran-ajaran islam, dengan strategi memasukkan unsur-unsur islam ke dalam budaya jawa yang sudah ada sejak zaman dulu dan menjadi tradisi masyarakat. Sebagai upaya proses akulturasi, agar islam mudah diterima di kalangan masyarakat, beliau mengajarkan dengan membaca al-Barzanji dengan aksen jawa, melalui lagu-lagu jawa tersebut beliau berusaha memasukkan unsur- unsur islam yaitu yang terkandung dalam shalawat al-Barzanji.
Ketika pertama kali Muhammad Syarif bertempat di desa Padurenan, belum ada masjid atau musholla.23 Oleh karena itu beliau terpaksa membuat musholla yang terbuat dari batu untuk digunakan sebagai pusat aktifitas dakwahnya. Beliau juga membuat tempat mandi dan tempat wudhu berupa sendang atau belik24 yang berjumlah sepuluh (belik doso). Tetapi, hanya ada 1 belik yang masih tertinggal sampai sekarang, yaitu belik sirih.25 Setiap
Muhammad Syarif sholat, pasti sholat diatas batu tersebut sehingga membekas tangan, wajah dan kaki Muhammad Syarif.
Setelah merasa dakwahnya sudah berhasil, beliau tidak hanya ingin mendirikan musholla, tetapi juga ingin mendirikan masjid yang dapat menampung banyak orang. Untuk membangun masjid, Muhammad Syarif mempersiapkan alat-alat pertukangan dan kayu penyangga (soko). Soko yang ingin digunakan untuk membangun masjid di Gerjen diambil dan didirikan di Padurenan. Masjid bisa berdiri dengan sempurna kira-kira tahun 1209 atau 1789 M. Di atasnya soko terdapat tulisan (ghorotho/ غرط)26 terdapat petunjuk angka tahun berupa rupaning panembah panditaning ayu, yang berarti 1209 saka (1789 M). Akan tetapi Islam masuk di desa Padurenan kira-kira kurang lebih tahun 1770 M.27
Masjid Asy-Syarīf pun menjadi pusat pengembangan agama Islam waktu itu, termasuk pengajaran pembacaan barzanji dengan cengkok jawa yang disebut dengan Maulidan Jawiyan (Muludan Jawan). Pengajarannya dengan suara keras, karena disesuaikan dengan suara orang Madura yang keras ketika berbicara. Dengan aksen jawa, karena diajarkan di jawa. Menurut Kiai Aminuddin, tokoh masyarakat desa Padurenan, selama Mbah Syarif tinggal di sini, banyak orang yang berbondong-bondong untuk mengkaji ilmu dari beliau.28
Sehingga desa tersebut sangat dikenal sebagai pusat pengkajian ilmu- ilmu agama. Bahkan setiap permasalahan agama yang tidak terselesaikan di luar desa ini, bisa selesai apabila dikaji di desa ini. Karena banyak persoalan agama yang diperdebatkan atau di-padu dan bisa selesai atau leren di desa ini, maka desa tempat Mbah Syarif tinggal, diberi nama Padurenan. Asal kata padu dan lerenan.29
26 Hitungan ini menggunakan rumus Abajadun sebagaimana syair:
ش _ ز ھ ا
dengan nilai: 1= ا , 2= ب , 3= ج , 4= د , 5= ه , 6= و , 7= ز, 8= ح, 9= ط, 10= ي , 20= ك , 30= ل, 40= م ,
50= ن , 60= س, 70= ع, 80= ف , 90= ص , 100= ق , 200= ر , 300= ش , 400= ت , 500= ث, 600= خ , 700=
ذ , 800= ض , 900= ظ , 1000= غ . Jadi, ط_;C = 1000 + 200 + 9 = 1209 H.
Dalam menyebarkan agama islam, Muhammad Syarif didampingi oleh muridnya, yaitu Singo Dito30 untuk membantu berdakwah dan mengajar di desa Padurenan. Dan masyarakatpun sangat senang jika Singo Dito dijadikan pemimpin desa (menjadi kepala desa) yang pertama.31
Selain Singo Dito (Singo Padon), beliau juga mempunyai banyak murid yang lain, yang telah meneruskan perjuangannya, yaitu Raden Syuhūd (Sunan Kecacil), yang sekarang makamnya di desa Getas Rabi, Singo Taruna, Wali Jugo, Ki Wolo Dumbo, Ki Joblo, Kiai Mawardi, Nyai Siti Aisyah, dan lain-lain.
Kiai Mawardi inilah yang menetapkan hari haul Mbah Syarif, yakni setiap legi akhir bulan Muharram. Sebagai wujud penghormatan kepada pepunden32 desa Padurenan, maka setiap legi akhir bulan Muharram, masyarakat sekitar selalu memperingati haul tersebut. Penetapan hari haul ini, menurut salah satu tokoh masyarakat desa Padurenan sekarang, K.H. Aminuddin, yang tak lain adalah putra Kiai Mawardi sendiri, mengatakan ada dua kemungkinan:33
- a. Legi, karena pada waktu itu ayahnya Kiai Mawardi yang memimpin pengajian setiap Leg Maka, haul Mbah Syarif diperingati setiap legi terakhir, pada bulan Muharram.
- Legi, karena Mbah Syarif dilahirkan pada pasaran Legi.
Kata legi dalam bahasa jawa, adalah manis. Itu menandakan bahwa Mbah Syarif suka dengan hal-hal yang manis atau indah. Oleh Kiai Mawardi, kata legi diberi makna tersendiri. Tulisan legi, sebelum ejaan yang disempurnakan (EYD) bertuliskan Legie, L (lillah) E (enggon) G (golek) I (ilmu) E (estu-estu). Makna tersebut memberi motivasi kepada muridnya, agar selalu mencari ilmu dengan
sunguh-sungguh.
30 Diceritakan bahwa, “Singo Dito adalah orang yang cerdas, sabar, dan bijaksana. Pidatonya sangat manis, enak didengar dan kuat berbicara lama. Oleh karena itu tidak berselang lama, Islam di Padurenan berkembang pesat, tersebar dan didatangi oleh masyarakat di sekitarnya. Singo Dito juga sering disebut dengan Singo Padon. Makamnya juga berada di komplek makam Mbah Syarif.” Lihat Sejarah Desa Padurenan, 2012, hlm. 31. tersebut.
- Prosesi Pembacaan Kitab Al-Barzanji
Tradisi Maulidan Jawiyan diperingati setiap tanggal 12 bulan Maulud/ Rabi’ul Awal. Pada tahun ini bertepatan dengan tanggal 23 Januari 2013, bertempat di Masjid Asy-Syarīf 1 yang berukuran sekitar 8x8 meter pada bangunan utama dalam masjid, dan 8x12 m pada bangunan penunjang serambi
masjid.34 Acara dimulai ba’dal isyā’, sekitar pukul 20.00 WIB sampai pukul
01.00 dini hari. Proses pembacaan maulidan jawiyan diawali pembukaan dengan pembacaan tahlīl, pembacaan Barzanji Arab-araban (diambilkan dari kitab maulid al-barzanji natsar), pembacaan Barzanji Maulidan jawiyan (diambilkan dari kitab maulid syaraf al-anām dengan memakai logat jawa dan diselingi dengan shalawat yang berupa jawaban-jawaban maulidan jawiyan), pembacaan doa, dan terakhir mauidhoh hasanah serta penutup.
Tradisi Maulidan Jawiyan ini diikuti hampir seluruh warga masyarakat Padurenan, baik dari para sesepuh atau orang tua, orang dewasa, anak muda, anak kecil, orang kaya, orang miskin, dan dari berbagai bidang pekerjaan. Bahkan ada juga orang dari Madura yang sengaja datang pada acara ini karena ingin menghormati Mbah Syarif. Dahulu peserta maulidan jawiyan hanya dihadiri 12 orang saja karena disesuaikan dengan tanggal kelahiran Nabi Muhammad, yaitu
tanggal 12.35
Dalam proses pelantunan maulidan jawiyan, mereka dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok pertama yang terdiri dari 2 orang melantunkan bait pertama, sedangkan kelompok yang kedua terdiri dari 2 orang melantunkan bait yang kedua. Kedua kelompok ini dalam penempatannya diatur dalam posisi duduk terpisah berjauhan. Dalam mengalunkan Maulidan Jawiyan mereka mengalunkannya secara bersahut-sahutan. Ketika kelompok pertama tembangnya mendekati habis sudah disambung oleh kelompok kedua, dan ketika alunan lagu kelompok kedua belum habis benar sudah disahut oleh kelompok ketiga yang terdiri dari banyak orang.
Dengan model penempatan seperti itu, maka suara yang terdengar akan tampak seperti saling kejar dan bersahutan. Sedangkan kelompok yang ketiga ialah seluruh peserta barzanji maulidan jawiyan, kelompok yang terdiri dari banyak orang yang hadir di ruangan tersebut berfungsi sebagai penjawab dari kelompok pertama dan kedua. Jawaban maulidan jawiyan tersebut sudah diciptakan sendiri oleh Raden Muhammad Syarif.36
Mereka duduk di atas tikar atau karpet dengan sebuah meja kecil sebagai tempat kitab al-Barzanji diletakkan, di mana kelompok pertama dan kedua duduk di depan sebagai pimpinan/pembawa (mbowo) lagu dengan jarak terpisah. Sedangkan sebagian orang lainnya duduk menyebar bersama-sama anak-anak berhadapan dengan pembawa lagu yang ada di depan.
Suara yang dilantunkan dengan sedemikian kerasnya itu, berasal dari mulut pelantun Maulidan Jawiyan sendiri. Meskipun begitu, suara mereka mampu terdengar sampai radius 1 km. Tembang pujian itu dilantunkan dengan suara rendah, datar, tiba-tiba berubah dalam lengkingan suara tinggi yang vibrasif, kemudian berubah lagi dengan suara rendah yang kesemuanya berasal dari suara dalam (dada). Sehingga suara yang dihasilkan bisa panjang, melengking dan kuat.37
Dalam hal ini para sesepuh maulidan jawiyan yang didaulat sebagai pembawa (mbowo) lagu maulidan jawiyan. Dikarenakan sebagian dari mereka sudah sering melakukan ritual gurah untuk mendapatkan suara yang bagus, yang dikhususkan dalam tradisi maulidan jawiyan supaya lebih terlihat sakral dan khusyu’. Seperti yang dilakukan oleh Ahmad Taufiq (pelantun Maulidan Jawiyan generasi tua), sudah melakukan gurah sampai 3 kali, yaitu gurah cor, gurah dengan menggunakan jeruk nipis, dan gurah dengan model kencur. Ada juga yang menggunakan gurah terong/cung, gurah dengan memakai ketan, gurah dengan memakai cacing, gurah dengan memakai temu ireng, dan gurah memakai pil gurah.38
Semua proses tersebut, harus menggunakan tata cara tertentu, dan harus di bawah bimbingan para pemilik gurah serta doa-doa (mantra-mantra) yang harus diucapkan, karena berpengaruh terhadap kualitas suara seseorang. Dari semua laku tirakat gurah tersebut, hasil yang didapat pada perubahan suaranya pun berbeda-beda. Ada yang suara keras kecil melengking, ada yang keras tapi terkesan lembut. Karena itulah agar tampak keindahannya, pasangan orang yang melantunkan Maulidan Jawiyan, harus tepat dan benar, sehingga kedengarannya lebih harmonis.
Setelah melakukan gurah, ada larangan (pantangan) yang harus dilakukan, yaitu tidak boleh digunakan untuk berteriak-teriak terlebih dahulu. Apabila orang tersebut memaksa untuk berteriak, maka leher orang tersebut akan membengkak menjadi besar atau suaranya akan semakin jelek, sengau (bindeng).
Di dalam pembacaan syair al-Barzanji Maulidan Jawiyan, juga dilakukan sistem Tongsengan, yang berasal dari bahasa Arab Tausī’an, yang berarti luas. Mereka menggunakan sistem Tongsengan dimaksudkan untuk memperluas bacaan maulidan jawiyan, supaya bacaannya menjadi lebih lama dan berbeda dari daerah-daerah lain yang meniru maulidan jawiyan. Hal ini dilakukan masyarakat, karena pada zaman dahulu pernah diadakan lomba maulidan jawiyan antar daerah, oleh karena itu untuk menjadikannya sebagai ciri khas desa Padurenan (karena berasal dari Padurenan sendiri) dan strategi dalam mengalahkan lawannya maka diciptakan sistem tausī’an. Sebenarnnya dalam setiap lagu ada tausi’annya, karena para sesepuh sudah banyak yang meninggal, maka tausi’an hanya berlaku di beberapa lagu saja, yaitu pada lagu Assalāmu’alaīk dan Asyraqal
badru.39
Secara garis besar pelaksanaan pembacaan maulid terbagi atas dua bagian, yakni kegiatan pendahuluan dan kegiatan inti.
Pelaksanaan tradisi Maulidan Jawiyan diawali dengan berziarah ke makam Mbah Syarif terlebih dahulu yang diwakili oleh salah satu dari tokoh agama desa Padurenan, kemudian setelah itu, dilaksanakan kirab budaya pada siang harinya yang diikuti dari berbagai lapisan masyarakat desa, mulai dari kelompok petani, olahragawan, dan sejumlah pelajar mulai dari tingkat kelompok bermain atau "play group", TK, SD, SMP, hingga SMA. Mereka berlomba untuk menampilkan kreatifitas masing-masing, seperti permainan dari batok kelapa, egrang, wayang bambu, "drum band" menggunakan alat dari bahan bekas, dan kesenian barongan. Sebagai cluster UMKM, mereka juga menampilkan hasil kerajinan dari konveksi dan bordir. Kirab ini diadakan bertujuan untuk merayakan maulid Nabi Muhammad dan memperkenalkan tradisi Maulidan Jawiyan sebagai warisan budaya desa Padurenan. Sesudah acara kirab selesai, pada malam harinya, kegiatan utamanya yaitu Maulidan Jawiyan dilaksanakan.40
Adapun pelaksanaan tradisi maulidan jawiyan, sebagai berikut:
- a. Pembukaan (pembacaan tahlīl)
Pelaksanaan maulidan jawiyan diawali dengan membaca surat al-Fātihah dan pembacaan tahlīl, yang dipimpin oleh Bapak Kasnadi dan diikuti oleh para peserta barzanji (hadhirīn).
- Pembacaan kitab al-Barzanji Arab-araban (maulid barzanji natsar)
Seperti pembacaan barzanji pada umumnya, pembacaan kitab al- barzanji arab-araban diawali dengan membaca kalimat pendahuluan “Al- jannatu wa na’īmuhā sa’dun li man yushallī wa yusallimu wa yubārik ‘alaīh” (surga dan kenikmatannya sebagai keberuntungan bagi siapa saja yang bershalawat dan memohonkan keselamatan serta berkah atas Nabi Muhammad). Kemudian para peserta/jama’ah melantunkan syair barzanji arab-araban biasa yang terdapat di dalam kitab maulid al-Barzanji Natsar, gubahan Syeikh Ja’far bin Husein bin Abdul Karīm al-Barzanji. Prosa ini dibaca secara bergiliran di antara para hadhirin yang sanggup membacanya. Masing-masing hadhirin hanya membaca satu bagian babak cerita sampai 18
‘Aththiril, dengan dibatasi suatu jeda (fashilat) oleh pengarangnya, yaitu ucapan “Aththirillāhumma qabrahul karīm * bi ‘arfin syadziyyin min shalātin wa taslīm” (semoga Allah mengharumkan dan mewangikan kuburnya (Nabi) yang mulia, dengan keharuman wangi-wangian shalawat dan salam sejahtera). Pada setiap kalimat yang terdapat kata Shallallāhu ‘alaihi wasallam dan setiap akhir kalimat dalam prosa yang dibaca, hadhirin selalu menjawabnya dengan salawat.
- c. Pembacaan kitab al-Barzanji Maulidan Jawiyan
Pembacaan syair al-barzanji maulidan jawiyan terdapat di dalam kitab maulid Syaraf al-Anām, gubahan Abdurrahmān bin Ali al-Dibā’i al-Zabidy. Syair yang dibaca pada tradisi ini sebanyak 7 macam Nazhaman (syair yang dilagukan) dengan jawaban yang berbeda-beda, setiap lagu atau nazhaman
diberi nama yang diambilkan dari kalimat yang ada di depannya.
Dalam pembacaan lagunya, dipimpin oleh 4 orang munsyid (pembawa lagu) dari kelompok pertama (2 orang) dan kelompok kedua (2 orang), di antara nama lagu syair maulidan jawiyan, yaitu:
1) Assalāmu’alaīk (Iftitāh sebagai “pembuka”)
Di dalam syair ini terdapat 52 bait yang dibacakan, pembacaan syair dipimpin oleh 2 orang (kelompok pertama saja), yaitu bapak H. Asnawi dan bapak Khusnan, kemudian ditirukan dan dijawabi oleh peserta maulidan jawiyan. Pembacaan syair diawali dengan dengan bacaan “Allāhumma sholli wa sallim wabārik ‘alaīh”(Ya Allah tambahkanlah shalawat dan salam serta berkah atas nabi Muhammad), dan setiap bait dijawabi para peserta, yaitu pada bait ke 36 sampai 45 yaitu “Shallallāhu ‘alaīk”. Sedangkan jawaban syair pada bait ke 46-52 yaitu “Radhiyallāhu ‘anhum”. Lagu pertama ini, dilakukan perluasan (tausī’an) dengan syair “Innā fatahnā ....” sampai “Walhamdu lillāhi robbil ‘ālamīn”.
2) Bisyahri
Ada 8 bait syair yang dibaca pada lagu Bisyahri, syair yang kedua ini dipimpin oleh 4 orang dari kelompok pertama dan kedua, yaitu bapak Abdul Manaf, bapak Zakaria, bapak H. Furqan dan bapak Muastaqim. Setiap bait dijawabi oleh peserta maulidan jawiyan. Jawaban syair Bisyahri ialah “Sholātun wa taslīmun wa azkāt tahiyyah * ‘Alal musthofal mukhtāri khoiril bariyyah”.
3) Tanaqqolta
Syair ini berisi 8 bait yang dipimpin oleh kelompok pertama, bapak Umar Dasūqy, bapak Ali Ulwani dan kelompok kedua, oleh bapak Nūr Awashil dan bapak Ahmad Farūq. Sedangkan kelompok ketiga (peserta maulidan jawiyan), menjawabi. Jawaban syair Tanaqqolta ialah “Yā hū Allāhu Allāhu Allāhu Allāhu Allāhu Robbunā * Yā hū Allāhu Allāhu Allāhu Allāhu Allāhu Hasbunā”. “Lā ilāha illallāh 3x * Muhammad Rasūlullāh 2x Nābi ākhiriz zamān”.
4) Wulidal Habīb
Syair Wulidal Habīb berisi 12 bait, yang dibawakan oleh 2 kelompok yaitu kelompok bapak Fasfahis Sofhal Jamīl, bapak Abdur Rahman dan kelompok bapak Asrori dan bapak Asfan. Setiap bait dijawabi oleh peserta maulidan, jawaban syair Wulidal habib ialah “Shollā robbunā ‘alā
muhammad muhammad syafi‘ul anām * fī kulli yaumin nūrun tajallā tajallā
‘alaihis salām”. “Shollā ‘alaikallāhu yā ‘allamal hudā * ya man yusammā ahmad wa muhammad”. “Shollū ‘alā man jā ana bil bayyināt * ahmad muhammad musthofā yā syafī’inā”.
5) Alhamdu Lillāhi
Ada 6 bait yang dibaca pada syair Alhamdu. Pembacaan syair ini dipimpin oleh pasangan bapak Ahdhori, bapak Amin Sholih dan pasangan bapak Khotibul Umam, bapak Sailan. Setiap bait dijawabi dengan jawaban “Sholātun wa taslīmun wa azkat tahiyyah * ‘Alal musthofal mukhtāri khoiril bariyyah yā maulā jallā jallā jalāluhu”. “Sholātun wa taslīmun wa azkat tahiyyah yā maulā * ‘Alal musthofal mukhtāri khoiril bariyyah ya maulā”. “Shollā ‘alaikallāhu yā ‘adnāni sailillāh * ya musthofā yā shofwatar rohmān yā Allāh”.
6) Badat Lanā
Di dalam syair ini terdapat 8 bait yang dilantunkan, dengan 4 munsyid (pembawa lagu) secara bersahutan, yaitu bapak Bushrā, bapak Khoirul Amīn dan bapak Nur Sa’īd, bapak Hamli. Setiap bait dijawabi oleh peserta maulidan jawiyan, dengan jawaban “Allāh yā musthofā syai‘ul lillāh yā nuro man nurillāh ya hūw maulā * Allāhu yā khotamal anbiyā‘i yā sayyidal mursalin yā maulā yā hūw yā hūw”. “Hūw lā ilāha illallāh yā allāh allāhu ya allāhu maujūd * Muhammad yā rasulallāh yā allāhu allāhu ya allāhu ma’būd”. “Maulā yā sholli wa sallim dā’iman abadā * ‘alā habībika khoiril kholqi kullihim”. “Yā musthofā syai’ul lillāh yā nūro man nūrillāh * Yā khotamal anbiya yā sayyidal mursalīn.
7) Asyroqol badru
Puncak kekhidmatan pelantunan terletak pada saat frasa “Nabi kita terlahir” (wulida nabiyyunā) dibacakan. Pada momen ini, semua yang hadir berdiri dan seketika itu menyambutmya dengan kata-kata marhaban, yā mushtafā (selamat datang wahai sang terpilih) atau yā nābi salām ‘alaika (wahai Nabi, semoga berkah Tuhan terlimpah atasmu).
Syair yang terkhir ini terdiri dari 6 bait dari kitab maulid barzanji natsar (wa muhayyan) dan 37 bait dari kitab maulid syaraful anam (Asyraqal badru).41 Pembacaan syair ini dilakukan dengan berdiri atau sering disebut dengan Mahallul qiyām (tempat berdiri). Ada yang menarik dalam Asyraqalan (serakalan) ini, ketika syair dilantunkan, sebagian dari mereka ada yang pergi berwudlu. Hal ini dilakukan untuk menyambut kehadiran Nabi Muhammad.42
Pembacaan lagu Asyroqol badru dipimpin oleh 2 kelompok, kelompok pertama dilantunkan oleh bapak Hafizh dan bapak Mamnuh, kelompok kedua dilantunkan oleh bapak Syaikhon dan bapak Syauqi. Sedangkan kelompok ketiga, para peserta maulidan jawiyan, menjawabi. Jawaban setiap bait Asyroqol badru berbeda-beda, 6 bait yang dari maulid barzanji natsar,
jawabannya sebagai berikut:43
- a) Pada bait pertama dan kedua (syair Wa muhayyan dan Lailatul maulīdi), jawabannya “Marhaban yā nūrol ‘ainī marhaban * Marhaban jaddal hussaini marhaban”.
- b) Pada bait ketiga dan keempat (syair Yauma nālat dan Wa ātat), jawabannya “Marhaban yā nūrol ‘ainī marhaban ya Allāhu Allāh yā marhaban * Marhaban jaddal hussaini marhaban ya Allāhu Allāh yā marhaban”. Pada bait kelima dan keenam (syair Maulīdun kāna dan Wa tawālat), jawabannya ialah “Marhaban yā nūrol ‘ainī marhaban marhaban * Marhaban jaddal hussaini marhaban yā yā marhaban”.
Sedangkan dari 37 bait maulid syaraful anam, jawabannya yaitu:
- a) Pada bait 1 sampai 6 bait (syair Asyroqol badru – Anta iksīru), jawabannya
“Yā nābi salām ‘alaika * yā rasul sālam ‘alaika”. “Allāh yā habīb salām
‘alaika * Allāh Allāh sholawatullāh ‘alaika”.
- b) Pada bait kelima 7 sampai 8 (syair Yā habībi – Yā muayyad), jawabannya
“Yā nābi salām ‘alaika * yā rasul salām ‘alaika”. “Ya habīb salām ‘alaika
* Sholawatullāh ‘alaika”.
- c) Pada bait 9 sampai 14 (syair Man ro’a – Was tajārot), jawabannya ialah “Allāh 6x yā maulā robbunallāh * yā nābi yā syafī’ullāh Allāh musthofal mahbūba nāsidu”.
- d) Pada bait 15 sampai 18 (syair ‘Indamā - Naḥwahā), jawabnnya“Marhaban yā nūrol ‘ainī yā nābi marhaban * Marhaban jaddal hussaini yā rasūl
marhaban.
- e) Pada bait 19 sampai 20 (syair Kullu man – Wa lahum), jawabnnya“Allāh marhaban yā nūrol ‘ainī marhaban yā marhaban * Allāh marhaban jaddal hussaini marhaban yā yā marhaban”.
- f) Pada bait 21 sampai 24 (syair Fī ma’ānika – Fīka qad), jawabnnya“Marhaban yā nūrol ‘ainī marhaban2x bi marhaban * Allāh marhaban jaddal hussaini marhaban2x bi marhaban”.
- g) Pada bait 25 sampai 26 (syair Fa’aghitsnī – Yā ghayātsī), jawabnnya“Allāh
6x Rabbunallāh * yā nabiyyullāh yā syafī’ullāh Allāh Allāh musthofal mahbūba nāsidu”.
- h) Pada bait 27 sampai 28 (syairt Sa’īda - Fīka), jawabnnya“Allāh 4 x laulan nābī lashthofainā * Allāh 4x jarrol makkah wal madīnah.”
- i) Pada bait 29 sampai 30 (syair Laisa azkā – Fa’alaika), jawabannya Shollallāhu alā muhammad yā maulā * Shallallāhu ‘alaihi wasallam yā maulā.”
- j) Pada bait 31 sampai 37 (syair Yā waliyya – Robbī farhamnā), jawabnnya“Marhaban yā nūrol ‘ainī 2x * marhaban jaddal hussaini yā marhaban.”
Dari ketujuh lagu diatas, lagu yang paling berat pembawaannya yaitu pada lagu wulidal habib. Karena nadanya yang sangat panjang dan tinggi. Pembacaan tersebut hanya dilakukan pada 7 lagu, dikarenakan apabila syairnya dibaca semua waktunya bisa sampai subuh. 44
- Pembacaan Doa
Setelah syair Asyraqal badru selesai dibacakan, para hadhirin atau peserta kembali duduk, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa dari kitab maulid syaraful anam dan juga ditambahkan dengan doa-doa yang lain. Pembacaan doa dipimpin oleh bapak Khoirul walid. Lantunan syair-syair “Amīn Yā Allāh Yā
Rahmānu Yā Rahīm” dari para peserta maulidan jawiyan disertai beberapa lirik syair sendiri yang menggambarkan kecintaan dan kerinduan terhadap Allah dan terutama Rasul-Nya.
- e. Mauidhah Hasanah
Setelah pembacaan doa, dilanjutkan dengan pengisian mauidhah hasanah oleh seorang kyai yang bernama bapak K.H. Aminuddin Mawardi. Beliau menerangkan isi atau makna yang terkandung dalam tradisi maulidan jawiyan dan diceritakan pula sedikit dari sejarah Mbah Syarif. Materi disampaikan sekitar 10-15 menitan. Kemudian setelah selesai prosesi tradisi tersebut, diakhiri dengan pembacaan surat al-Fātihah bersama-sama.
- f. Pembagian berkat maulidan
Pada zaman dahulu hidangan makanan saat acara maulidan jawiyan disediakan berupa opor atau disebut dengan istilah porjipat (opor siji kanggo wong papat) yang dibagikan setiap 4 orang. Tetapi, seiring berkembangnya zaman, berkat maulidan dimodifikasi dengan makanan ringan dan buah-buahan yang dibungkus dalam kardus yang dijadikan satu dengan nasi dan daging berkuah, bahkan juga dengan lauk ikan asin, dan disertai kopi. Hidangan makanan yang dibagikan selalu habis, karena mereka beranggapan bahwa barokah (berkah) dari pembacaan Barzanji pada maulidan jawiyan terdapat pada makanan
tersebut.45
12. W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm. 1088.
13. Ahmad Muthohar, Maulid Nabi: Menggapai Keteladanan Rasulullah SAW, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren), hlm. 9.
14. Radjasa Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi: Studi Tarekat dalam Masyarakat
Industri, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 172.
15. Muhammad Kharis, Tradisi Maulidan Jawiyan yang Jadi Indikator Bagi Calon Suami, “Jawa Pos”, Jum’at 16 April 2010, hlm. 4.
16. Hasil wawancara dengan Bapak K.H. Aminuddin Mawardi, Tokoh Masyarakat desa Padurenan, pada tanggal 30 Maret 2013.
17. Raden Trunojoyo adalah orang yang alim, keras, berani melawan orang kafir (Belanda) dan mubaligh yang berani. Oleh karena itu perang Trunojoyo ini sering disebut dengan perang Sabilillah.
18. Ahsinillaits Zuba’i, Sejarah Desa Padurenan, (Kudus: MP3EI UMK dan Pemerintahan Desa Padurenan, 2012), hlm. 11-12.
19. Ibid., hlm. 13.
20. Ibid., hlm. 14-19.
21. Tumbu adalah wadah atau tempat terbuat dari anyaman bambu atau rotan dengan mulut berbetuk lingkaran, sedangkan bagian bawahnya berbentuk segiempat yang ukurannya lebih kecil dari ukuran bagian mulutnya.
22 M. Nasrurrohman, Sambil Berdakwah, Namakan Beberapa Desa yang Disinggahi, “Radar Kudus”, Rabu 18 Febuari 2009.
23 Musholla adalah tempat untuk sholat meskipun tidak berbentuk bangunan.
24 Sendang/belik adalah kolam di pegunungan dan sebagainya yang airnya berasal dari mata air yang ada di dalamnya, biasanya dipakai untuk mandi dan mencuci, airnya jernih karena mengalir terus.
25 M. Nasrurrohman, Buat Sepuluh Belik untuk Menghindari Musuh, “Radar Kudus”, Selasa 27 Januari
2009, hlm. 5
27 Ahsinillaits Zuba’i, op. cit., hlm. 21.
28 Hasil wawancara dengan Bapak K.H. Aminuddin Mawardi, Tokoh Masyarakat desa Padurenan, pada tanggal 4 April 2013.
29 Ibid., hlm. 7.
31 Ahsinillaits Zuba’i, op. cit., hlm. 32.
32 Pepunden adalah orang yang pertama membuka lahan dan menyebarkan agama islam di daerah
33 M. Nasrurrohman, Buat Sepuluh Belik untuk Menghindari Musuh, “Radar Kudus”, Selasa 27 Januari 2009, hlm. 7.
34 Muhammad Kharis, Jadi Pusat Takbiran tapi Tidak Ada Jama’ah Shola Id dan Jum’atan,“Jawa
Pos”, Kamis 9 September 2010, hlm. 8.
35 Hasil wawancara dengan Bapak Abdul Mun’im, Ketua Jama’ah maulidan Jawiyan “Al-Khoirot”, pada tanggal 6 April 2013.
2013.
36Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Taufiq, sesepuh desa Padurenan, pada tanggal 18 Januari
37 Hasil wawancara dengan Bapak Ainul Yaqin, penikmat Maulidan Jawiyan, pada tanggal 3 Mei 2013.
38 Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Taufiq, sesepuh desa Padurenan, pada tanggal 4 April 2013.
39. Hasil wawancara dengan Bapak Ainul Yaqin, penikmat Maulidan Jawiyan, pada tanggal 3 Mei 2013.
40. Hasil wawancara dengan Bapak Mustahal, warga desa Padurenan, pada tanggal 23 Januari 2013.
41. Terdapat 2 versi nadham Marhaban yakni, yang dicantumklan al-barzanji dalam maulid syaroful anam berisi 37 pasang bait dengan bait pembuka “ya nabi salam”. Lihat Majmu’at hal. 129-132. Versi yang satu lagi tercantum dalam maulid al-Barzanji nadham terdiri dari 39 pasang bait, dan dibuka dengan nadzam “shallallahu ‘ala muhammad” (jika digabung dengan ini terdiri dari 40 bait nadzam), atau yang populer dipakai pembuka adalah bait Marhaban Ya Marhaban ya marhaban. Llihat Ibid., hal. 172-175
42 Hasil wawancara dengan Bapak Abdul Mun’im, Ketua Jama’ah Maulidan Jawiyan “Al-Khoirot”, pada tanggal 2 Mei 2013
43 Hasil wawancara dengan Bapak Mustahal, warga desa Padurenan, pada tanggal 4 April 2013.
45. Hasil wawancara dengan Bapak K.H. Aminuddin Mawardi, Tokoh Masyarakat desa Padurenan, pada tanggal 4 April 2013.