Tawasul dimata Mufassir Indonesia Kontemporer 4

A.    Pandangan Mufassir Indonesia Tentang Tawassul Dalam Al-Qur’an

Tanpa diragukan lagi manusia termasuk makhluk yang tingkat ketergantungan dengan Sang Pencipta sangatlah tinggi. Dengan segala kelemahannya Ia meminta dan berdoa, agar segala kebutuhannya dapat tercukupi  dengan  baik,  bukan  hanya  dalam  kehidupan  dunia  akan  tetapi sampai di akhirat nanti. Manusia dalam berdoa, adakalanya dilakukan melalui cara langsung (hubungan makhluk dengan al-Khalik) dan adakalanya melalui cara langsung (perantara) atau yang lebih dikenal dengan nama Tawassul.

Tawassul adalah masalah khilafiyah diantara para ulama Islam, ada yang memperbolehkan  dan  ada  yang  melarangnya,  ada  yang  menganggapnya sunnah dan ada juga yang menganggapnya makruh. Kita umat Islam harus saling menghormati dalam masalah khilafiyah dan jangan sampai saling bermusuhan. Dalam menyikapi masalah tawassul kita juga jangan mudah terjebak oleh isu bid’ah yang telah mencabik-cabik persatuan dan ukhuwah kita. Kita jangan dengan mudah menuduh umat Islam yang bertawassul telah melakukan bid’ah dan sesat, apalagi sampai menganggap mereka menyekutukan Allah, karena mereka mempunyai landasan dan  dalil  yang kuat.

Dalam al-Qur’an setidaknya terdapat dua ayat yang memperbolehkan adanya tawassul, yaitu Surat al-Maidah ayat 35 dan Surat al-Isra ayat 57.

1.    Allah SWT berfirman dalam surat al-Maidah: 35 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah  jalan  yang  mendekatkan  diri  kepada-Nya,  dan  berjihadlah  pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.

2.    Dan Surat al-Isrā’ ayat 57 yang berbunyi:

Artinya : orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.

Dari kedua ayat diatas, setidaknya ada beberapa arti dari kata tawassul, diantaranya adalah: mencari sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah, kedudukan  didalam  surga,  media  untuk  mendekatkan  diri  kepada  Allah berupa pemberian atau perbuatan baik, segala sesuatu yang dapat menjadi sebab sampainya sebuah tujuan, sarana untuk mendapatkan ridho Allah.

Menurut hemat penulis substansi tawassul adalah sebuah sarana memperoleh  keinginan  pribadi  melalui  orang  lain  dan  sekaligus  sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui orang lain, baik itu masih hidup atau sudah meninggal akan tetapi seseorang yang bertawassul tersebut tidak boleh meminta kepada selain Allah. Hakiki dari tawassul adalah sesuatu yang dijadikan sebagai perantara (mutawassul bih) hanyalah berfungsi sebagai pengantar dan atau mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Siapapun yang berkeyakinan selain dari itu, maka berarti ia telah menjadi syirik

Setelah penulis teliti terdapat kesamaan mengenai pemahaman tawassul dalam al-Qur’an dengan Mufassir-mufassir Indonesia kontemporer. Dalam al- Qur’an sudah sangat jelas membolehkan adanya tawassul baik melalui orang- orang yang memiliki keutamaan di sisi Allah, seperti para Nabi, orang shaleh baik di dunia maupun akhirat, dan meliputi pula tawassul dengan amal shalih ini, tentu setelah terjadinya amal shaleh tersebut. Sejalan dengan al-Qur’an corak pemikiran para mufassir Indonesia kontemporer kesemuanya membolehkan adanya tawassul namun dengan beberapa syarat yang mereka jelaskan. Seperti, Menurut Quraish Shihab Wasilah adalah sesuatu yang menyambung dan mendekatkan sesuatu dengan yang lain atas dasar keinginan yang kuat untuk mendekat. Tentu saja banyak cara yang dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada ridha Allah. Namun, kesemuanya haruslah yang dibenarkan oleh-Nya. Ini bermula dari rasa kebutuhan kepada-Nya. Selain   hal   yang   tersebut   diatas,   Quraish   Shihab   berpendapat   bahwa bertawassul itu diperbolehkan selama tidak menimbulkan kemusyrikan atau tidak mendekati kepada hal-hal yang mengakibatkan terjerumusnya seseorang kedalam jurang kemusyrikan.

Adapun menurut KH. Bisri Mustofa, beliau menyanggah penafsiran kata wasilah yang ditafsirkan amal sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah, seperti yang dikemukakan oleh para mufassirin. Menurutnya, perintah takwa yang disebutkan dalam ayat ke 35 Surat al-Maidah sudah otomatis mencakup perintah amal. Karena takwa berarti menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Apabila wasilah ditafsirkan amal maka terjadi taqrar atau pengulangan. Agar tidak terjadi pengulangan maka kata wasilah harus ditafsirkan lain, yaitu bahwa tawassul dan ziarah kepada orang- orang yang sholeh bukan berarti menyembah kepada mereka. Tetapi tujuan daripada tawassul adalah tabarruk kepada kekasih Allah Swt, sedangkan yang memberi pada hakikatnya hanyalah Allah Swt semata.

Lain halnya dengan pemikiran Hamka, bahwa wasilah adalah selalu berusaha  mendekatkan  diri  kepada  Tuhan,  atau  mencapai  Tuhan.  Yaitu dengan  memperbanyak amal  ibadat,  berbuat  kebajikan,  menegakkan budi yang tinggi, belas kasihan kepada sesama manusia, dan amal shalih, disertai memperbanyak doa yang langsung kepada Tuhan. Menurut Hamka ayat ini menunjukkan dengan jelas garis yang wajib kita tempuh sebagai Muslim di dalam menuju kejayaan dan kemenangan jiwa. Yaitu: Pertama: Takwa kepada Allah, Kedua: Wasilah yaitu mengatur jalan supaya dapat cepat sampai kepada Allah dengan Ibadat,amal shalih, dan doa. Ketiga: Berjihad bersungguh-sungguh atau bekerja keras mengatasi segala penghambat perintang yang akan menghambat kita akan sampai kepada keridhaan Allah.

B.  Corak Pemikiran Mufassir Indonesia Kontemporer Tentang Tawassul

Persoalan Tawassul dan wasilah sebagaimana telah dikemukakan oleh para mufassir Indonesia di atas, ternyata menarik perhatian penulis untuk menganalisa sedikit pandangan pemikiran para mufassir Indonesia ini. Dalam pembahasan ini penulis akan mencoba menganalisa terhadap pandangan tiga mufassir Indonesia antara lain:

1.    Pemikiran M. Quraish Shihab

Sebagaimana telah disebutkan didepan bahwa praktek tawassul pada hakikatnya berkaitan dengan persoalan berdo’a kepada Allah. Hanya dalam berdo’a ini ada yang melakukannya secara langsung kepada Allah. Tetapi ada yang melakukannya kepada orang-orang shaleh yang masih hidup tetapi banyak juga yang melakukannya tatkala mereka sudah meninggal. Menurut Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir al-Misbah di dalam tafsir ayat 35 dari Surat Al-Māidah.

Ayat ini dijadikan oleh sementara ulama sebagai dalil yang membenarkan apa yang diistilahkan dengan tawassul yakni mendekatkan diri kepada Allah dengan menyebut nama Nabi SAW dan para wali (orang-orang yang dekat kepadanya), yakni berdoa kepada Allah guna meraih harapan demi Nabi dan atau para wali yang dicintai oleh Allah SWT.

Sementara orang–tulis As-Sy’rawi mengkafirkan orang-orang yang bertawassul. Tentu saja, bila ia percaya bahwa sang wali memberinya apa  yang  tidak  diizinkan Allah atau  apa  yang tidak wajar diperolehnya, maka hal ini terlarang. Tetapi, jika ia bermohon kepada Allah dengan didasari kecintaannya kepada siapa yang ia yakini lebih dekat kepada Allah daripada dirinya, maka ketika itu cintanya yang berperanan bermohon, dan dalam saat yang sama ia yakin tidak akan memperoleh dari Allah sesuatu yang tidak wajar diperolehnya.

Menurut Penulis, Quraish Shihab menukil perkataan Mutawalli As Sya’rawi di atas dan tidak memberikan sanggahan terhadapnya, adalah sekurang-kurangnya ada dua poin yang menjadi catatan bagi perkataan Mutawalli As-Sya’rawi di atas: Pertama: Definisi tawassul menurut As-Sya’rawi adalah: “mendekatkan diri kepada Allah dengan menyebut nama Nabi SAW dan para wali (orang-orang yang dekat dengan-Nya), yakni berdoa kepada Allah guna meraih harapan demi Nabi dan atau para wali yang dicintai oleh Allah SWT.” Definisi ini definisi yang sempit karena  seakan-akan  yang  disebut  tawassul  hanyalah  hal  itu  saja. Yang benar, tawassul adalah “melakukan hal-hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah” sebagaimana dikatakan oleh Mujahid,  Abu  Wail,  Hasan  Al-Bashri,  Abdullah  bin  Katsir,  As- Suddi,  Ibnu  Zaid  dan  lain-lain.  Al-Hafidh  Ibnu  Katsir  menukil perkataan para imam tersebut kemudian berkata: “Yang dikatakan oleh para imam diatas tidak menimbulkan beda pendapat di kalangan ahli tafsir.1”

Dari   sisi   pemikiran   seluruh   karya   tulis   Quraish   Shihab ditemukan kesimpulan bahwa secara umum karakteristik pemikiran keislaman  Quraish  Shihab  adalah  bersifat  rasional  dan  moderat.2

Sifat rasional pemikirannya diabdikan tidak untuk, misalnya, memaksakan agama mengikuti kehendak realitas kontemporer, tetapi lebih coba memberikan penjelasan atau signifikasi khazanah agama klasik  bagi  masyarakat  kontemporer  atau  mengapresiasi kemungkinan pemahaman dan penafsiran baru tetapi dengan tetap sangat menjaga kebaikan tradisi lama. Dengan kata lain, dia tetap berpegang pada adagium ulama al-muhafaszah bi al-qadim al-shalih wa  al-akhdz bi  al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama  yang masih relevan dan mengambil tradisi baru yang lebih baik)3.

Dalam bidang Fikih atau Ushul Fikih, Penulis melihat bahwa Quraish Shihab menggunakan tafsir bil Ra’yi (orang yang berpegang pada akal). Pemikiran beliau termasuk pada golongan Asy’ariyah dan Ma’turidiyah Bukhara yang mana aliran tersebut dapat dikatakan sebagai kaum tradisionalis, yakni kaum atau aliran yang lebih banyak menggunakan  pendapat  Al-Qur’an  dan  Sunnah  sebagai  sumber hukum Islam.4

2.    Pemikiran KH. Bisri Mustofa

Berbeda dengan Quraish Shihab, KH.Bisri Mustofa dalam tafsir al-Ibriz masuk kategori aliran tafsir tradisional merujuk sikap setia terhadap doktrin-doktrin Islam,  normatif dan  sejalan dengan pemikiran mainstream. Meskipun demikian, dalam hal teologis, KH. Bisri  Mustofa  cenderung kepada  pemikiran  Mu’tazilah dibanding Asy’ariyah.5 Dalam konteks ini, pemikiran KH. Bisri Mustofa masuk

kategori  liberal,  karena  selama  ini  Mu’tazilah  dikenal  sebagai pemikir yang rasional dan liberal.6  Sejauh penelitian penulis, pendekatan corak tafsir al-ibriz tidak memiliki kecenderungan dominan pada suatu corak tertentu. Al-Ibriz cenderung bercorak kombinasi antara fiqhi, sosial-kemasyarakatan dan sufi. Dalam arti, penafsir akan memberikan tekanan khusus pada ayat-ayat tertentu yang bernuansa hukum, tasawuf atau sosial- kemasyarakatan. Metode yang digunakan dalam tafsir al-ibriz ini adalah tafsir yang bersumber dari al-Qur’an itu sendiri. Artinya, ayat al-Qur’an ditafsirkan menurut bunyi ayat tersebut bukan ayat dengan ayat.maka dari itu tafsir al-Ibriz ini dikenal dengan tafsir yang sangat sederhana. Ayat-ayat yang sudah jelas maksudnya, ditafsirkan mirip dengan  terjemahannya,  sedang  ayat-ayat  yang  memerlukan penjelasan lebih dalam diberikan keterangan secukupnya.

Seperti terlihat dari penafsiran KH.Bisri Mustofa dalam menafsirkan ayat tawassul, beliau menafsirkan apa adanya sesuai dengan arti dari ayat-ayat tersebut, tanpa memberi penjelasan yang lebih mendalam mengenai dari sisi sebab-turun ayat tersebut. Dalam ayat tersebut penafsir tidak memberikan keterangan tambahan apapun saat menafsirkan ayat tertentu, nyaris seperti terjemahan biasa.

Dilihat  dari  bidang  Ushul  fiqh,  KH.  Bisri  Mustofa menggunakkan tafsir bil ma’tsur.7 Mengacu pada pendapat ini, tafsir al-Ibriz bentuknya yang sederhana karena penafsir tidak secara langsung mendasarkan penafsirannya pada ayat-ayat al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi Muhammad. Mengenai persoalan bertawassul, penulis berkesimpulan bahwa hadis-hadis ahad  sebagaimana yang telah  dikemukakan oleh  KH. Bisri   Mustofa   dapat   juga   dijadikan   acuan   untuk   menetapkan bolehnya bertawassul dengan orang yang sudah meninggal, karena persoalan do’a dengan bertawassul termasuk persoalan ibadah bukan masalah akidah.

3.    Pemikiran H.Abdul Malik Karim Amrullah

Menurut hemat penulis, pemikiran Hamka dalam tafsir al- Azharnya bila ditinjau dari sisi sumber rujukan penafsiran yang dipergunakan, Hamka menggunakan manhaj naqli (tafsir bil- matsur/tafsir  bi  al-riwayah).  Dari  sudut  pandang  madzhab  yang dianut dapat penulis katakan bahwa tafsir al-azhar bercorak salafi ijtima’i,  dalam  arti  hamka  menganut  madzhab  Rasulullah  dan sahabat-sahabat beliau dan ulama-ulama yang mengikuti jejak beliau. Dikatakan bercorak ijtima’I karena banyak mengedepankan fenomena-fenomena sosial-kemasyarakatan dalam upaya menyampaikan pesan, kesan, tuntutan, dan tuntunan al-Qur’an.

Seperti terlihat dalam penjelasannya mengenai penafsiran ayat tawassul, hamka mendasarkan hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh  perawi  kenamaan  sebagai  rujukan  penafsiran  beliau  yang menganut madzhab Rasulullah SAW.

1. Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz II, (Singapura: Sulaiman Mar,I,) hlm. 52-53 2. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005), hlm. 365 3. Badri Yatim dan Hamid Nasuhi (ed), Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1957-2002. Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002, hlm. 261. 4. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia, ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2001), hlm. 64 5. M. Ramli HS. Corak Pemikiran Kalam KH. Bisri Mustofa: Studi Komparatif dengan Teologi Tradisional Asy’ariyah, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1994). 6. Tentang Mu’tazilah , lihat misalnya Harun Nasution, Teologi Islam: Analisa Perbandingan Sejarah dan Madzhabnya, (Jakarta: UIPress, 1986) 7. Abu Rokhmad, MA. Heurmeneutika Tafsir Al-Ibriz: Studi Pemikiran KH. Bisri Mustofa dalam Tafsir al-Ibriz, Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2004). Hlm. 87.