Tawasul dimata Mufassir Indonesia Kontemporer 5 selesai
Tawasul dimata Mufassir Indonesia Kontemporer 5 selesai
Author :
Dede Ridwanullah
0 Vote
112 View
Berangkat dari uraian yang telah penulis paparkan dalam bab-bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa:
- Makna tawassul dalam al-Qur’an bisa dilihat pada Surat al- Mā’idah ayat 35, yang menjelaskan tentang perintah untuk mencari jalan (wasilah) yang bisa mendekatkan diri kepada Allah. Jadi tawassul adalah mencari jalan kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Makna tawassul dalam Surat al- Māidah ayat 35 tersebut meliputi tawassul dengan orang-orang yang memiliki keutamaan di sisi Allah, seperti para Nabi, orang shaleh baik di dunia maupun setelah mereka meninggal, dan meliputi pula tawassul dengan amal shaleh ini, tentu setelah terjadinya amal shaleh tersebut. Selain itu, dalam surat al-Isrā dijelaskan juga mengenai tawassul, bahwasanya wasilah adalah sesuatu (ibadah) yang mendekatkan diri kepada Allah. Itulah sebabnya Allah berfirman :”yabtaghuma” yakni mereka mencari sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, berupa amal sholeh. Demikianlah makna tawassul dalam al-Qur’an.
- Corak pemikiran para mufassir Indonesia tentang tawassul adalah sebagai berikut, yaitu:
Dari sisi pemikiran seluruh karya tulis Quraish Shihab ditemukan kesimpulan bahwa secara umum karakteristik pemikiran keislaman Quraish Shihab adalah bersifat rasional dan moderat.1 Sifat rasional pemikirannya diabdikan tidak untuk, misalnya, memaksakan agama mengikuti kehendak realitas kontemporer, tetapi lebih coba memberikan penjelasan atau signifikasi khazanah agama klasik bagi masyarakat kontemporer atau mengapresiasi kemungkinan pemahaman dan penafsiran baru tetapi dengan tetap sangat menjaga kebaikan tradisi lama. Dengan kata lain, dia tetap berpegang pada adagium ulama al- muhafaszah bi al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang masih relevan dan mengambil tradisi baru yang lebih baik)2.
Dalam bidang Fikih atau Ushul Fikih, Penulis melihat bahwa Quraish Shihab menggunakan tafsir bil Ra’yi (orang yang berpegang pada akal). Pemikiran beliau termasuk pada golongan Asy’ariyah dan Ma’turidiyah Bukhara yang mana aliran tersebut dapat dikatakan sebagai kaum tradisionalis, yakni kaum atau aliran yang lebih banyak menggunakan pendapat Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam.3
- Pemikiran KH. Bisri Mustofa
Berbeda dengan Quraish Shihab, KH.Bisri Mustofa dalam tafsir al-Ibriz masuk kategori aliran tafsir tradisional merujuk sikap setia terhadap doktrin-doktrin Islam, normatif dan sejalan dengan pemikiran mainstream. Meskipun demikian, dalam hal teologis, KH. Bisri Mustofa cenderung kepada pemikiran Mu’tazilah dibanding Asy’ariyah.4 Dalam konteks ini, pemikiran KH. Bisri Mustofa masuk kategori liberal, karena selama ini Mu’tazilah dikenal sebagai pemikir yang rasional dan liberal.5
1 Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005), hlm. 365
2 Badri Yatim dan Hamid Nasuhi (ed), Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1957-2002. Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002, hlm. 261.
3 Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia, ( Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2001), hlm. 64
4 M. Ramli HS. Corak Pemikiran Kalam KH. Bisri Mustofa: Studi Komparatif dengan Teologi
Tradisional Asy’ariyah, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1994).
Sejauh penelitian penulis, pendekatan corak tafsir al- ibriz tidak memiliki kecenderungan dominan pada suatu corak tertentu. Al-Ibriz cenderung bercorak kombinasi antara fiqhi, sosial-kemasyarakatan dan sufi. Dalam arti, penafsir akan memberikan tekanan khusus pada ayat-ayat tertentu yang bernuansa hukum, tasawuf atau sosial- kemasyarakatan. Metode yang digunakan dalam tafsir al- ibriz ini adalah tafsir yang bersumber dari al-Qur’an itu sendiri. Artinya, ayat al-Qur’an ditafsirkan menurut bunyi ayat tersebut bukan ayat dengan ayat.maka dari itu tafsir al- Ibriz ini dikenal dengan tafsir yang sangat sederhana. Ayat- ayat yang sudah jelas maksudnya, ditafsirkan mirip dengan terjemahannya, sedang ayat-ayat yang memerlukan penjelasan lebih dalam diberikan keterangan secukupnya.
Seperti terlihat dari penafsiran KH.Bisri Mustofa dalam menafsirkan ayat tawassul, beliau menafsirkan apa adanya sesuai dengan arti dari ayat-ayat tersebut, tanpa memberi penjelasan yang lebih mendalam mengenai dari sisi sebab- turun ayat tersebut. Dalam ayat tersebut penafsir tidak memberikan keterangan tambahan apapun saat menafsirkan ayat tertentu, nyaris seperti terjemahan biasa.
Dilihat dari bidang Ushul fiqh, KH. Bisri Mustofa menggunakkan tafsir bil ma’tsur.6 Mengacu pada pendapat ini, tafsir al-Ibriz bentuknya yang sederhana karena penafsir tidak secara langsung mendasarkan penafsirannya pada
ayat-ayat al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi Muhammad saaw
Mengenai persoalan bertawassul, penulis berkesimpulan bahwa hadis-hadis ahad sebagaimana yang telah dikemukakan oleh KH. Bisri Mustofa dapat juga dijadikan acuan untuk menetapkan bolehnya bertawassul dengan orang yang sudah meninggal, karena persoalan do’a dengan bertawassul termasuk persoalan ibadah bukan masalah akidah.
- c. Pemikiran H.Abdul Malik Karim Amrullah
Menurut hemat penulis, pemikiran Hamka dalam tafsir al-Azharnya bila ditinjau dari sisi sumber rujukan penafsiran yang dipergunakan, Hamka menggunakan manhaj naqli (tafsir bil-matsur/tafsir bi al-riwayah). Dari sudut pandang madzhab yang dianut dapat penulis katakan bahwa tafsir al-azhar bercorak salafi ijtima’i, dalam arti hamka menganut madzhab Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau dan ulama-ulama yang mengikuti jejak beliau. Dikatakan bercorak ijtima’I karena banyak mengedepankan fenomena-fenomena sosial-kemasyarakatan dalam upaya menyampaikan pesan, kesan, tuntutan, dan tuntunan al- Qur’an.
Seperti terlihat dalam penjelasannya mengenai penafsiran ayat tawassul, hamka mendasarkan hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh perawi kenamaan sebagai rujukan penafsiran beliau yang menganut madzhab Rasulullah SAW.
B. Saran-saran
Berdasarkan pembahasan dan uraian dalam skripsi kami yang berjudul Pandangan Para Mufassir Indonesia Kontemporer Tentang Tawassul:
- Penulis menganggap penting untuk diangkat dan didiskusikan secara lebih mendalam. Hal ini sangat relevan dan signifikan untuk dikembangkan sebagai sebuah kajian kritis terhadap suatu pemahaman. Kiranya menimbulkan kesadaran untuk senantiasa berpegang teguh kepada al-Qur’an dengan pemahaman yang utuh dan mendalam. Diharapkan dengan itu, akan menghindarkan kita dari kesalahan pemahaman dalam menangkap pemaknaan dan pemahaman terhadap isi kandungan al-Qur’an.
- Tetapkan niat dalam hati bahwa tawassul yang dilakukan tersebut hanya sebagai perantara terkabulnya do’a, sehingga tidak menganggap bahwa yang ditawassuli (al-mutawasal bih) hanya sebagai perantara.
- Sempurnakan iman terlebih dahulu sebelum melakukan tawassul sehingga tidak akan mengubah maksud dan tujuan dari tawassul tersebut.
C. Penutup
Demikianlah penulisan skripsi ini yang dapat penulis selesaikan dengan baik walaupun masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Kesemuanya ini tidak lain hanyalah atas rahmat dan inayah Allah semata-mata. Mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah wawasan terutama kekhazanah Islamiyah sekaligus dapat memberikan kontribusi kepada para pembaca muslim untuk lebih banyak menelusuri karya-karya pemikir Islam yang pada gilirannya kita akan lebih dapat menghargai jerih payah dan perjuangan mereka.
Kemudian pada akhirnya akan memotivasi kita dan menumbuhkan minat untuk mengikuti jejak dan meneruskan perjuangan mereka yang sangat mulia. Amiin Ya Robal Alamin.
5 Tentang Mu’tazilah , lihat misalnya Harun Nasution, Teologi Islam: Analisa Perbandingan
Sejarah dan Madzhabnya, (Jakarta: UIPress, 1986)
6 Abu Rokhmad, MA. Heurmeneutika Tafsir Al-Ibriz: Studi Pemikiran KH. Bisri Mustofa dalam Tafsir al-Ibriz, Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2004). Hlm. 87.