Iran, HAM, dan Nuklir

Negosiasi nuklir Iran mencapai tahap kritis. Sementara pihak lawan terus menyerang Iran di PBB dengan dalih catatan Hak Asasi Manusia (HAM), pengamat yang adil akan bertanya-tanya: tidakkah Republik Islam Iran sedang diperlakukan tidak adil pada isu-isu nuklir dan hak asasi manusia? Jawabannya, tentu saja! Dibandingkan dengan Iran, P5 + 1 negara justru ‘penjahat’ nuklir dan, bisa dibilang, penjahat HAM. Dan jika kita membandingkan Iran dengan negara-negara Timur Tengah lainnya, termasuk rezim-bersenjata-nuklir Israel dan rezim despotik Arab Saudi, ketidakadilan terlihat lebih jelas. Mari kita mulai dengan 2 anggota utama P5+1: imperium tua penghegemoni, AS, dan kekuatan ekonomi tercepat di dunia, China. Kedua negara itu memiliki senjata nuklir dan sama-sama tidak pernah memperlihatkan keinginan untuk mengurangi atau memusnahkan simpanan senjata nuklir mereka, sebagaimana yang diatur oleh Nuclear Non-ProliferationTreaty (NPT). Hulu ledak nuklir yang dimiliki AS adalah 7.700 unit (menurut Global Zero) atau 5.000 unit (menurut pengakuan militer AS). Sementara China memiliki hulu ledak nuklir antara 300-4000 unit (tergantung data mana yang Anda percayai). Penolakan negara-negara pemilik nuklir untuk melucuti senjata mereka, adalah pelanggaran yang sangat berbahaya terhadap NPT dan AS, China, Rusia, Prancis, dan Jerman semua bersalah. Tidak ada satu pun dari negara ini yang melakukan usaha sekecil apapun untuk mematuhi NPT. Semua senjata nuklir mereka dalam keadaan siap siaga untuk ditembakkan. Dan, ada Israel, yang menolak menandatangani NPT, dan bahkan memiliki senjata nuklir per kapita terbanyak di dunia. Israel secara terbuka mengancam dunia dengan “the Samson option”: jika Israel dipaksa untuk menghentikan sistem apartheid sebagaimana dulu dunia memaksa Afrika Selatan, Israel mengancam akan menghancurkan ibu kota negara-negara Eropa dan Timur Tengah dengan senjata nuklir. Siapa saja yang mencari negara beringas non-NPT yang mengancam dunia, tak perlu repot-repot lagi, karena jelas jawabannya adalah Israel. Dua negara berbahaya di halaman belakang Iran juga memiliki senjata nuklir: India and Pakistan. Mereka pun tak menandatangani NPT. Keduanya berkali-kali berseteru dan hampir terseret ke dalam perang, yang dipastikan akan berujung pada perang nuklir. Krisis nuklir India-Pakistan sangat nyata, tapi krisis nuklir Iran adalah khayalan. Agen intelijen AS dan Israel mengakui bahwa Iran tidak membangun senjata nuklir. Pemimpin Tertinggi Iran yang kata-katanya adalah hukum, telah menegaskan ulang doktrin Bapak Revolusi Islam, Ayatollah Khomeini, bahwa senjata nuklir adalah “haram”. Selain itu, sejarah Iran mencatat bahwa Iran adalah negara defensif, bukan agresor. Hollywood yang didominasi oleh Zionis harus mengorek sejarah jauh ke belakang, yaitu perang Greco-Persian yang terjadi 2500 tahun yang lalu, dalam film anti-Iran “300” untuk mengisahkan invasi Iran ke Yunani. Karena setelah itu, Iran hampir tak pernah lagi melakukan invasi. Jadi, ada apa sebenarnya dengan isu nuklir Iran ini? Jawabannya satu kata: politik. Kemajuan Iran dalam program energi nuklir, bersama dengan pencapaian sains dan teknologi adalah sinyal kesuksesan Republik Islam, di tengah-tengah sanksi embargo Barat-yang disetir Zionis. Musuh Iran tidak menyukai kesuksesan itu. Jadi mereka menggunakan isu apa saja untuk menghancurkan Iran. Seiring dengan isu nuklir palsu, musuh-musuh Iran juga melakukan upaya mencemarkan catatan HAM Iran. Resolusi PBB baru-baru ini menyerang Iran pada isu HAM dengan disponsori oleh Stephen Harper dari Kanada. Bagi banyak orang Kanada, termasuk Profesor Anthony Hall of University of Lethbridge, Harper dikenal sebagai antek rezim Zionis di Kanada. (Harper adalah alat politik dari keluarga Bronfman; bagian dari jaringan kejahatan terorganisir yang terkait dengan Zionis, yang telah memainkan peran penting dalam politik Kanada sejak 1930-an.) Buku Professor Hall, “Earth into Property and The American Empire and the Fourth World” secara detil menceritakan genosida mengerikan terhadap penduduk pribumi yang dilakukan oleh pemerintah AS dan Kanada. Banyak yang menilai bahwa pemusnahan penduduk pribumi Amerika Utara dan penghancuran budaya mereka adalah genosida terburu sepanjang sejarah umat manusia; melebihi holocaust Nazi yang sangat banyak dipublikasikan. Bahkan hari ini, penduduk asli Kanada dan AS ditindas secara brutal, meskipun, tidak seperti orang Palestina, setidaknya secara resmi mereka memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan dibolehkan meninggalkan kamp reservasi mereka. Resolusi anti-nuklir Iran yang disponsori Israel melalui boneka Kanada-nya, mengandung sejumlah tuduhan yang sangat aneh. Anehnya, resolusi itu menuduh Iran “mengeksekusi atas 1.000 lawan politik dan tahanan dalam satu tahun terakhir.” Itu adalah kebohongan besar. Yang benar adalah bahwa Iran -tidak seperti sekutu AS-Kanada-Israel, yaitu Arab Saudi – tidak mengeksekusi orang untuk kejahatan-politik-tanpa-kekerasan. Orang yang dijatuhi hukuman mati di Iran adalah kejahatan seperti pembunuhan, terorisme, atau penyelundupan narkoba. Meski sistem peradilan Iran tidak sempurna, sebagaimana semua sistem peradilan di dunia ini, tidak ada bukti bahwa peradilan Iran lebih buruk daripada sistem Amerika, dimana jutaan orang kulit berwarna masuk penjara melalui tawar-menawar pembelaan paksa, mengolok-olok jaminan Konstitusi. Dan ada banyak pembunuhan di luar peradilan (ekstra-yudisial) AS, misalnya pembunuhan tanggal 22 November 1963, yaitu pembunuhan John F. Kennedy oleh CIA. Kejahatan Presiden Kennedy di mata CIA dan militer garis keras AS adalah, dia telah menjadi pendukung perdamian dan menyusun rencana perlucutan senjata internasional secara total, sebagaimana ditulis oleh James Douglass dalam bukunya JFK and the Unspeakable. Pembunuhan ekstra-yudisial seperti itu terus berlanjut di AS. Salah satu kasus yang sangat mengejutkan adalah pembunuhan politisi pencinta perdamaian Senator Paul Wellstone, bersama istri, anak perempuan, dan staf kampanye-nya pada tahun 2002. Wakil Presiden Dick Cheney, yang mengeluarkan ancaman kematian kepada Wellstone sepekan sebelum pembunuhan itu adalah tersangka utama. Untuk detailnya, silahkan baca “American Assassination: The Strange Death of Paul Wellstone” yang ditulis oleh Four Arrows and Jim Fetzer, atau lihat video “Wellstone: They Killed Him.” Apakah hal-hal seperti itu terjadi di Iran? Saya tidak tahu. Tetapi setelah tiga kali berkunjung ke Iran, juga membaca buku-buku yang cukup tentang Iran, termasuk yang ditulis oleh penentang Iran, kesan yang saya tangkap adalah sistem politik Iran cukup stabil, damai, dan demokratis, terutama bila dibandingkan dengan tetangga-tetangganya di Timur Tengah. Jauh lebih banyak korupsi dan kekerasan di AS dibanding dengan di Iran. Salah satu contoh yang sangat mencolok: sementara Iran menghukum mati penyelundup narkoba, AS membiarkan CIA beroperasi sebagai penyelundup narkoba terbesa di dunia, dan bahkan membunuh di luar hukum jurnalis ternama yang mengungkap fakta ini, seorang penerima penghargaan Pulitzer Gary Webb. Jika AS dan Kanada benar-benar ingin agar Iran menghentikan eksekusi terhadap teroris dan penyelundup narkoba, mereka harus berhenti mendukung para teroris dan penyelundup itu. Lebih khusus lagi, mereka harus berhenti mendanai MEK, salah satu kelompok teroris terkejam di dunia. Dan mereka harus menarik diri dari Afghanistan, di mana para gembong narkoba yang berhubungan erat dengan CIA menanam dan memasarkan opium sejak 2001, tahun ketika AS menginvasi Afghanistan untuk memulihkan perdagangan opium yang telah ditutup oleh Taliban. Pemulihan perdagangan opium berfungsi untuk memperbaiki likuiditas bank-bank dan perusahaan besar yang bergantung pada pencucian uang perdagangan narkoba untuk menopang keseimbangan neraca keuangan mereka. Pendek kata, menyerang program nuklir dan catatan HAM Iran tidak saja absurd, tetapi mencatatkan rekor dunia kemunafikan. Negara-negara hegemon, yang terus mengomel tentang negara lain, sebaiknya mengurusi rumah tangga mereka sendiri.() *Dr Kevin Barrett, adalah pakar Arabist-Islamolog, dan pengkritik terkenal atas Perang Melawan Teror. Dia pernah mengajar di berbagai perguruan tinggi di San Francisco, Paris, dan Wisconsin. Saat ini ia bekerja sebagai penulis dan analis politik di berbagai media. Tulisan ini dimuat di Veteran Today.