Ziarah Kubur : Solidaritas dan Otoritas bag 2

Ziarah Kubur : Solidaritas dan Otoritas bag 2

        Kehidupan beragama telah ditemukan sepanjang sejarah kehidupan manusia sejak masa primitif hingga era postmodern dewasa ini dalam bentuk yang beraneka ragam. Bahkan bisa diprediksi kehidupan beragama akan tetap ada hingga  akhir dunia. Karena itulah, Anne M. Malefijt (1968) mengungkapkan bahwa agama adalah the most important aspects of culture yang dipelajari oleh ahli antropologi dan ilmuwan sosial lainnya, yang mana kehidupan beragama selalu berinteraksi secara signifikan dengan institusi budaya yang lain. Ekspresi religius ditemukan dalam budaya material, perilaku manusia, nilai, moral, sistem keluarga, ekonomi, hukum, politik, sains, teknologi, pengobatan, seni, pemberontakan, perang, dan lain sebagainya. Ini berarti agama mewarnai dan membentuk suatu budaya. Aspek budaya atau kultural dinilai sangat penting oleh ahli antropologi yang berpandangan bahwa agama membentuk dan mewarnai suatu kebudayaan.   Sebagai kebudayaan, ekspresi keagamaan dalam perasaan, perkataan atau tindakan selalu mewarnai aspek kehidupan manusia dari kelahiran hingga kematian. Ekspresi keagamaan berwujud ibadat yang dalam antropologi disebut ritual, pemujaan, atau ritus (rites). Ritus ini selalu berhubungan dengan pemujaan terhadap yang supernatural, yang gaib, baik tempat, benda, waktu, atau orang yang keramat, suci, dan istimewa yang dalam antropologi disebut yang sakral.   Emile Durkheim, seorang antropolog yang sangat berpengaruh di dunia,dalam karya utamanya, The Elementary Forms of the Religious Life(1964), ia mengulas dengan panjang lebar mengenai kultus/pemujaan (cult). Dia membagi dua alam yaitu sacred (sakral, suci) dan profane (profan, tidak suci). Yang sakral, kata Durkheim, adalah hal-hal yang keberadaanya dipisahkan yang karakteristik keterpisahan tersebut membedakannya dari hal-hal yang profan, sacred beings are separated beings. That which characterizes them is that there is a break of continuity between them and the profane beings. (Durkheim, 1964: 299).   Begitu pula bagi Nottingham (1996: 10), kapan pun dan di manapun agama selalu terkait dengan yang sakral seperti dewa, roh, malaikat, pribadi suci, benda-benda dan tempat-tempat sakral yang dipuja dan disembah dalam upacara-upacara (ritus) yang beragam. Kemudian, Nottingham (1996:31-48) mengidentifikasi fungsi agama dalam kehidupan individual dan sosial yang membentuk nilai-nilai pedoman dalam kehidupan manusia yang menunjukkan bahwa yang sakral berinteraksi secara simultan dengan kehidupan manusia yang profan. Bagi Usman Pelly (2010), hal tersebut melukiskan bahwa kepercayaan pada yang sakral akan dilihat implikasinya dalam kehidupan budaya spiritual manusia. Selain itu, kepercayaan religius menunjukkan bahwa yang dapat dilihat secara kasat mata, akan selalu menampilkan makna simbolik yang berbeda. Seperti “roti” dan “anggur” yang melambangkan “tubuh” dan “darah” Kristus, atau “beras kunyit” dan “bunga rampai” yang melambangkan hubungan “kekuatan semangat” dan “kedamaian ruh”. Jadi, sosok gaib yang tidak  terindera tetap dipuja melalui ritus tertentu karena kepercayaan bukan bukti kasat mata.   Begitu pula, ritus sebagai bagian dari tingkah laku religius yang aktif juga dapat diamati, seperti bacaan mantranya, semedi, doa, tarian, pakaian khusus, dan upacara kurban. Sifat sakral pada ritus dan benda yang digunakan dipengaruhi oleh suasana mental dan sikap emosional penganutnya. Terutama, pada tempat dilaksanakannya ritus itu. Oleh karena itu, dari segi pendekatan sosio-antropologis, memahami kepercayaan religius dan wujud budaya dari kepercayaan itu, adalah penting dengan langsung mengamati ritus atau upacara religius suatu masyarakat. Salah satu ritus yang dilakukan masyarakat dan memiliki makna yang dalam karena melibatkan unsur-unsur keagamaan yang nyata dan yang gaib serta sikap mental manusia adalah ziarah kubur.   Ziarah kubur melibatkan yang nyata yakni para peziarah dan yang gaib yakni orang yang diziarahi. Ziarah kubur juga mengekspresikan sikap mental dan emosional, karena dalam ziarah kubur terdapat keyakinan akan kehidupan pasca kematian. Sebab manusia tidak hanya tersusun dari jasad yang hancur di makan tanah, tetapi juga memiliki unsur ruh non-material yang abadi. Keyakinan akan abadinya roh merupakan aspek yang memunculkan pemujaan (kultus) atas orang suci melalui ritus kematian atau mendirikan bangunan di makamnya.   Kebudayaan di seluruh dunia, masa lalu dan kini, menunjukkan pada dasarnya ritus ziarah kubur dan kultus (pemujaan) pada orang yang meninggal adalah tradisi yang dimiliki oleh seluruh kebudayaan manusia kapan pun dan di mana pun. Dalam kebudayaan Mesir kuno kita melihat peninggalan mereka melalui pembalseman mayat dan kemegahan piramida sebagai kuburan penguasa Mesir (Fira’un) yang terkait erat dengan perjalanan hidup sesudah mati.Di Cina, kita melihat penghormatan pada makam leluhur dan penguasanya. Afrika, Asia dan daerah sekitarnya tidak ketinggalan membangun kuburan leluhurnya sebagai penghormatan dan legalisasi kekuasaan. Taj Mahal dibangun untuk mengabadikan isteri tercinta. Patung-patung dan tugu dibangun, juga untuk memvisualisasikan keabadian. Ini merefleksikan masyarakat yang mengkultuskan manusia suci, manusia berkuasa, manusia tercinta, atau nenek moyang. Komunitas yang melakukan penghormatan melalui ritus suci inilah yang dalam antropologi disebut kelompok pemujaan atau kultus (cult) dan ritus pemakaman atau pemujaan kepada yang meninggal disebut ‘kultus orang mati’ (cult of the dead). Ziarah kubur dengan seabrek ekspresinya menggambarkan secara sempurna “cult of the dead” tersebut. Dan Indonesia sangat kaya dengan budaya prosesi ziarah kubur ini. Henry Chambert Loir dan Anthony Reid (2006) pernah mengumpulkan beragam tulisan mengenai penghormatan tempat-tempat suci, termasuk kuburan di berbagai daerah di Indonesia, seperti suku Aoheng di Kalimantan, Dayak Ngju, Laboya Sumba Barat, Bali, Toraja, Batak, Sumatera Selatan, dan tentu saja di Jawa. Semua itu, memberikan gambaran utuh kepada kita tentang beragam ekspresi kepercayaan dan agama yang tumbuh di masyarakat termasuk penghormatan  kepada nenek moyang dan orang-orang suci melalui kuburannya.   *Pengamat sosial-keagamaan